Tersesat di Kerajaan Jin Rawa Onom [8]
Lolongan itu seperti sebuah lolongan serigala namun suaranya lebih menyayat-nyayat menyedihkan. Ketika binatang itu berlalu ke hadapannya, Lendra mengkirik bulu-kuduknya. Binatang itu seperti kera tapi bisa berjalan sebagaimana laiknya manusia. Namun yang lebih aneh, kepalanya menyerupai kepala anjing.
Oleh : Aan Merdeka Permana
JERNIH–Entah mengapa. Tapi secara tiba-tiba saja dirinya jadi ingat kembali kepada Nyi Indangwati. Bukan sekadar ingat, dia bahkan merasa rindu. Lendra merasa kalau Nyi Indangwati menyayangi dirinya.
“Aku harus bertemu dengannya …” gumamnya. Maka pada hari itu juga secara diam-diam pemuda itu pergi meninggalkan Rancah. Yang ditujunya tak lain adalah wilayah Pulo Majeti.
“Aku harus bertemu dengannya. Harus …” tutur hati Lendra berkali-kali.
Secara diam-diam Lendra berangkat menuju wilayah Pulo Majeti sebab dia yakin akan mudah menemui Nyi Indangwati di tempat di mana dulu dia menemukannya. Lendra ingat pertama kali dia bersua dengan Nyi Indangwati. Itu terjadi ketika Bendara Wedana mengajaknya berburu binatang. Ketika ada seekor menjangan terkena anak-panah, Lendra menyusulnya. Belakangan, ternyata bukan menjangan yang terkena panah, melainkan tubuh seorang perempuan cantik. Itulah Nyi Indangwati. Gadis ayu itu merasa tertolong myawanya oleh Lendra. Sebagai balas jasa, maka gadis cantik berlesung pipit itu berjanji akan menghadiahkan sesuatu. Berupa apakah itu, Lendra tak sempat menanyakannya sebab dirinya tak secuil pun mengharapkan upah. Namun oleh peristiwa yang menekan dirinya itu, memaksa Lendra untuk mengingat kembali apa yang pernah dijanjikan Nyi Indangwati.
“Ya, aku harus menemui Nyi Indang …” tuturnya lagi. Tapi, untuk sampai ke tempat tujuan kini susahnya bukan main.
Walau pun baru sekali ke wilayah Pulo Majeti, namun sebenarnya Lendra masih hapal ke mana arah yang musti dituju. Lendra pun hapal betul, berapa lama waktu dihabiskan untuk bisa sampai ke tempat itu. Namun manakala perjalanan ini diulang kembali, ternyata tidak sama persis seperti perjalanan pertama itu. Lendra musti keluar masuk hutan yang gelap dan pekat. Terkadang tubuhnya terjerembab masuk ke kubangan berlumpur dingin. Ketika tangannya menggapai-gapai ke atas karena tubuhnya melesak ke rawa dalam, ternyata benda yang digapainya bukan akar bukan pula dahan pohon, melainkan tubuh seekor ular besar.
Maka Lendra harus bergumul dengan ular besar itu sebelum dirinya selamat dari jebakan tanah rawa. Dengan serta-merta tubuh ular itu dia gayuti dan dipakai alat untuk melepaskan diri dari jebakan lumpur pekat. Selamat dari jebakan rawa dan bahaya ular berbisa, ternyata dia pun harus berhadapan dengan beberapa binatang hutan berbahaya.
Manakala dia tiba ketika malam menjelang di sebuah gugusan tanah penuh pohon-pohon besar, didengarnya sebuah lolongan mengerikan. Lolongan itu seperti sebuah lolongan serigala namun suaranya lebih menyayat-nyayat menyedihkan. Ketika binatang itu berlalu ke hadapannya, Lendra mengkirik bulu-kuduknya. Binatang itu seperti kera tapi bisa berjalan sebagaimana laiknya manusia. Namun yang lebih aneh, kepalanya menyerupai kepala anjing.
