POTPOURRI

Terkuburnya Jejak Taipan Masa Lampau dan “Detasemen Dezentje” di Kerkhof Ampel

Saat Perang Jawa (1825-1830) berlangsung, kondisi ini mengancam bisnis perkebunan miliknya. Untuk menjamin keamanan bisnisnya, Tinus rela mengeluarkan biaya untuk mempekerjakan 1.500 serdadu asing yang kemudian lebih dikenal sebagai “Detasemen Dezentje”. Detasemen ini merupakan hulptroepen atau pasukan pembantu militer Belanda

Oleh  : Ratna Setiyaningrum*

JERNIH– Pada sebuah lahan yang cukup luas di daerah Ampel, Boyolali, terdapat sebuah kompleks pemakaman Belanda yang kondisinya memprihatinkan. Padahal, kompleks makam ini sudah terdaftar sebagai cagar budaya. Beberapa makam tersembunyi di balik rimbunnya semak-semak.

Hampir semua makam  tidak lagi diketahui milik siapa karena marmer penanda makam—yang berharga– sudah hilang. Satu-satunya informasi yang didapat, komplek tersebut merupakan pemakaman keluarga Dezentje.

Usaha perkebunan

Johannes Agustinus Dezentje atau biasa disebut sebagai Tinus Dezentje (1797-1839) adalah putra dari seorang pegawai berkebangsaan Eropa untuk raja dari Kasunanan Surakarta bernama August Jan Caspar ( 1765-1826). 

Tahun 1816, dari gajinya sebagai perwira, Caspar menyewa tanah apanage milik Kasunanan yang terbentang dari Salatiga, Ampel sampai Boyolali. Tanah ini selanjut-nya diwariskan kepada Tinus, yang kemudian merintis usaha perkebunan keluarga Dezentje di Vorstenlanden.

Saat Perang Jawa (1825-1830) berlangsung, kondisi ini mengancam bisnis perkebunan miliknya. Untuk menjamin keamanan bisnisnya, Tinus rela mengeluarkan biaya untuk mempekerjakan 1.500 serdadu asing yang kemudian lebih dikenal sebagai “Detasemen Dezentje”. Detasemen ini merupakan hulptroepen atau pasukan pembantu militer Belanda. Atas permintaan Jenderal De Kock, Dezentje mempengaruhi Sri Susuhunan untuk tetap bersikap netral dalam Perang Jawa.  Untuk jasanya ini, Kerajaan Belanda memberikan penghargaan berupa Orde de Nederlandse Leeuw kepada Tinus.  Tinus meninggal pada 7 November 1839 dalam usia 42 tahun. Ia mewariskan lahan perkebunan seluas 1.275 hektare.

Makam setelah dibersihkan atas bantuan masyarakat setempat.

Semak belukar

Kejayaan keluarga Dezentje di Bumi Vorstenlanden berlalu bersama waktu.  Keberadaan mereka terlupakan,  kompleks  pemakaman keluarga ini saat ditemukan dalam kondisi tertutup semak belukar. Kondisi makam cukup mengenaskan, hanya tersisa makam tanpa identitas. Marmer penanda sudah hilang.

Saat pertama memasuki kompleks ini, hanya makam milik JEA Dezentje dan Raden Ayu Dezentje yang terlihat, selebihnya area dipenuhi semak belukar dan rimbun pepohonan.  Saat itu dengan peralatan seadanya dilakukan pembersihan. Beberapa makam mulai terlihat. Dugaan sementara masih banyak lagi makam yang tertutup tumbuhan dan menanti untuk ditemukan.

Atas prakarsa beberapa komunitas peduli cagar budaya, maka pada 23 September 2017 dilakukan pembersihan secara swadaya. Satu demi satu makam mulai bermunculan. Sejalan dengan bersihnya seluruh kompleks makam, ditemukan bahwa hampir semua struktur bangunan makam telah mengalami pelapukan akibat adanya akar pohon yang tumbuh menembus struktur tersebut. Untuk mencegah kerusakan lebih lanjut, dilakukan penebangan pohon yang tumbuh di areal makam dengan bantuan warga sekitar.

Mempercepat kerusakan

Ketidaktahuan warga sekitar tentang tokoh yang dimakamkan di sini beserta peranannya berakibat cukup fatal. Pohon Sengon (Albizia chinensis) yang ditanam di areal tersebut oleh beberapa warga dengan tujuan pemanfaatan lahan justru mempercepat kerusakan.

Karakteristik perakaran Sengon yang melebar dan memiliki daya penetrasi kuat memungkinkan untuk menembus struktur batuan makam. Sifat perakaran yang dangkal memungkinkan tanaman ini meningkatkan tingkat kesuburan tanah tempat dia tumbuh, pertumbuhan yang cepat, juga susunan daun yang membentuk payung  menyebabkan berkurangnya sinar matahari yang mencapai tanah.

Itu semua menyebabkan tanaman-tanaman perdu tumbuh dengan subur.  Kombinasi ini merupakan resep ampuh yang mempercepat pelapukan pada struktur bangunan makam.

Bukan usaha yang mudah untuk membersihkan, merawat, dan menjaga areal ini.  Keberadaan komunitas peduli cagar budaya yang bersedia mencurahkan waktu, tenaga, pikiran dan materi secara swadaya dirasa tidaklah cukup. Untuk itu edukasi kepada warga sekitar tentang pentingnya keberadaan areal cagar budaya  ini juga dilakukan.

Warga sekitar yang dengan antusias mengikuti dan membantu proses pembersihan dan bersedia ikut menjaga kawasan ini dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab patut diberikan apresiasi yang besar. Akan tetapi pekerjaan ini belumlah selesai. Pemeliharaan dan edukasi berkesinambungan tetap harus dilakukan. Semua demi serpihan sejarah yang menyusun bangsa. [  ]

*Dengan sedikit pengubahan.

Back to top button