POTPOURRIVeritas

Pengalaman Menghuni Penjara Cipinang (10): Manusia Lorong, Para Tuna Wisma di Penjara

Tetapi bahkan jika seorang Napi menghuni sel Tipe 7 yang bisa berisikan lebih dari 10 orang, dia seharusnya masih bisa bersyukur dan bersuka ria. Dia tak mesti menjadi “manusia lorong” yang tak punya sel dan harus selalu menggelandang. Manusia lorong adalah para tuna wisma di penjara.

JERNIH—Manusia memang unik. Itu yang dikatakan Charles Darwin, seorang biolog kontroversial untuk menandai apa yang kemudian dikenal sebagai hukum I Darwin,”Tidak ada dua individu yang persis sama.”

Yang saya katakan unik, meski Allah SWT, Sang Maha Pencipta, menegaskan manusia sama dan setara, sepertinya sepanjang sejarah manusia terus berusaha mengingkarinya. Segala hal yang bisa membedakan harkat dan derajat, yang membuat manusia satu sah untuk dianggap lebih dibanding manusia lain, terus diciptakan. Termasuk membikin-bikin keyakinan palsu yang bernama ‘darah biru’.

Baca juga: Pengalaman Menghuni Penjara Cipinang (9)

Di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), tempat seharusnya semua manusia penghuninya sadar bahwa itulah tempat pencucian atas khilaf mereka,—salah apa pun dalam hidup, tak harus tuduhan ringkih yang bahkan bisa jadi mengada-ada–, pembedaan tetap saja diada-adakan. Mungkin, laiknya taksonomi Carolus Linaeus yang memang diperlukan untuk menggampangkan klasifikasi flora dan fauna, pemilahan dan pembedaan stratifikasi manusia pun perlu. Barangkali, di Lapas itu dibutuhkan untuk mempermudah pembagian nasi cadong.

Misalnya pada saat ditanya seorang Napi lain waktu bersenam Jumat pagi. Dengan jawaban, yakni di blok mana sel kita tinggal berada, dia akan tahu stratifikasi ke-Napi-an kita. Blok Tipe 3, misalnya, tak akan mungkin diisi Napi maling ayam yang mungkin sepanjang menjalani masa hukuman tak seorang pun kerabatnya berkunjung datang. Di Lapas, urusan seberapa sering mendapatkan kunjungan ini penting dan menentukan derajat dan kehormatan seorang Napi. Pasalnya, semakin sering dikunjungi, kian mungkin dompet orang itu selalu berisi. Sementara di sudut dunia mana pun berlaku peribahasa, “Ada gula ada semut. Ada uang, ada banyak Pak Turut mau manut.”  

Lorong Lapas, saat digunakan untuk kegiatan syukuran

Blok Tipe 3 umumnya dihuni para Napi koruptor, atau bila tidak, selebritas. Selama saya menghuni penjara Cipinang, rata-rata semua koruptor tinggal di blok yang secara resmi dihuni tiga orang setiap sel tersebut. Dirut Bank Century yang bermasalah, Robert Tantular, atau seleb seperti mendiang Aa Gatot Brajamusti, misalnya, yang saat itu kondisi kesehatannya sudah jauh menurun dan selalu terlihat berkursi roda saat dua-tiga kali dilarikan ke rumah sakit penjara, juga tinggal di Tipe 3.

Tapi sebagaimana kata almarhum Wakil Presiden Adam Malik,”Di sini, semua bisa diatur…”. Lapas pun tidak lantas menjadi dunia tersendiri yang berbeda dengan bagian Indonesia lainnya. Tak jarang, selain ada yang diisi tiga hingga lima penghuni, ada pula satu sel berisikan penghuni yang bisa berleha-leha sendiri.

Tetapi bahkan jika seorang Napi menghuni sel Tipe 7 yang bisa berisikan lebih dari 10 orang, dia seharusnya masih bisa bersyukur dan bersuka ria. Dia tak mesti menjadi “manusia lorong” yang tak punya sel dan harus selalu menggelandang. Manusia lorong adalah para tuna wisma di penjara. Tragis? Mungkin. Tapi demikian faktanya.

