Solilokui

Tameng Antifitnah Harry Sufehmi yang Ramah

Harry terus melaju sampai tahap terakhir yang menyisakan tiga peserta. “Penguji lalu bertanya apakah saya punya ‘surat sakti’? Saya bengong. Masih SMA nggak ngerti apa itu ‘surat sakti’. Saya dinyatakan gagal. Stres sekali. Pekerjaan sebagai pilot dengan gaji besar itu dream job saya. Kalau tidak bisa jadi pilot, saya mau jadi apa?”

Oleh  :  Akmal Nasery Basral

JERNIH—Hari ini 17 Ramadhan adalah tanggal turunnya wahyu pertama Al Qur’an. Terdiri dari lima ayat awal Surat Al ‘Alaq (‘Segumpal Darah’), kata pertama dari rangkaian firman itu adalah ‘ iqra’’ (‘bacalah’) menjadi sangat masyhur. Bahkan non-Muslim pun akrab dengan ayat ini. 

Begitu populernya hingga sering membuat kita lupa bahwa “bacalah” itu bukan kata independen yang berdiri sendiri tanpa konteks.

Akmal Nasery Basral

“Bacalah” terikat erat dengan lanjutan ayat, “bismirabbikal ladzi khalaq (dengan nama Tuhanmu yang menciptakan)”. Ternyata, membaca harus disertai kerendahan hati dan pengharapan agar mendapat bimbingan Sang Maha Pemaham Makna. Jika membaca dilakukan sembarangan—apalagi dengan meninggalkan Tuhan–banyak risiko bisa terjadi. Salah satunya tersesat dalam rimbun hoaks yang kini melebihi lebat hutan Kalimantan.

Itu pertimbangan saya menuliskan sosok Harry Sufehmi, M.Sc, 47 tahun, pakar IT dan pendiri MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) dengan program populer mereka Turnback Hoax sebagai topik SKEMA [Sketsa Ramadhan] di hari ‘Iqra’.

“Semua berawal dari grup Facebook FAFHH (Forum Anti Fitnah, Hasut dan Hoax) dengan anak-anak saya sebagai anggota pertama. Tak disangka perkembangan forum yang dibuat tahun 2015,” ujar ayah lima anak ini dengan tawa berdentam-dentam menghangatkan ruang restoran Minang Simpang Raya, Cibubur, Sabtu sore (15/4). Resto masih sepi karena kami bertemu ba’da ashar, saat yang pas untuk ngobrol menunggu iftar. Di luar, butir-butir gerimis mulai melenting menyebar.

Saya mengenal Harry lebih dulu dari blognya yang muncul pada Januari 2001. Saat itu dia tinggal dan bekerja di Birmingham, Inggris, setelah menyelesaikan program magister. Anaknya baru dua orang: si sulung Anisah Salma Hijriyyah (lahir 1998 di Jakarta) dan Sarah Hanifah Sufehmi (lahir 2000 di Birmingham).

Blog yang beralamat di http://harry.sufehmi.com itu berpotensi membuat pembaca mengira sebagai blog parenting jika melihat banner dengan enam foto profil tertawa riang (Harry, istrinya, dan empat anak mereka). Untunglah ada tagline yang membuat pembaca mendapatkan petunjuk awal konten blog. Life is a struggle – information wants to be free. 

Dari kalimat tersebut terpindai passion Harry sebagai praktisi IT egaliter yang inginkan informasi tak dikangkangi satu pihak tertentu atas nama dominasi atau lisensi. “Niat saya membuat blog untuk mendokumentasikan isi pikiran supaya nggak lupa. Ternyata malah jadi sumber rezeki melalui pembaca atau perusahaan yang sebelumnya tidak saya kenal,” ujarnya tergelak.

Setelah 21 tahun, blog itu masih aktif. Tulisan terakhir berjudul “Cloud and DRC” dengan titi mangsa 24 Januari 2022. Lead  tulisan dibuka dengan, “ In my years of experience as IT architect, it’s quite shocking to see how many institutions are slacking about their backup system once they moved to the cloud. Especially with their DRC (disaster recovery center). They thought that once they go “up” to the cloud, then it’s all right. No need to worry anymore with troublesome stuff such as backup.”

Itu satu sisi wajah Harry. Ada sisi lain dari status-status Instagramnya yang lebih humaniora. Di IG, fokus tulisan Harry—selalu gunakan bahasa Indonesia–adalah tentang kegiatan keluarga, terutama kiprah anak-anaknya. Selain Anisah dan Sarah, tiga lainnya adalah: Muhammad Umar Salih (lahir 2002), Aminah Kaitlyn Latifah (2004) dan Inara Maryam Sakura (2012).

