POTPOURRI

Sastra dalam Dunia Cyber

Peningkatan mutu karya sastra digital secara jelas terbaca dari hasil karya dari hari ke hari. Kini media cetak konvensional seperti koran dan majalah sudah tidak menjadi satu-satunya alat ukur mutu karya

Jernih.co — Memasuki abad 21, peran komputer yang dilengkapi teknik multimedia dan jalur internet semakin meningkat dan mendominasi segala lini kehidupan, tak terkecuali perkembangan sastra Indonesia.

Sebelum adanya mesin pintar, baik karya sastra maupun kritik sastra hanya berbentuk goresan tinta hitam tidak bergerak di atas lembar-lembar kertas dengan jumlah terbatas, cetakan diatas kertas dengan menggunakan mesin print, atau berbentuk fotokopi buram.

Sekarang, sistem dalam mesin pintar yang akrab dikenal dengan artificial intellegent telah memungkinkan segala jenis naskah tampil dengan berbagai variasi, lengkap dengan warna-warna menarik, suara, dan animasi.

Tidak hanya itu, sebuah karya sastra juga dapat disebarkan dalam jumlah tak terbatas ke berbagai wilayah yang juga tak terbatas.

Meski demikian perkembangan itu terjadi secara perlahan dan stabil. Hal itu disebabkan peran mesin pintar di Indonesia tidak berkembang dengan cepat jika dibandingkan dengan penggunaan internet di seluruh dunia yang mencapai percepatan peningkatan yang cukup drastis.

Jurnal sosioteknologi yang berjudul ‘Kritik Sastra Cyber’ karya Yeni Mulyani memaparkan dengan berkembangnya media cyber dan media sosial, sastra Indonesia turut berkembang dalam media tersebut diikuti dengan perkembangan kritik sastra.

Yang menarik dalam penelitian tersebut, dalam menggunakan situs atau milis, dan media sosial di Internet, orang dapat berpendapat dan menyalurkan pikiran dengan bebas dan berani, tanpa perlu memikirkan kaidah-kaidah keilmuan, termasuk dalam menulis sebuah kritikan terhadap karya sastra.

Media Internet banyak diisi oleh sastrawan muda. Bahkan mereka menyambut baik hadirnya sastra di media Internet. Menurut mereka hal tersebut dapat mendorong berkembangnya dunia sastra secara positif.

Yang dapat dilihat dari segi kualitas, peningkatan mutu karya sastra digital secara jelas terbaca dari hasil karya dari hari ke hari. Kini media cetak konvensional seperti koran dan majalah sudah tidak menjadi satu-satunya alat ukur mutu karya.

Contoh penyair baru seperti Rukmi Wisnu Wardani, Anggoro Saronto, Herri Latief, dan T.S. Pinang yang telah menerbitkan buku. Para penyair ini mengakui bahwa mereka lahir, tumbuh, dan berkembang berkat media digital.

Secara kuantitas perkembangan sastra digital Indonesia diindikasikan dari meningkatnya jumlah karya yang beredar di dunia cyber dan jumlah penulis yang terus bertambah. Hitungan ini belum termasuk para pengamat atau pelaku sastra pasif;

Jangkauan wilayah pun dapat dijadikan acuan. Yang dimaksud wilayah di sini adalah posisi geografis dan wilayah pribadi. Wilayah geografis dapat menjangkau berbagai sudut dunia secara cepat, sedangkan wilayah pribadi memudahkan individu dari berbagai wilayah pribadi bergabung.

Meskipun tidak dapat dikatakan sebagai genre baru, sastra digital telah memberikan alternatif lain dalam penyajian sastra, misalnya penyajian dalam bentuk poetry tree, kolaborasi, multimedia, dan dan sastra computer geeks.

Di samping itu, dampak positif sastra digital Indonesia adalah terbentuknya suatu organisasi berbasis dunia maya yang bekerja demi perkembangan sastra Indonesia. Organisasi ini telah menghasilkan tiga antologi cetak dan satu cd-room antologi digital.

Sebagian besar hasil penerbitan ini disumbangkan secara cuma-cuma ke berbagai sekolah dan institusi pendidikan di seluruh Indonesia.

Selain kehadiran para penulis baru, hadir pula situs-situs sastra Indonesia di media Internet. Diawali dengan Cybersastra.com yang kini berganti nama menjadi Cybersastra.net, kehidupan sastra internet semakin bergairah.

Berbeda dengan sastrawan muda yang menyambut positif kehadiran sastra intenet, yang mendapat julukan digital artist atau ‘seniman digital, mereka yang tergolong sastrawan senior mencibir kehadiran sastra internet.