Mereka ibarat para “paria”, atau bahkan “dalit” dalam system Kasta dalam Hindu, yang tak pernah kita pelajari sebagai pengetahuan umum saat SD. Umumnya, sebagaimana tercetak di buku ajar, kita hanya akan tahu bahwa sistem Kasta Hindu memilah orang menjadi seorang Brahmana, Ksatria, Waisya, dengan kasta terbawah, Sudra. Paria dan Dalit kita jumpai dalam bacaan keseharian, barangkali sebagai tanda bahwa kaum Sudra yang tertindas pun masih ingin menindas orang, hingga muncul dua kasta terendah itu.

Di penjara, tak ada yang melebihi mobilitas manusia lorong. Pagi-pagi, sesegera subuh usai, mereka sudah bersiap membawa gembolan masing-masing, berisikan pakaian dan harta yang dipunyai. Gembolan itu macam-macam bentuknya. Ada dalam bentuk koper lusuh ukuran kecil hingga sedang. Ada gembolan kantong plastik ukuran besar dengan aneka merek toko atau hypermarket, dan ini yang dominan. Ada pula yang menggembol pakaian dengan kain sarung yang salah satu ‘tabung’nya diikat tali erat-erat, diisi pakaian dan aneka barang kepemilikan lain untuk dipondong di pundak.

Setiap sekitar pukul 5 pagi biasanya mereka sudah bergerombol, menunggu gerbang besi yang menutup akses ke lorong-lorong sel dibuka. Pas gerbang lorong dan gerbang blok dibuka, kadang laiknya air bah mereka berhambur keluar. Ada getaran tertentu di hati, bila melihat limpahan para Napi tanpa sel itu berhambur keluar, ibarat segerombol pengungsi yang siap melakukan evakuasi. Namun pada kasus manusia lorong, itu mereka lakukan setiap hari, tujuh kali sepekan, nyaris 365 kali setahun.

Ada yang menuju tempat mandi massal untuk mandi; ada yang bergegas menuju masjid besar untuk mandi dan mencuci; ada pula yang sekadar keluar untuk menunggu matahari muncul dan berjemur di lapangan sepakbola mini atau di mana pun mereka dapat bergerombol.

Tetapi masing-masing akan membawa gembolannya itu, menaruhnya di tempat sehari-hari mereka ‘mangkal’, sebelum kembali lagi ke lorong-lorong sel saat maghrib tiba. Tak mungkin mereka meninggalkan gembolan itu di lorong, karena riskan diambil orang.

Sebelum kemudian sempat ada upaya penataan, gembolan para manusia lorong tersebut memang acap mengganggu. Baik saat mereka bertebaran di lorong-lorong setiap blok, sekadar mendapatkan ruang untuk berselonjor dan kemudian tidur, maupun di masjid besar, tempat sebagian dari mereka datang berkegiatan setiap hari. Waktu itu ada satu sudut di lingkungan masjid yang dipakai untuk menyimpan gembolan-gembolan tersebut. Tumpukan itu membentuk semacam gunung tas, koper dan kantong plastic sendiri yang—jujur saja—kurang enak dipandang.

Mungkin karena itu, manakala ada pergantian kepala Lapas, urusan itu pun ditertibkan. Hanya karena tidak dicarikan solusi yang permanen, beberapa bulan setelah penertiban, hal itu kembali terlihat, dan kondisi kembali lagi ke semula. Bedanya, karena kini menaruh gembolan di sudut halaman masjid itu sudah dilarang, setiap napi pemiliknya senantiasa awas, kapan saja ada kemungkinan pembersihan dan gembolan dirampas.  

Meski menjalani kehidupan Lapas yang lebih keras dibanding napi-napi biasa yang menghuni sel, para napi penghuni lorong tergolong napi penggembira. Setidaknya menurut saya, yang selama di Cipinang selalu berusaha memakai kacamata positif. Husnuz dzan, kalau bahasa ustadnya. 

Bagaimana tidak, bila hampir setiap malam, setidaknya di blok saya—blok Tipe 5 alias blok kriminal—mereka tak pernah absen gunjrang-genjreng main gitar. Dari usai shalat Isya sampai dini hari, bahkan tak jarang sampai menjelang subuh. Buat yang rajin shalat tahajud, suara nyanyian dan petikan gitar para penghuni lorong nyaris bisa memastikan mereka tak akan luput shalat tahajud.

Namun sebaliknya, untuk mereka yang berkuping sensitif dibarengi hati yang tak menerima, siap-siaplah tak akan bisa tidur sepanjang malam. Tapi siapa yang akan kuat bertahan setiap malam tidak tidur? Pasalnya, tidak sebagaimana di luar gerbang penjara, para napi tak pernah sekali pun berpikir besok mereka akan ketiduran saat ngantor. Tak perlu pula malam Minggu, karena setiap hari adalah hari libur.