Terasa sekali Harry sebagai seorang ayah yang bangga, penuh perhatian, selalu mendorong buah hatinya untuk berani mencoba pengalaman baru. “Empat anak perempuan saya selalu saya ajarkan mandiri. Saya lihat banyak KDRT berlangsung berlarut-larut karena posisi si perempuan yang sangat tergantung pada pasangan hidupnya,” katanya.

Jika kita intip IG Story Harry yang bisa tampilkan banyak klip video dalam satu hari, isinya lain lagi.  Selalu cuplikan kelakar, membuat yang melihat tertawa segar. Kenapa? “Sebenarnya klip-klip itu juga buat istri dan anak-anak saya. Tetapi jika orang lain jadi terhibur, alhamdullilah juga,” ujarnya. Nah, jika Anda butuh refreshing sila meluncur ke IG: @sufehmi secepatnya.

Sampai di sini, Anda pasti mengambil kesimpulan bahwa Harry Sufehmi adalah seorang pakar IT yang humoris dan family man. Kesan yang tidak keliru. Tetapi, apakah Harry tumbuh dalam suasana serupa seperti anak-anaknya sekarang?

“Berbeda sekali. Waktu kecil saya introvert. Selalu menjadi korban bully teman sekolah. Setiap istirahat saya lebih suka ke perpustakaan ketimbang main. Semua buku di perpustakaan saya sikat semua,” ujar sulung dari empat saudara yang menimba ilmu di Al Azhar Pusat, Jalan Sisingamangaraja, Jakarta Selatan, dari TK sampai SMA.

Satu ketika Harry terlibat perdebatan sengit dengan sang ayah yang menuduhnya melakukan satu kesalahan besar. Harry membantah keras sehingga perdebatan memanas. Semakin ayahnya menekan, semakin ngotot pula dirinya melawan. “Esok harinya ada komputer baru di rumah. Ayah bilang untuk saya. Ternyata itu cara beliau minta maaf karena telah menuduh saya untuk sesuatu yang tidak saya lakukan,” kenang Harry. “Komputer pertama itu yang menyiapkan jalan hidup saya ke masa depan.”

Mendapatkan mesin pintar membuat Harry semakin tenggelam dalam dunianya sendiri yang tak peduli sekitar. “Saya install program Microsoft Flight Simulator. Ini bukan software game tetapi betulan simulasi pilot karena buku panduannya tebal sekali. Waktu luang saya habis untuk mempelajari itu,” ujarnya. Tak lama kemudian ada iklan lowongan untuk pilot dari Merpati (Nusantara pAirlines, sudah berhenti beroperasi sejak 2014).

Merasa paham cara menerbangkan pesawat, Harry nekat mengirim surat lamaran. Eh, dipanggil.

Satu demi satu tes dilaluinya dengan sukses, termasuk ujian fisik di Hyperbaric Chamber (Ruangan Udara Bertekanan Tinggi/RUBT) yang membuat peserta lain kelelahan. Harry terus melaju sampai tahap terakhir yang menyisakan tiga peserta. “Penguji lalu bertanya apakah saya punya ‘surat sakti’? Saya bengong. Masih SMA nggak ngerti apa itu ‘surat sakti’. Saya dinyatakan gagal. Stres sekali. Pekerjaan sebagai pilot dengan gaji besar itu dream job saya. Kalau tidak bisa jadi pilot, saya mau jadi apa?”

Frustrasinya berkurang ketika seorang paman menghiburnya. “Nasibmu mungkin tidak jadi pilot, Har. Kamu suka sekali komputer, itu bisa menjadi masa depanmu,” Nasihat sang paman menancap di kepalanya sehingga begitu tamat SMA dia tak mengincar PTN seperti kawan-kawannya. “Saya pilih Universitas Budi Luhur yang sudah dikenal program komputernya.”

Lulus kuliah, dia bekerja di Asuransi Takaful. Dalam tiga tahun mampu menjadi Head of IT Department. Lalu terjadilah Reformasi 1998. Nilai dolar melejit liar. “Karena saya punya tabungan dolar, saya dapat rezeki nomplok. Saya gunakan untuk lanjutkan kuliah ke Inggris,” katanya. Di usia 24, dia tinggalkan istri yang baru dinikahi tahun sebelumnya dan bayi sulungnya yang masih berumur beberapa bulan.