Afrizal Malna seperti yang dikutip oleh MBM Gatra dan situs Akubaca mengatakan bahwa sastra internet tidak akan berumur panjang. Sastra internet hanyalah tren sesaat. Demikian pula yang dinyatakan oleh Hamsad Rangkuti meskipun pernyataannya tidak setajam Afrizal Malna.

Sastrawan yang berkibar lewat cerpen Sukri Membawa Pisau Belati itu menyampaikan pendapatnya bahwa kehidupan sastra internet menandai kehidupan sastra yang tengah bergairah terutama di kalangan muda.

Hal tersebut tampak dalam Akubaca, Bumimanusia, dan Ceritanet sampai situs-situs remaja yang menyediakan ruangan puisi dan cerpen seperti Indocampus.com atau Kitakita.com. Meskipun demikian, lanjut Hamsad hadirnya sastra internet tidak akan menggerus sastra media cetak.

Pernyataan yang senada dengan Afrizal Malna dan Hamsad juga terdapat dalam situs-situs lain yang menyatakan bahwa sastra internet seperti cendawan di musim hujan, tetapi kehadiran sastra intenet tidak akan memberi pengaruh apa-apa dalam kehidupan sastra Indonesia.

Sastra Indonesia, karya dan kritiknya yang dipublikasikan dalam majalah, koran, dan dalam bentuk buku akan terus berjalan, tidak akan mati hanya gara-gara muncul sastra internet.

Perdebatan pendapat tentang munculnya sastra internet ini telah pula menandai kehidupan sastra cyber yang ada dan tidak bisa ditolak keberadaannya dalam khazanah sastra Indonesia modern.

Selain membahas polemik sastra cyber, Yeni Mulyani menemukan penulis kritik sastra di media sosial didominasi oleh usia muda, dengan rentang 14-30 tahun, dan berasal dari kritikus umum. Yang artinya bukan kritikus sastra profesional, dosen, atau mahasiswa jurusan sastra, seperti A. Teeuw danYassin.

Barangkali hal ini disebabkan karena tren sastra yang sedang berkembang, terutama di media internet, banyak menceritakan kisah kehidupan remaja seperti chicklit atau teenlith, ringan, dan popular seperti novel Dylan yang diadaptasi menjadi berbagai bentuk di media cyber.

Umumnya kritik yang ditulis pada media di internet adalah tulisan pendek, terdiri dari 1-2 alinea. Dan banyak menggunakan bahasa gaul dan kalimat langsung. Bersifat terbuka mengacu pada tulisan tentang sastra yang ditulis oleh siapa pun dan dipublikasikan di media internet yang dibaca oleh khalayak ramai.

Menurut Sapardi Djoko Damono terdapat dua macam kritik sastra, yaitu kritik sastra akademis dan kritik sastra umum. Kritik akademis bersifat tertutup yang mencakup para kritikus profesional, pengajar di perguruan tinggi, dan mahasiswa yang menulis untuk lingkungan sendiri.

Sedangkan kritik umum bersifat terbuka mencakup para kritikus umum–adalah mereka yang biasa menulis di surat kabar, majalah, dan media lain dan dibaca oleh khalayak ramai.

Secara sederhana kritik yang terdapat dalam media internet berupa ulasan atau tanggapan ringkas dan sederhana mengenai masalah sastra yang sedang tren di masyarakat.

Di samping itu, ada pula informasi tentang buku baru, baik buku terjemahan maupun buku asli yang sudah diluncurkan (semacam timbangan buku), dan yang menarik adalah adanya polemik yang mendapat perhatian dari khalayak.

Hal tersebut merupakan keunggulan dari kritik sastra di media Internet atau cyber. Berupa komunikasi yang bebas dan langsung. Proses komunikasi pun lebih cepat dan kaya.

Karena siapa saja dapat memberikan opini, pandangan, kritik dan saran, serta dapat saling mengomentari satu sama lain yang diberikan dari berbagai sudut pandang, perbedaan usia, gender, tingkat pendidikan, dan latar belakang pekerjaan.

Meski kritik sastra di dunia cyber bersifat luwes, namun dapat memberikan pengaruh yang kuat terhadap berbagai unsur dalam sistem sastra, misalnya tulisan-tulisan tentang novel chicklit-teenlit sangat berpengaruh terhadap pembaca, penerbitan sastra, penjualan, bahkan terhadap penciptaan sastra.

Apabila ulasan karya tersebut bagus, maka angka penerbitan dan penjualan pun akan berbanding lurus. Meski banyak karya yang diterbitkan dalam bentuk digital, namun bentuk cetakannya masih selalu ditunggu oleh para pembaca.

Back to top button