POTPOURRI

Saat Anak Kadipaten Perang Sumpit Kerasukan ‘The Combat’

JAKARTA—Dulu, saat generasi saya masih tergolong anak kecil, kami punya cara bermain yang banyak untuk mengisi hari-hari di sepanjang tahun. Tak hanya dari Play Station ke game-game virtual melulu–yang sejatinya hanya dari itu ke itu, seperti saat ini.

Mungkin karena banyak cara dan hal untuk dijadikan permainan, sepertinya generasi dulu tahu kapan dirinya tak lagi bisa mengisi hidup hanya dengan bermain. Bukankah tak ada,–atau setidaknya sangat jarang, kita menemukan generasi yang kini memasuki usia paruh ada, masih senang bermain gundu, petak umpet atau oray-orayan dalam arak-arakan panjang mengelilingi lapangan? Tapi besar kemungkinan kita terbiasa melihat seorang beranjak tua menyia-nyiakan waktu bermain game di layar komputer jinjing mereka?

Permainan anak zaman old itu variatif, dan agak tergantung alam. Tergantung musim, katakanlah. Di musim kemarau, hampir semua permainan bisa dilakukan. Siang hari kami bisa bermain gundu, bermain gambar potong dan mulai berlatih judi kecil-kecilan, main bola, bebentengan atau pun petak umpet.Bisa juga main layang-layang, atau bila merasa kegerahan, terjun ke sungai, berendam sampai ashar datang.

Bila malam purnama datang, usai mengaji kami segera berhambur keluar langgar. Di masa listrik belum lagi menerangi kampung, kami merasa sayang jika purnama lewat begitu saja. Sinar bulan memungkinkan kami memainkan segala permainan siang, kali ini di waktu malam. Bayangkan sedapnya adrenalin mengalir deras manakala kami main petak umpet di pekuburan pinggiran kampung, dengan tegak angkernya pohon Beringin, Loa dan Kiara, tempat siangnya bergelantungan puluhan kalong.

Bila mengingatnya kini, kadang kaki saya merasa ngilu tiba-tiba. Tak ada seorang pun di antara kami saat itu terbiasa memakai alas kaki. Sementara beling, paku, barang-barang bekas dan papasan pokok semak yang runcing ada di mana-mana. Saya sendiri baru memakai sandal secara tetap itu pada saat kelas 2 SMA. Sebelumnya saya cuma punya sepatu yang hanya dipakai untuk berangkat sekolah. Ke masjid pun kami biasanya ‘nyeker’  karena sebelum masuk masjid toh berwudlu dan mencuci kaki di kolam masjid.

Salah satu permainan musiman yang sangat kami senangi adalah bermain sumpit atau susumpitan. Bentuknya ya perang-perangan dengan menggunakan sumpit bambu. Umumnya dibuat dari bambu Tamiang yang kecil lurus. Jenis bamboo yang juga digunakan untuk membuat suling. Sudah sekian puluh tahun saya tak pernah menjumpai bambu jenis itu.

Pada bulan-bulan tertentu para penjual sumpit datang dengan membawa berkarung-karung bambu Tamiang ke Pasar Kadipaten. Biasanya mereka datang dari wilayah-wilayah pegunungan di Majalengka, yakni Bantarujeg dan Rajagaluh. Sebagian peagang itu ada juga yang tinggal di daerah Maja.  Kami, anak-anak, biasanya tinggal menyerahkan sejumlah uang—kalau tak salah Rp 10 atau Rp 25 yang bergambar burung dara mahkota. Kawan-kawan yang punya uang lebih akan meminta penjual untuk membentuk sumpit itu seperti senapan mesin yang sering kami lihat di film ‘Combat’, yang diputar TVRI setiap Minggu siang.

Apa yang kami jadikan peluru? Seringnya sih bulatan tanah liat yang dibentuk kecil, sesuai ukuran lubang sumpit. Kadang digunakan pula biji kacang hijau bila lubang sumpit lebih kecil, atau tak jarang pula kedelai. Yang agak jarang, meski ‘peluru’ itu tergolong mantap karena cukup berat, adalah biji Cae atau Saga dalam Bahasa Indonesia. Bila kena kulit, tembakan biji Cae cukup membuat kulit sakit dan gatal-gatal berbentol.

Yang menurut saya hebat, beberapa anak saat itu bisa menembak laiknya senapan mesin, bukan satu-satu. Caranya, semua ‘peluru’ itu dikumpulkan dalam mulut, siap ditembakkan beruntun dengan tiupan keras ke sasaran. Persoalannya, jangan bayangkan peluru itu hanya biji-bijian seperti yang saya sebut tadi. Lebih sering yang digunakan untuk peluru itu butiran tanah liat. Jadi bayangkan sisi mulut sang penembak itu akan berleleran ludah bercampur tanah liat yang dikulumnya!

Nah, bentuk permainannya tak bukan kecuali berperang saling sumpit. Seingat saya, tak seperti permainan lain, perang sumpit jarang dimulai dengan ritual saling berbagi personel antarkelompok, lalu dimulailah permainan. Tidak begitu. Lebih sering sih susumpitan merupakan perang anak-anak antarkampung. Tawuran, sebenarnya. Hanya lebih fair karena semua memakai alat yang sama: sumpit. Penyebab awalnya selalu saja karena saling sumpit diam-diam, sebelum meledak menjadi perang anak-anak.

Saya sempat menjadi anak kampung Putat Barat, sebelum orang tua saya yang kontraktor,—selalu mengontrak rumah, pindah ke Putat Timur. Alhasil, saya pernah berada di kedua kubu pada lain waktu.

Dalam permainan susumpitan atau bebeletokan—lain kali akan kita bahas, anak-anak Putat Timur lebih mahir. Mungkin karena posisi kampung mereka lebih dekat ke huma dan orang tua mereka pun kebanyakan petani, dengan kehidupan yang lebih sederhana dan dekat tradisi. Warga Putat Barat saat itu cenderung lebih ‘modern’ dengan pekerjaan orang tua kami umumnya guru, karyawan atau pedagang.

Ada anak Putat Timur yang saat itu sangat ditakuti. Bukan karena besar, karena badannya sih kecil kerempeng. Tetapi bila ia sudah memegang sumpitnya yang sebatang tanpa rangkaian aksesoris pembentuk model senapan, praktis ia ditakuti. Tembakannya tak pernah meleset, selain kuat saat membentur target. Namanya Endi Rohendi, sangat khas urang Sunda.

Saya pernah merasakan kuatnya tembakan Endi. Kalau tak salah saat saya masih kelas 4 SD. Dua peluru tanah liatnya menghajar pipi saya. Saling berdekatan karena ditembakan beruntun. Benjolan yang ditimbulkannya membuat saya tak bisa ngeles kepada Ibu bahwa saya ikut main susumpitan.    

Beliau sempat marah, melarang saya untuk tak lagi ikut-ikutan main susumpitan. Saya kaget, karena dalam mengasuh saya dan kedua adik hingga remaja, kedua orang tua saya sangat jarang memarahi. Baru setelah menjelang dewasa saya mengerti alasan kemarahan Ibu. Andai saja letak benjol akibat sumpit itu beberapa senti ke atas, mata saya bukan tak mungkin akan buta! [ ]

Back to top button