POTPOURRI

Sejarah Natal dan Penolakannya

Orang-orang berpesta sampai kayu habis terbakar yang membutuhkan waktu selama 12 hari. Percikan api pembakaran, dilambangkan sebagai babi dan anak sapi baru yang diharapkan lahir di tahun selanjutnya. Di akhir Desember itu pula, persediaan daging segar, anggur dan bir yang difermentasi sepanjang tahun dinikmati.

JERNIH- Hari ini, 25 Desember 2021, umat Nasrani di seluruh dunia tengah bergembira dengan merayakan hari kelahiran Yesus Kristus. Meski di bawah bayang-bayang teror pandemi terutama dengan ditemukannya virus corona varian omicron, kebahagiaan tak surut sedikit pun.

Berbagai ucapan dan kartu berkaitan dengan Natal, dilontarkan dengan penuh suka cita. Lalu, bagaimana kisahnya hingga 25 Desember ditetapkan sebagai hari lahir Yesus Kristus?

Diolah dari berbagai sumber, perayaan Natal pada 25 Desember, pertama kali diperingati pada tahun 221 Masehi. Sextus Julius Africanus, adalah sosok penting di balik penentuan tanggal itu.

Julius dikenal sebagai seorang pengelana dan sejarahwan Kristen Romawi yang dikabarkan hidup pada akhir abad ke 2 dan awal abad ke 3 Masehi. Dia juga punya peran penting terhadap semua penulis sejarah Gereja di antara Bapa Gereja, serta seluruh kelompok penulis Tawarikh Yunani.

Sebelum tanggal 25 Desember menurut kalender Masehi ditetapkan sebagai perayaan Natal, kerap kali timbul perdebatan terkait kapan waktu yang tepat dalam memperingati Natal. Armenia merayakannya setiap tanggal 6 Januari. Sementara Ortodoks Timur menandainya di 7 Januari.

Menurut catatan yang disuguhkan History, sejarah Natal berawal dari peringatan pertengahan musim dingin terburuk oleh Orang Nordik di Skandinavia. Waktu itu, kegembiraan lahir sebagai sambutan titik balik matahari.

Musim dingin terburuk, waktu itu telah berakhir. Begitu pula dengan penantian panjang terhadap sinar matahari, telah tiba saatnya. Perayaannya, dimulai 21 Desember hingga Januari. Dalam menyambutnya, bapak dan anak laki-laki membawa kayu-kayu besar kemudian membakarnya.

Orang-orang berpesta sampai kayu itu habis terbakar yang membutuhkan waktu selama 12 hari. Percikan api pembakaran, dilambangkan sebagai babi dan anak sapi yang diharapkan lahir di tahun selanjutnya. Di akhir Desember itu pula, persediaan daging segar, anggur dan bir yang difermentasi sepanjang tahun dinikmati.

Berbeda dengan Orang Nordik. Di Roma, Italia, ada perayaan penghormatan kepada Dewa Pertanian bernama Saturnalia yang digelar selama seminggu, saat hari titik balik matahari dan terus berlanjut satu bulan penuh. Saat itu, ada begitu banyak makanan serta minuman. Itulah saatnya berfoya-foya.

Perayaan di Roma, dilakukan dengan memberi kebebasan sementara kepada para budak yang diperlakukan setara. Bisnis-bisnis dan sekolah, ditutup agar semua orang bisa bergembira. Selanjutnya, Juvenalia juga digelar dalam rangka menghormati anak-anak. Ulang tahun Mithra, Dewa Matahari yang tak terkalahkan juga digelar setiap tanggal 25 Desember.

Pada awal Kekristenan lahir, umat Nasrani tidak memperingati Natal. Mereka hanya merayakan Paskah sebagai momen kematian Yesus di kayu salib. Lalu, di abad ke 4 Masehi, Gereja memutuskan hari kelahiran Yesus sebagai hari libur.

Alkitab memang tak pernah menyebutkan tanggal kelahiran Yesus secara rinci. Hingga akhirnya, Paus Julius I memilih tanggal 25 Desember sebagai hari Natal sekaligus perayaan kelahiran Yesus Kristus agar Orang Pagan mulai memperingati Natal.

Pada perkembangannya, perayaan Natal sempat mendapat penolakan di beberapa negara. Salah satunya di Inggris. Waktu itu, aktivis agama ingin mengubah hal yang diadakan di benua Eropa tersebut.

Tokoh sentral penolakan tersebut, adalah Oliver Cromwell beserta kelompok puritannya yang merebut Inggris di tahun 1645. Selain menduduki tahta kerajaan, mereka juga menyataan sumpah menghilangkan perayaan Natal sebab dianggap sebuah kemunduran.

Saat Raja Charles II kembali merebut tahta, dia memutuskan tetap menjadikan perayaan Natal sebagai hari libur nasional.

Di Benua Amerika, kelompok Pilgrims yang merupakan separatis dari Inggris menyeberang ke Amerika Serikat pada tahun 1620. Di sana, mereka jauh lebih keras lagi ketimbang di daerah asalnya.

Bahkan Cromwell, disebut-sebut masih kalah keras dalam pendirian atas agamanya. Hasilnya, pada masa awal AS berdiri, perayaan Natal tidak ditetapkan sebagai hari libur. Buktinya, pada 1659 hingga 1681, merayakan Natal malah dianggap melawan hukum di Boston. Siapapun yang melakukannya, didenda sebanyak lima shiling.

Ini sangat berbeda dengan Kota Jamestown, Virginia. Kapten John Smith melaporkan kalau perayaan Natal di sana malah penuh kegembiraan dan tanpa ada insiden.

Namun, setelah Amerika menggelar Revolusi, tradisi dari Inggris berupaya perayaan Natal tak dilakukan. Buktinya, hari kelahiran Yesus Kristus tidak ditetapkan sebagai hari libur federal hingga 26 Juni 1870.[]

Back to top button