Puisi

5 PUISI ANDI WIRAMBARA

CERITANYA TIDAK SEPERTI INI

mungkin aku salah beli buku
karena ponakanku menangis
saat kubacakan alkisah
yang seingatku tak seperti ini

: dahulu kala, tujuh bidadari
yang tidak bisa berenang
nekat mandi di telaga

seorang pemuda
mencuri selendang mereka
lantas kabur dari sana

pada pelarian, tentara raja
mencegat, mengikat tangannya
menyeret ke penghakiman

pemuda itu tak tahu apa-apa
saat vonis menyatakan bersalah
atas penemuan tujuh wanita
mengambang di muka telaga

selembar selendang tergeletak
di telapak tangan dhyaksa
sebagai satu-satunya bukti
satu-satunya saksi

(2023)

*** 

CATATAN REDAKSIONAL

Selendang, Dhyaksa, dan Dongeng yang Diseret ke Meja Hijau

oleh IRZI Risfandi

Dongeng zaman dulu memang lihai menyembunyikan kejanggalan di balik cahaya bulan. Tujuh bidadari mandi di telaga, selendang hilang, pemuda muncul entah dari mana—dan boom! cinta pun tercipta. Tapi Andi Wirambara, penyair yang juga praktisi hukum, tidak sudi ikut tepuk tangan. Ia lempar dongeng ini ke meja hijau, lalu bertanya: “Lho, ini tindak pidana, bukan kisah cinta!” Dalam puisinya yang absurd tapi tajam, kita disuguhi versi lain dari cerita lama—versi yang lebih sadar hukum, lebih sinis, dan diam-diam menertawakan betapa mudahnya kita termakan narasi romantis tanpa bertanya siapa korban, siapa terdakwa, dan siapa yang diam-diam untung.

Puisi “Ceritanya Tidak Seperti Ini” membuka dengan gaya polos ala cerita keluarga: paman yang ingin membacakan dongeng untuk keponakannya, eh, malah dibuat bingung sendiri. Karena dongeng yang ia ingat tidak seperti yang tertulis di halaman. Di sinilah letak kekuatan puisi ini: ia menyamar jadi cerita ringan, padahal sedang menyentil. Gaya naratifnya cenderung lucu, tapi efeknya serius—seolah menelanjangi mitos-mitos klasik dan mempertanyakan struktur kekuasaan di dalamnya. Bahwa ada ketidakadilan yang direstui atas nama legenda, dan kita, dari kecil, disuruh mengamininya.

Sebagai penyair kelahiran Ambon yang kini menetap di Malang, Andi Wirambara punya latar belakang yang tidak main-main: praktisi hukum sekaligus penulis. Ia telah menerbitkan dua buku puisi (Harmonika Lelaki Sepi dan Lengkung) serta dua kumpulan cerpen. Dalam puisinya, terutama yang ini, terlihat jelas bagaimana dua dunia itu—hukum dan sastra—bertemu tanpa saling mengganggu. Bahasa puisinya tetap indah, tapi juga punya keberanian untuk mengusik. Selembar selendang di tangan dhyaksa menjadi “alat bukti tunggal”—dan itu saja cukup membuat puisi ini seperti dokumen pengadilan yang disajikan dalam irama lirikal.

Kita diajak untuk tidak lagi menelan kisah-kisah lama mentah-mentah. Bahwa pemuda yang mencuri selendang itu bisa jadi pelaku pelanggaran privasi, atau bahkan tindak pidana ringan—kalau pakai KUHP. Bahwa tujuh bidadari yang “tidak bisa berenang” dipaksa menjadi korban naratif tanpa daya. Di sinilah Andi bermain cerdas: ia tak sekadar menyindir, tapi juga mendekonstruksi. Puisi ini bukan soal cinta atau pengkhianatan, tapi tentang keadilan yang timpang dalam mitologi. Dan semuanya dikemas dalam bahasa yang ringan, imajinatif, dan ironis.

Dan ya, jujur saja, puisi ini bikin kita senyum getir. Sebab kadang, cerita yang katanya “dahulu kala” itu tidak setua kelihatannya. Ia masih hidup, masih diajarkan, dan masih belum ditanya kebenarannya. Ceritanya Tidak Seperti Ini adalah alarm manis bahwa puisi bisa jadi alat koreksi sejarah, dan penyair bisa menjadi “kuasa hukum” bagi tokoh-tokoh fiktif yang tak pernah diberi kesempatan bersuara. Dani Wirambara, dengan gaya lirikalnya yang kalem tapi menusuk, menunjukkan bahwa sastra tak hanya indah, tapi juga bisa tajam seperti argumen di ruang sidang.

2025


WEWANGIAN APA YANG AKAN KUKABARKAN?

‎Mana yang lebih dulu ingin kau dengar? Kabar baik, atau kabar bahwa aku tak bisa memberimu kabar buruk?

‎Malam selalu mengalungimu dengan kerinduan-kerinduan yang tak hanya terangkaikan dari milikku saja. Kemudian atas ketidaktahuanmu, telah kupilihkan beberapa raut-raut bunga yang kelopaknya bisa merapikan air matamu. Menjadi deretan manik-manik yang mengelilingi muara dada. Muara dari segala alur dan alir sepi masing-masing hati.

