Sejak Zaman Kumpeni, di Tanah Ini Korupsi Telah Menjadi-jadi
Dengan memanipulasi seperti ini para pejabat VOC tentu saja memperoleh untung besar. Tidak heran singkatan VOC pun mempunyai makna baru, yakni Vergaan onder Corruptie, berarti ‘ambruk karena korupsi’.
JERNIH– Ketika Portugis dan Spanyol sudah bertualang ke Asia mencari rempah-rempah, kapal-kapal Inggris, Prancis, dan Belanda mulai berbenah diri.
Setelah melepaskan diri dari dinasti Habsburg, pada 1581 terbentuklah negara Belanda. Sejak itu timbul kesadaran baru dari segelintir masyarakat bahwa negerinya terlalu kecil untuk mengembangkan perdagangan dan ekonomi.
Maka, orang-orang Belanda pun mengarungi lautan. Rupanya mereka ingin mengikuti jejak Inggris yang mendirikan Yayasan Hindia Timur. Pada 1602 Belanda mendirikan VOC, merupakan gabungan semua perusahaan dagang Belanda yang aktif di Asia Tenggara. Sebagai perseroan terbatas, VOC memperoleh monopoli perdagangan dari pemerintah Belanda. Artinya, wewenang negara dialihkan kepada perusahaan dagang swasta, misalnya untuk mengadakan perjanjian perdagangan dan politik, melancarkan perang, dan membangun pangkalan.
Ambisi besar J.P. Coen, sang pendiri VOC, adalah membuat Batavia menjadi pusat perdagangan Asia yang besar. Dari empat pusat dagang: Persia, India dan Ceylon, Maluku, dan Jepang, barang-barang banyak mengalir ke gudang Batavia.
Karena maju, para direktur membagikan rata-rata dividen 10 persen setahun selama 30 tahun pertama keberadaan VOC. Ini berarti pembagian total 20 juta gulden. Para pemegang saham tidak tahu bahwa selama periode itu, VOC telah berutang lebih dari 10 juta gulden di Belanda. Akibatnya, para pemegang saham menerima lebih daripada yang seharusnya.
Sampai 1630 keuntungan riil VOC sangat kecil. Barulah setelah itu, hingga 1654, menurut Bernard H.M. Vlekke dalam “Nusantara”, keuntungan mencapai 101 juta gulden, sementara ongkos yang dikeluarkan selama masa itu adalah 76 juta gulden. Dengan demikian masih ada keuntungan sebesar 25 juta gulden. Sebanyak 9,7 juta gulden dikirim ke Eropa, sisanya disimpan di Batavia.
Pada 1700-an VOC mulai memonopoli tanaman komersial, khususnya kopi. Namun secara sewenang-wenang mereka menurunkan harga produk mentah di Batavia dari 50 gulden menjadi 12 gulden per pikul. Bahkan untuk memaksa harga lebih turun, para pejabat VOC memperkenalkan pembedaan ‘canggih’ terhadap “pikul gunung” seberat 102 kg dan “pikul Batavia” seberat 56 kg. Para produsen dipaksa menyerahkan jumlah kopi dalam ukuran “pikul gunung” tapi dibayar dalam “pikul Batavia”.
Dengan memanipulasi seperti ini para pejabat VOC tentu saja memperoleh untung besar. Tidak heran singkatan VOC pun mempunyai makna baru, yakni Vergaan onder Corruptie, berarti ‘ambruk karena korupsi’. [ ]
Ditulis Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya, mantan wartawan “Mutiara”, dalam blog beliau.