Pendapat kontroversial lain diberikan oleh seorang sejarawan dan filolog, Prof. Slamet Muljana. Dalam buku karangannya “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara” (diterbitkan ulang LKiS, 2005), dia menafsirkan bahwa Fatahillah adalah seorang Muslim Cina yang sebelumnya bernama Toh A Bo alias Pangeran Timur. Pendapatnya itu didasarkan pada data kronik Tionghoa yang berasal dari kelenteng Semarang dan kelenteng Talang (Cirebon).
JERNIH– Meskipun kontroversial, pandangan Prof Husein Djajadiningrat yang menyatakan bahwa tokoh Tagaril identik dengan Faletehan atau Falatehan, bahkan dengan Sunan Gunung Jati yang disebut dalam babad, mempunyai pengaruh yang amat luas di kalangan sejarawan.
Hampir semua kepustakaan yang ada mengenai sejarah Indonesia hingga 1970-an, khususnya sejarah Jakarta, Banten, dan Cirebon, masih menganggap tokoh Fatahillah identik dengan Sunan Gunung Jati. Pandangan kontroversial juga pernah mengemuka tahun 1968, sebelum ditemukannya kitab “Carita Purwaka Caruban Nagari”.
Dalam kitab “Carita Purwaka Caruban Nagari” dikatakan Fatahillah berbeda dengan Sunan Gunung Jati. Fatahillah (Fadhilah Khan) adalah menantu dari Sunan Gunung Jati. Arkeolog bidang Islam, Uka Tjandrasasmita, juga mendukung pendapat demikian (1996).
Pendapat kontroversial lain diberikan oleh seorang sejarawan dan filolog, Prof. Slamet Muljana. Dalam buku karangannya “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara” (diterbitkan ulang LKiS, 2005), dia menafsirkan bahwa Fatahillah adalah seorang Muslim Cina yang sebelumnya bernama Toh A Bo alias Pangeran Timur. Pendapatnya itu didasarkan pada data kronik Tionghoa yang berasal dari kelenteng Semarang dan kelenteng Talang (Cirebon).
Menurut Slamet Muljana, semula Syarif Hidayat Fatahillah adalah panglima tentara Demak. Tokoh ini identik dengan Sunan Gunung Jati. Toh A Bo adalah putra Sultan Trenggana, Tung Ka Lo. Fatahillah adalah orang kelahiran Demak dan berasal dari bangsawan tinggi, yakni putra Sultan Demak.
Nama Fatahillah kemudian dipakai oleh Toh A Bo ketika dia dinobatkan sebagai Sultan Banten. “Tidak dapat dikatakan dengan pasti kapan Fatahillah menjadi sultan. Yang pasti pada 1552, dia meninggalkan Banten dan menetap di Cirebon serta mendirikan kesultanan Cirebon. Kesultanan Banten dia serahkan kepada putranya, Hasanuddin. Pada 1570, Fatahillah wafat dan dimakamkan di Sembung, Bukit Gunung Jati,” begitu tafsiran Slamet Muljana.
Dr. Simuh yang pernah menjabat Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam seminar di FSUI mengatakan bahwa Walisongo dan Syekh Siti Jenar itu tidak ada. Yang ada adalah ribuan wali (1995). Berarti keberadaan Sunan Gunung Jati pun patut dipertanyakan. [ ]
Ditulis Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya, mantan wartawan “Mutiara”, dalam blog beliau.