Tempo hari Mang Sajum pernah bilang bahwa di hutan-hutan pekat daerah Rancah terdapat binatang aneh bernama aul. Aul itu bentuknya seperti kera namun berkepala anjing. Jarang menampakkan diri, kecuali malam hari, itu pun di tengah hutan. Dan binatang yang kini berdiri di hadapannya itu bentuk tubuhnya persis seperti apa yang pernah digambarkan oleh Mang Sajum.
Dada Lendra berdegup kencang. Binatang misterius itu tetap berdiri di hadapannya dan suaranya melolong-lolong terus. Lendra mencoba menguatkan batinnya dan memasang kuda-kuda untuk menghadapi kemungkinan buruk. Namun binatang itu ternyata tak bermaksud jahat. Buktinya setelah lama menatap agak lama, dia segera meloncat pergi. Loncatannya demikian dahsyat dan cepat. Hanya dalam sedetik lenyap bagaikan ditelan gelapnya malam.
Hanya suaranya saja sayup-sayup terdengar melolong dan merintih. Binatang itu ternyata tak berbahaya. Yang membahayakan malah yang datang belakangan. Entah dari mana datangnya, secara tiba-tiba hadir serombongan ular.
SECARA serentak, ular-ular itu membelit sekujur tubuhnya. Lendra berusaha meronta dan menguak. Namun semakin kuat dia meronta semakin kuat lilitan ular-ular itu. Beberapa di antaranya malah membelit lehernya, menyebabkan pernapasan Lendra serasa tercekik. Akan akhirnya Lendra terkulai lemas karena napasnya serasa sesak.
Manakala siuman, ternyata dia sudah berada di sebuah ruangan. Ini adalah ruangan mewah.
Suasananya pun terang-benderang kendati di sana tak didapat penerangan atau jendela terbuka. Lendra tergolek di atas alketip berwarna merah darah. Ada harum wewangian menyelimuti seluruh ruangan. Lendra berusaha bangkit namun tubuhnya terikat keras oleh tali-tali kencang terbuat dari sejenis kulit.
“Suruh dia duduk,” terdengar suara seseorang. Tubuh Lendra didudukkan oleh seseorang.
Maka sambil tubuh tetap tertelikung tali kencang, dia sudah dalam keadaan duduk dan menghadap ke arah sebuah singgasana.
Di atas singgasana warna emas itu terlihat duduk seorang lelaki setengah baya, berkumis tipis berjanggut tipis dengan sepasang mata tajam menyorot. Lelaki gagah ini memakai mahkota raja terbuat dari emas pula. Ada ornamen berlian di jidatnya, bergoyang-goyang karena kepalanya bergerak.
“Kau musti beri hormat kepada Sang Prabu Selang Kuning …” tutur seorang ponggawa. Tapi kendati merasa terkejut, Lendra tetap diam.
“Ayo cepat menyembah!” teriak seseorang.
“Bagaimana caranya aku menyembah, sementara kedua tanganku terikat keras?” tanya Lendra.
“Kalau kau berniat menyembah setulus hatimu, maka kau bisa,” tutur orang itu lagi. Lendra musti berpikir berulang-ulang untuk mengaku tulus dalam menyembah. Namun karena dia ingin lepas, maka dia kuatkan hatinya untuk berniat menyembah. Maka seketika itu pun sepasang tangannya lepas dan bisa menyembah takzim.
“Nah, begitu baru bagus …” kata seseorang. Lendra hanya sedikit mendengus.
“Kau orang Galuh, mau apa datang ke Kerajaan Pulo Majeti sini?” tanya seseorang lagi.
Sementara Prabu Selang Kuning tetap memandang saja.
“Saya bukan orang Galuh, bila yang kalian maksud adalah sebuah kerajaan bernama Galuh. Harap kalian ingat, Galuh sudah hilang. Yang ada hanyalah Kabupaten Ciamis,” kata Lendra.
