“Sabai”, Manakala Realitas tak Sebling-bling Kehidupan Publik Personel K-pop
“Novel Sabai membuka mata pembaca yang mendambakan pernikahan beda budaya, bahwa kisah cinta tak selalu seindah drakor dan seglamor K-Pop,” ujar ibu dua anak dari pernikahan dengan lelaki Korea itu.
JERNIH– Akmal Nasery Basral tergolong sastrawan produktif. Belum lama meluncuncurkan ‘Kincir Waktu’, novel yang terilhami isu perkosaan massal etnis Cina pada 1998, di bulan pertama 2022 ini ia meluncurkan lagi novel terbarunya, “Sabai 선우” (baca: Sabai Sunwoo).
Novel ini adalah sekuel dari novel “Dayon” yang diluncurkan pada pertengahan tahun lalu dan mendapat sambutan hangat para pecinta sastra Indonesia. “Dayon lebih dari sekadar novel. Dia menggambarkan gejolak psikologis, sosiologis dan antropologis anak bangsa di tengah perubahan disruptif. Bacaan wajib yang reflektif dan kaya perspektif,”kata Prof. Azyumardi Azra, dalam testimoninya pada sampul novel tersebut.
Dayon mengisahkan kehidupan pemuda bernama Jems Boyon asal Kapau, Sumatra Barat, sejak lahir dan menghabiskan masa kanak-kanak di kampung halamannya sebelum melanjutkan SMA di Bukittinggi dan kuliah perfilman di Jakarta untuk mengejar impian sebagai sutradara. Ia kemudian bertemu seorang model peranakan Minang-Korea bernama Sabai Rangkayo Sunwoo, maka dalam Sabai 선우 fokus kisah menyangkut kehidupan sang model yang lahir dan menghabiskan masa kanak-kanak di Seoul, Korea Selatan, sebelum pindah ke Jakarta di pertengahan tahun 1990-an.
Begitu pindah ke Jakarta—bersama sang ibunya yang berpisah dengan ayahnya, profesor ekonomi terkemuka yang kelak menjadi Duta Besar Korea Selatan di Swiss—Sabai tinggal di sebuah perkampungan padat penduduk di kawasan Kampung Melayu, Jakarta Timur. Dari seorang ABG korban broken home, nasib Sabai berubah drastis ketika seorang pemandu bakat dari sebuah modeling agency mengorbitkannya sebagai wajah baru dalam dunia model Indonesia. Popularitasnya terus berkibar sehingga pada saat kawan seumurannya menghabiskan waktu di SMA, Sabai sudah menjadi model profesional yang bermukim di Singapura, menjalani dunia pendidikan melalui homeschooling.
Awalnya perjalanan kariernya berjalan mulus seperti direncanakan. Namun seiring berjalannya waktu, satu persatu masalah datang menghantam gadis muda itu. Mulai dari korban perundungan seksual, pembunuhan karakter dalam sengitnya kompetisi antarmodel, gaya hidup liberal yang permisif terhadap penyalahgunaan obat-obatan dan seks bebas, hingga terganggunya hubungan dengan orang tua serta tergerusnya keyakinan dan keimanan.
“Melalui Sabai saya ingin menggambarkan problem identitas yang banyak menggayuti generasi milenial yang sudah menjadi warga dunia dan global traveler dan gamang terhadap akar budaya mereka. Generasi milenial adalah mereka yang lahir antara 1981-1996 seperti rumusan Pew Research Center,” ujar Uda Akmal—nama panggilan akrab sang penulis.
“Novel ini laksana ruang negosiasi terhadap efek domino hallyu (gelombang Korea) karena mampu menyuarakan gesekan yang banyak hadir dalam keluarga multikultural Korea- Indonesia. Kekuatan yang tidak ditemukan dalam novel-novel Indonesia yang mengangkat isu tentang Korea. Uda Akmal menyuguhkan bacaan yang menawan dan memperkaya wawasan,” ujar Eva Latifah, Ph.D, Kaprodi Program Magister Asia Timur FakuItas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) dan President of Global Korean Scholarship Alumni Indonesia.
Bagi Ifa Isfanyah, Sutradara Garuda di Dadaku dan Losmen Bu Broto yang pernah kuliah di Dongseo University Busan, kisah Sabai sangat memperkaya batin dan pengetahuan pembaca secara akrab. “Sebagai pembuat film yang pernah tinggal di Korea Selatan, saya merasa sangat dekat dan terwakili dengan novel ini,” ungkapnya.
Apresiasi positif juga datang dari Prawindu Prima, seorang YouTuber Indonesia yang tinggal di Seoul dan menjalankan bisnis biro perjalanan Light & Bright. “Novel Sabai membuka mata pembaca yang mendambakan pernikahan beda budaya, bahwa kisah cinta tak selalu seindah drakor dan seglamor K-Pop,” ujar ibu dua anak dari pernikahan dengan lelaki Korea itu.
Untuk elemen-elemen pengisahan itu, Anna Hertriana Kusumah yang berprofesi sebagai guru SDN di Bogwang, Seoul, Korea Selatan, menyarankan agar “novel ini dibaca generasi muda Indonesia yang berjiwa global. Sangat menarik dan menginspirasi,” ujar peraih Penghargaan Warga Kehormatan Seoul 2019 ini.
Sabai 선우 adalah karya ke-23 Uda Akmal yang tahun lalu mendapatkan Penghargaan National Writer’s Award 2021 Kategori Fiksi dari Perkumpulan Penulis Nasional SATUPENA. Novel ini dan prekuelnya Dayon diterbitkan oleh Mekar Cipta Lestari (MCL) Publisher, milik Rosidayati Rozalina, Ketua Umum IKAPI Pusat (2015-2020). [rls]