‎Dalam dadamu, repih rinduku barangkali hanya sekumpulah remah yang bisa kauremehkan. Butir demi butiran. Keping demi kepingan. Namun di dadaku, repih rindu itu membangunkanmu sebuah rumah untuk kautinggali dengan debar-debar yang ramah. Kau boleh mendengar debar-debar itu sebagai sebuah rapsodi yang pula menyemburkan wewangian pelangi. Wangi-wangi yang betapa santun memikat penciumanmu. Dan kau mulai menenun taman dengan bunga-bunga yang tumbuh ketika kau jatuh, lalu mencinta.

‎Kau sodorkan segenggam wangi itu padaku, “adakah wangi yang lebih istimewa dari ini?”. Kemudian aku mengendusnya kecil, menghirupnya mungil-mungil. Sementara napasku telah menghapal kau. Maka, wangimu lebih istimewa karena sejauh apapun kau pergi, rinduku mampu melacak hingga menemukanmu.

‎Kau tak mencari bahagia, kau dicari bahagia. Serupa putri dalam dongeng-dongeng yang meninggalkan segala rupa jejak. Jejak itu pun bermain-main di bulu mataku. Hingga berat, lalu tanggal dan terbang ke mana kau menanti pelukan.

‎Ini hal biasa. Aku biasa kalah oleh rindu, dan menang karena rindu yang mengalah. Namun rindu tak bisa mencegahku untuk mencintaimu. Hingga kupastikan, di bawah daun yang dihinggapi musim, berikut kabar raut bunga untukmu yang kupilihkan: berkelopak mungil, berwangi hal-hal yang membuatmu merindukanku.

*** 

DICERAMAHI PLATO

dalam mimpi semalam, aku diceramahi plato
tentang teorinya yang membagi dunia
menjadi ide dan realita
ide adalah tiruan dari realita
yang ditangkap indera, katanya

kubuatlah contoh, semisal
dapatkah kulamun tiruan wajahmu
jika rahim seorang ibu tak pernah
menghadirkanmu sebelumnya?

dapatkah pikiranku mendeskripsikan
adegan menggemaskan perjumpaan kita
jika waktu tak pernah menyuguhkannya?

dan apakah rindu dapat memiliki wujud utuh
selain rupa santun jentik matamu
yang melenakan debar dadaku itu?

sebab saat aku terbangun, hanya parasmu
yang muncul dan tersenyum di temaram
hingga aku kaget
hingga aku pening
hingga aku kentut

(Pasuruan, 2024)

*** 

MENELANJANGI RINDU DENGAN BANYAK PERTANYAAN

Usai tatapmu menelanjangi rindu,
detik atau detak pertemuankah
yang lebih dulu kautunggu?

Lalu rindu apa yang kaupertuhankan
sementara tak mampu kaupertahankan?

Apakah rindu selalu tentang merasuk
tanpa pernah merusak?

Bukankah rindu untuk menceritakan,
bukan rupa dari sekadar mencitrakan?

Jikalau perihal jarak,
rindu sedianya merekatkan
ataukah meretakkan?

Mungkinkah rindu lebih nikmat
jika dirasakan, bukan diresahkan
terlebih direbahkan?

Saat rindu menjelma musim yang baru
benarkah bulumata akan tanggal
secara tunggal?

Jika sebentar mekar, sebentar-sebentar mekar
apakah rindu merupa bunga yang tak sadar
dan tak pernah bersabar?

Sepedih apa air mata seseorang
yang memberi rindu seutuhnya
namun dibalas sebutuhnya?

Bisakah rindu disebut perjalanan
yang melintas dari mata ke maya,
dan ditempuh dalam enggan?

(2024)

*** 
CATATAN

aku ingin menjadi menu makanan
yang kaucatat di kertas pesanan
sebagai sesuatu yang kau mau,
kau ingin, dan kaunanti dengan sabar

lalu aku akan kembali padamu, jika ada yang ingin kau tambah
: misalnya debarku yang tak ingin kau lewatkan

aku ingin menjadi tumpukan materi belajar
yang kaucatat dengan tabah
agar kau bisa melihatku dengan heran
seperti bagaimana aku memandangmu

seraya berpikir bagaimana menjaga agar terus terbawa di kepala
dan kau berdoa agar aku tak kaulupakan

aku ingin menjadi namamu sendiri
yang kaucatat di buku tulismu
agar kau senantiasa tersenyum
saat membuka halaman-halaman kenangan
yang pernah kutintakan padamu

kemudian kau tertawa membacanya di masa kelak
menertawakan aku, yang menjadi bagian dari cerita

aku ingin menjadi sesuatu yang bisa kaucatat
sebagai apapun
yang membuatku ada
setidaknya untukmu

(2023)

‎ 
BIODATA :

Andi Wirambara, lahir pada 24 September di Ambon, kini berdomisili di Malang dan aktif sebagai praktisi hukum. Ia juga menekuni dunia kepenulisan, khususnya puisi dan cerpen. Karya-karyanya telah dimuat di berbagai media serta antologi bersama. Telah menerbitkan dua buku puisi tunggal: Harmonika Lelaki Sepi dan Lengkung, serta dua kumpulan cerpen: Sekeping Tanda dan Tentang Pertemuan.

Check Also
Close
Back to top button