“Setiap yang ingin hancurkan Kerajaan Pulo Majeti adalah orang Galuh,” tutur lagi orang di sampingnya.
“Ki Patih, biarkan orang ini mengutarakan maksudnya …” Sang Prabu Selang Kuning mulai berujar.
“Sang Prabu sudah berkenan. Maka cepat kau katakan, apa maksud kedatanganmu?” tanya Ki Patih.
“Saya ingin tanya sesuatu. Apakah di bangsa kalian sebuah janji musti ditepati?” tanya Lendra.
“Jangan samakan kami dengan bangsa manusia. Janji bagi bangsa kami adalah sebuah kehormatan,” tutur Ki Patih marah.
“Siapa yang pernah janji padamu?”
“Nyi Indangwati …”
“Mengapa Nyi Indangwati pernah keluar janji, padahal di bangsa kami tak biasa mengobral janji?”
“Bisakah hadapkan Nyi Indangwati?” tutur Lendra.
NYI Indangwati ternyata tak bisa dihadirkan dan ini membuat Lendra kecewa berat.
“Mengapa saya tak bisa bersua dengan Nyi Indangwati?” tutur Lendra kepada patih.
“Sebab Nyi Indangwati bukan orang biasa. Orang kebanyakan sepertimu tak bisa gegabah bersua dengan putri Raja. Nyi Indangwati tak akan segegabah itu menerima kehadiran orang kebanyakan,” sahut Ki Patih sambil melirik kepada Prabu Selang Kuning.
Namun yang dilirik hanya diam saja. Wajahna nampak masygul.
“Apakah Nyi Indangwati pun tidak gegabah dalam menerima pertolongan orang kebanyakan dan apalagi pertolongan itu menyangkut nyawanya?” tanya Lendra menatap Ki Patih.
“Engkau pernah menolong nyawa Nyi Indangwati?” Ki Patih balik bertanya.
“Ya, dan mustahil seorang bangsa onom tak taat janji,” kata Lendra memanas-manasi.
“Apa yang dijanjikan anakku itu, hai anak-muda?” Prabu Selang Kuning mengangkat badannya sedikit dari kursinya. Maka Lendra menceritakan pengalamannya menolong luka gadis itu. Karena pertolongan ini, maka Nyi Indangwati berjanji akan melu luskan permintaan Lendra.
“Permintaan apa?” tanya Sang Prabu.
“Tak disebutkan sebab saya tak pinta. Dan kini karena saya butuh pertolongannya, maka akan saya pinta janjinya …” kata Lendra.
“Biasanya laki-laki yang datang pada anakku merengek-rengek mohon menjadi suaminya. Apakah itu pula yang engkau akan perbuat, anak muda?” tanya Sang Prabu. Namun Lendra menggelengkan kepala dan amat mengherankan bagi yang melihatnya.
“Dia mungkin laki-laki bodoh bila dapat peluang bersua Nyimas namun tak minta jadi suaminya,” gumam Ki Patih tersenyum sinis.
Lendra tak mengomentari.
“Apakah engkau menginginkan emas-intan dan berbagai kekayaan? Lelaki di bangsa manusia memang begitu. Kalau tak minta wanita tentu minta harta, bahkan kekuasaan,” tutur Ki Patih lagi. Untuk kedua kalinya Lendra tak menimpali komentar mereka. Dan manakala Lendra hanya diam seribu bahasa, maka terdengar kekeh menghina dari para prajurit.
“Sudah, biarkan saja anak-muda ini mengutarakan keinginannya,” potong Sang Prabu.
“Coba katakan saja kepada Sang Prabu, apa permintaanmu, anak-muda …” kata Ki Patih.
“Maksudnya, apakah saya tak perlu bersua dengan Nyi Indangwati?” tanya Lendra.
“Jangan cerewet. Cepat katakan saja, apa keinginanmu,” kata Ki Patih marah.