Di Birmingham, selain kuliah Harry bekerja sebagai staf IT di kantor wali kota. “Saya tak punya visa kerja, jadi harus hati-hati meski teman-teman sekantor baik sekali,” ujarnya. Untung prestasi kerjanya moncer.

Setelah lulus kuliah magister dalam setahun, seniornya di kantor berinisiatif untuk mengatasi masalah visa kerja dan semua kebutuhan administratif lainnya agar tenaga muda asal Indonesia itu bisa optimal. Istri dan anak sulungnya menyusul.

Harry berkarier di Birmingham selama tujuh tahun. Tiga anaknya lahir di sana, yakni Sarah, Umar dan Aminah. “Rumah kami di belakang stadion Villa Park, markas klub Aston Villa,” katanya. Tahun 2005 dia membawa keluarganya mudik ke tanah air. (Si bungsu Maryam lahir 2012).

Kembali ke Indonesia, Harry malang melintang di dunia IT yang juga sedang menggeliat. Dia ikut mendirikan Asosiasi Open Source Indonesia (AOSI) dan menjadi motor Rimba Sindikasi Media (RSM), payung perusahaan Open Source. Dia didapuk kawan-kawannya sebagai nakhoda RSM. Dia juga punya kesibukan lain yang tak kalah ruwet, yaitu merapikan sistem IT toko-toko milik ayahnya yang berasal dari Silungkang, Sumatra Barat. Toko apa saja? “Toko-toko di pasar becek,” celetuknya mengulum senyum. “Biasalah orang Minang. Jualan tekstil sampai alat tulis.”

‘Toko-toko di pasar becek’ inilah yang membuat sang ayah mampu membeli rumah di Pondok Indah dan membesarkan Harry serta ketiga adiknya di pemukiman prestisius di selatan Jakarta tersebut. Dari usaha keluarga ini muncul Ahad Swalayan, Ahad Komputer, yang bermetamorfosis menjadi Ahad Mart yang memiliki enam outlet mini market di Jabodetabek. 

“Nama Ahad diberikan ayah karena beliau prihatin umat Islam semakin jarang menggunakan kata ini dan lebih suka menggunakan kata Minggu. Padahal nama hari-hari lainnya dari Senin sampai Sabtu tetap kata serapan dari bahasa Arab,” tuturnya. Ahad Mart dikelola dengan semangat Islam bukan hanya dari nama melainkan juga etos kerja. Toko harus tutup setiap salat Jumat dan baru beroperasi lagi sesudahnya. Mereka juga tak menjual makanan dan minuman yang haram dalam ajaran Islam.

Spirit keislaman dalam berniaga itu datang dari dua hal. Latar belakang kultural Minang dan hasil mengaji kepada Ustaz Yazid bin Abdul Qadir Jawas. “Kami rutin ke tempat beliau di Bogor, selain saya dan ayah juga seorang kawan ayah yang selalu ikut kalau kami ke sana. Kawan ayah itu kemudian menjadi mertua saya setelah saya menikahi anaknya, Helen,” ujar Harry tertawa.

Waktu terus berlalu. Di tahun 2014, dia prihatin melihat kabar misinformasi dan disinformasi bersliweran di ruang publik kian menggila. “Ayah saya bertanya kenapa sejak era Jokowi jumlah hoax makin banyak?” ulang Harry. “Saya jawab, nggak, Pa. Ini akumulasi dosa masa lalu karena kita nggak biasa berpikir kritis menyaring informasi, lemah dalam literasi. Lalu muncul kemudahan media digital dari FB, WA, di mana orang bisa posting apa saja. Meledaklah bom waktu itu dalam bentuk kabar hoaks yang masif.”

Harry memutuskan berkiprah di KPU dan merancang sistem IT yang modern dan transparan.  “Sistem IT pemilu Indonesia dalam satu hari adalah yang terbesar di dunia. Sistem IT pemilu AS juga besar tapi terpecah di banyak negara bagian. Sistem IT kita yang bisa melihat hasil sampai ke TPS-TPS membuat potensi kecurangan pada setiap rantai dari TPS, kelurahan, kecamatan, dan seterusnya, terpantau karena data TPS bisa diketahui masyarakat. Ternyata kami malah diserang hoaks gencar seperti server KPU disebut di Singapura, KPU memanipulasi data, dll. Padahal kami sudah bikin open data. Untungnya ada inisiatif dari masyarakat yang gunakan open data dengan membuat Kawal Pemilu seperti dilakukan Ainun Najib sehingga isu hoaks terbantahkan,” katanya.