Suara mereka pun rata-rata bagus. Umumnya menyanyikan lagu-lagu lama Iwan Fals, di album-album awal, tahun 1980-an. Wajar pula, karena lagu-lagu Iwan pada periode itu memang enak untuk diiringi music unplug,terutama petikan gitar. Saya yang semasa SMA mengamen lagu-lagu Iwan Fals kadang tergoda untuk ikut nongkrong. Tapi tak pernah kejadian. Saya hanya pernah ikut ‘meramaikan’ manakala siang-siang, sebelum Ashar, ada yang memetik gitar dengan cukup lihai. Saya ikut menyanyikan “Sugali” ketika itu. Entah mengapa, tiba-tiba hanya suara saya yang terdengar. Yang lain seolah menyilakan. Diam.  

Satu hal yang saya angkat topi buat mereka: para penghuni lorong akan segera mengakhiri konser panjang mereka, paling lambat lima menit menjelang tarhim subuh berkumandang.

Namun tentu saja tak semua penghuni lorong akan mengumpul di sudut ‘gitar’. Ada sekian banyak kumpulan, tergantung kondisi. Biasanya kumpulan itu ditandai orang-orang merubung, mengopi dan mengobrol. Karena penerangan listrik biasanya dimatikan sekitar pukul 22 malam, kumpulan itu juga bisa ditandai dengan nyala lilin di beberapa tempat.

Nah, baru setelah beberapa bulan menjadi penghuni, saya tahu lilin itu pun ternyata multiguna. Awalnya, dini hari itu saya merasa ingin shalat tahajud di mushala, di ujung lorong. Bagaimana pun, memang shalat di sana terasa lebih khusuk. Jauh dari suara ngorok di kanan kiri, atau kaki-kaki orang tidur yang kadang menghalangi.

Merasa cukup setelah beberapa rakaat, saya pun kembali ke sel untuk melanjutkan tidur. Untuk itu tentu saya harus melangkahi tubuh-tubuh yang bergelimpangan di lorong, beralaskan apa saja yang bisa mereka gunakan. Selain tentu pula melangkahi kerumunan orang-orang yang masih mengobrol, berkumpul.

Saat itulah saya melihat satu kerumunan tengah mendiang cairan di piring seng, dengan nyala lilin di bawahnya sebagai pemanas. Sempat terpikir mau bertanya, kesadaran saya mengatakan yang terbaik cukup menyapa dan berlalu. Apalagi saat saya memecah kerumunan, orang-orang itu terlihat sangat terkagetkan. Kelebat cahaya lilin cukup untuk menegaskan ekspresi kaget mereka, meski lampu dimatikan.

Paginya, dari Jay saya baru tahu apa yang semalam mereka lakukan. Betapa jahatnya ketergantungan pada narkoba. Yang dilakukan sedikit orang semalam itu, ternyata tengah memanaskan cairan sisa nge-boat alias nyabu. Sebagaimana orang menikmati shisha yang perlu medium air, begitu pula konon orang menikmati sabu. Nah, air-air sisa medium bong itu masih laku dijual. Konon, sekitar Rp 10 ribu sebotol kecil air mineral.

Air sisa ngebong itulah yang disiramkan ke piring seng, dibiarkan didiangkan di atas nyala lilin sampai airnya menguap habis.  Karena itu pula, cairan sisa itu disebut Sapir, Sabu Piring, jatah para napi kere yang tetap mempertahankan diri jadi pecandu. 

“Nanti di piring akan tertinggal sedikit serbuk sabu, yang akan dikerik memakai silet bekas dan dikumpulkan. Baru setelah itu para junkies kere menikmati kembali sabu-sabu sebagaimana saat mereka punya uang, dulu,” kata seseorang, menerangkan.

Saya tak tahu darimana para penghuni lorong itu mendapatkan air sisa-sisa ngebong. Saya pun memang tak hendak tahu. Di penjara, ada hal-hal yang bisa dibicarakan, mungkin malah dirapatkan bersama untuk dicarikan jalan keluar. Namun banyak pula yang kalau pun kita lihat, yakinkan itu hanya untuk diri kita. Dan yakinlah, urusannya tidaklah sesederhana kita takut atau tidak, karena begitu kompleksnya. [darmawan sepriyossa] 

Back to top button