Maka Lendra berkata, bahwa Bendara Wedana tengah menghimpun kekuatan rakyat untuk mengeringkan Rawa Onom namun rakyat kebanyakan takut dan tak sudi mengerjakan proyek besar itu.
“Saya minta, bebaskan rasa takut orang agar sudi mengerjakan pengeringan rawa itu,” kata Lendra.
Mendengar celoteh Lendra, Sang Prabu termangu. Ki Patih bahkan merah-padam wajahnya.
“Mengapa Rawa Onom musti dikeringkan?” tanya Sang Prabu kemudian.
“Agar kehidupan rakyat lebih sejahtera. Sebab dengan keringnya wilayah rawa itu, maka rakyat bisa menanam apa saja,” kata Lendra.
“Kau hanya berpikir perihal kesejahteraan bangsa manusia saja. Bagaimana pula dengan kepentingan bangsa kami?” tutur Ki Patih menyela.
“Apakah ini merugikan kalian?” tanya Lendra.
KI Patih berujar, bahwa bangsa manusia cenderung egois. Bangsa manusia selalu beranggapan bahwa hanya kepentingan mereka saja yang musti didahulukan.
“Padahal bangsa lelembut (halus) seperti kami ini pun sama punya kepentingan hidup,” tutur Ki Patih.
“Apakah dengan upaya pengeringan rawa, bangsa kalian akan terpuruk?” tanya Lendra lagi.
Hening sejenak. Kemudian giliran Sang Prabu yang berucap.
“Antara bangsa kalian dengan bangsaku memang terpisahkan oleh satu lapisan. Namun lapisan itu sungguh hanya setebal kulit bawang. Perikehidupan kami juga kadang-kadang suka ada kaitannya dengan bangsa kalian. Tokh apalagi bangsa kami dahulunya adalah seperti kalian pula, yaitu sama-sama sebagai bangsa manusia,” tutur Sang Prabu.
Namun hal ini belum membuat Lendra mengerti.
“Kami perlu makan. Makanan itu di antaranya ada di lingkungan bangsa manusia. Kalau kami ingin makanan berupa daging, maka kami akan mengubah diri jadi buaya atau sebangsa hewan pemakan daging. Kalau kami ingin makanan yang tumbuh di air, maka kami akan menyerupai ikan yang berseliweran di rawa-rawa. Maka bila rawa kering, kami tak bisa mencari makan sebab suatu saat, oleh keserakahan manusia, rawa akan berubah menjadi ladang dan sawah. Belakangan akan berubah pula menjadi rumah atau pusat kediaman penduduk. Dan lantaran manusia adalah bangsa serakah, maka suatu saat alam akan rusak. Telaga tak ada, rawa tak ada, hutan tak ada. Padahal itulah tempat hidup kami,” tutur Ki Patih.
“Itu juga bagian dari tempat hidup manusia,” potong Lendra.
“Apalagi bila hal itu benar demikian. Tapi aku sungguh tak percaya sebab manusia itu memang serakah. Suatu saat, alam yang asri ini bakal habis atau rusak,” tutur Ki Patih lagi.
“Tak boleh memukul-rata seperti itu. Kalau semua manusia ahlaknya rusak, sudah sejak dulu dunia ini akan punah,” gumam Lendra sedikit tersinggung.
“Apakah engkau bagian dari kelompok yang baik?” tanya Ki Patih.
“Saya tak berani menilai diri sendiri. Namun majikan saya, Bendara Wedana adalah orang yang menghargai alam. Beliau berupaya membuat rencana bukan semata untuk kepentingan umat manusia semata namun juga untuk kepentingan yang lebih besar lagi, yaitu alam semesta ini. Bendara ingin alam tetap asri dengan polesan-polesan tangan manusia,” kata Lendra.
“Maksudmu, kami harus bantu kalian?”
“Paling sedikit, kami tak diganggu.” [Bersambung]