Kelar pemilu 2014, Harry mengira problem hoaks selesai. “Ternyata justru menjadi-jadi. Bukan hanya soal pemilu melainkan keuangan, kesehatan, dan sebagainya. Polarisasi masyarakat semakin lebar. Makin banyak orang yang hopeless. Saya merasa harus mencari jalan dari situasi itu dan teringat ayat Al Qur’an yang berbunyi ‘Wahai orang-orang       beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka’ (QS 66:6). Maka saya buat Forum Anti Fitnah, Hasut dan Hoax (FAFHH) di FB dengan anggota pertama anak-anak saya sendiri. Mulainya September 2015. Saya tulis artikel tentang apa itu hoaks? Mengapa hoaks berbahaya? Itu semua untuk pendidikan untuk anak-anak saya agar mereka tidak gampang termakan kabar fitnah. Karena grup tidak saya kunci, akhirnya banyak yang bergabung.”

Suasana forum jadi dinamis karena anggota terlibat dalam  debunking hoax (membongkar hoaks). Misalkan ada yang posting satu topik dan nanya, “Ini hoaks atau bukan ya?” Lalu jawaban datang dari anggota lain yang memberi keterangan.

“Salah satu contoh seru ketika beredar gambar sebuah gedung dengan tulisan Cina Mandarin di depannya. Caption foto itu berbunyi ‘Inilah bukti Cina sudah invasi Indonesia dengan kantor pusat mereka di Jakarta’. Tapi dalam dua menit sudah ada jawaban dari anggota lain yang menjelaskan, ‘Oh, itu kantor Jawa Pos. Mereka punya surat kabar dalam bahasa Mandarin’. Akhirnya kita ketawa semua karena hoaks bisa sejauh itu,” kenang Harry terpingkal-pingkal.

Setahun kemudian atas usulan anggota yang sudah berjumlah puluhan ribu dibentuklah MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) dengan para pendiri Harry Sufehmi, Judith Lubis, Catharina Widyasrini, Aribowo Sasmito, Eko Juniarto, Faisal Aditya dan Septiaji Eko Nugroho. Sekitar 12 dari 17 orang koordinator wilayah adalah perempuan.

Per Agustus 2019 tercatat 528 relawan yang tersebar di seluruh Indonesia. Sejak berdiri, MAFINDO sudah menangani lebih dari 3.000 kasus hoaks. “Komitmen kita para pendiri adalah tidak akan menerima funding dari Pemerintah. Lalu dari mana dana kita? Alhamdulillah setelah menjadi organisasi justru banyak pihak yang mengajak kerja sama dari dalam dan luar negeri seperti dari WHO. Ternyata wabah itu bukan hanya penyakit fisik, WHO membuat cabang ilmu yang disebut infodemiology atau ‘wabah (informasi) hoaks’. WHO menjadikan kita partner di Indonesia karena melihat kita yang menjadi pionir untuk melawan hoaks. Ini salah satu contohnya.”

Tanpa terasa ruangan resto kembali lengang. Waktu menunjukkan pukul 20.30 WIB. Teh talua di gelas kami pun sudah tandas. Kami menyudahi obrolan.

Semoga MAFINDO panjang umur dan terus berperan dalam menjernihkan beragam jenis hoaks yang semakin rapat mengurung kita dari hari ke hari. Tetapi mengandalkan MAFINDO saja jelas tak akan cukup karena kontrol pertama untuk mengurangi peredaran hoaks dimulai dari diri masing-masing.

Sebelum mengirim dan meneruskan (forward) sebuah pesan, pastikan bahwa info itu valid dan berguna bagi orang lain. Jangan kirim info yang meragukan apalagi sudah jelas salah. Sebab barangsiapa yang dengan sengaja mengirimkan kabar bohong akan mendulang dosa besar yang tak main-main seperti difirmankan Allah dalam Surat An Nur (Cahaya) ayat 15-17

“Ingatlah di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui, dan kamu menganggapnya sesuatu yang ringan saja padahal di sisi Allah adalah besar/Dan mengapa kamu tidak berkata di waktu mendengar berita bohong itu, “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau. Ini adalah dusta yang besar”/Allah memperingatkan kamu agar jangan berbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.”

Semoga momen 17 Ramadhan yang merupakan tanggal turunnya wahyu pertama menjadi pengingat bagi semua orang yang mengaku beriman, bahwa ancaman dosa dan bahaya menyebarkan kabar dusta—yang kini disebut hoaks—sudah tercantum di dalam kitab suci Al Qur’an. [ ]

*Sosiolog, penulis 24 buku. Penerima penghargaan National Writer’s Award 2021 dari Perkumpulan Penulis Nasional Satupena.

Back to top button