Puisi

5 PUISI APITO LAHIRE

LAGU BOCAHKU
: jalu
Oleh : Apito Lahire

ayah, filsafat apa mampu mengurai adaku
yang kau beri peluk
dalam setiap ketukan
hangat kedatangan merangsang rinduku padamu, ayahku

apa aku terbuat dari partikel puisi
ayatayat yang terus dikenali
dicumbui

atau aku hanya selembar kasih sayang
ijasah kemanusiaanmu

mungkin aku sepotong coklat tentram
yang kau kunyah sesudah makan
bersama ibu yang tabah menjadi doa

“surga…surga…ibu paling setia menunggu”

Tegal 22 Desember 2022
*

CATATAN REDAKSIONAL

Bocah, Cokelat, dan Ijazah Kemanusiaan: Puisi Apito Lahire yang Manja dan Menggugat

Oleh Irzi Risfandi

Puisi ‘Lagu Bocahku’ karya Apito Lahire ini bukan puisi yang bisa kita baca sambil lalu sambil ngaduk kopi. Ia seperti anak kecil yang tiba-tiba nyanyi dengan nada sendu di tengah keramaian arisan: bikin semua orang berhenti, menoleh, lalu diam-diam mewek. Tapi jangan salah, walau judulnya manis dan lariknya lembut, puisi ini menggenggam filosofi berat—tentang eksistensi, asal-muasal diri, cinta, dan tentu saja: ayah. Dari bait pertama, Apito sudah mengajak kita menari di antara filsafat dan pelukan, dua hal yang jarang digabungkan tapi di sini jadi terasa sangat akrab. “Ayah, filsafat apa mampu mengurai adaku” adalah pembukaan yang menohok tapi centil—kayak anak pujangga yang baru bangun tidur lalu langsung eksistensial.

Larutan pertanyaan dalam puisi ini bukan asal sok mendalam; ia mengalir alami karena tubuh puisinya memang dibangun dari bahan yang rentan: rasa rindu, kenangan fisik, dan kasih yang tidak berisik. Apito, yang sudah menulis sejak SMA dan bergulat dalam dunia teater serta sastra di panggung-panggung alternatif, jelas tahu betul cara membangun “adegan” dalam puisi. Puisi ini terasa seperti monolog anak kepada ayahnya, dibisikkan pelan sambil memeluk udara. Tapi, eh, jangan keburu mellow. Lihat betapa jahilnya Apito bermain dengan diksi: ia sebut dirinya “sepotong coklat tentram”—iya, COKLAT. Lumer, manis, penuh gula darah sekaligus gula hati. Imaji ini nggak hanya bikin pembaca senyum, tapi juga membuka lapisan emosional yang jarang disentuh oleh puisi bertema ayah.

Apito tidak berhenti di nostalgia dan haru biru. Ia sisipkan lirik kehidupan yang tidak terlampau serius, tapi justru karena itu terasa lebih jujur. Ada “ibu yang tabah menjadi doa”, ada surga yang dilafalkan seperti nyanyian bocah—“surga… surga… ibu paling setia menunggu.” Lihat bagaimana Apito menutup puisi dengan tidak menyelesaikan masalah, tapi membiarkan kita menggantung di antara iman dan imajinasi. Kayak pertunjukan teater yang lampunya mati sebelum tirai turun. Pembaca dipaksa menafsirkan ulang semua kalimat yang baru saja mereka telan. Sebuah teknik yang khas dari seniman yang lama berkecimpung di dunia panggung.

Sebagai seorang aktor, sutradara teater, dan penyair yang “ngebyak” (baca: meledakkan) dunia sastra-teater sejak tahun 90-an, Apito Lahire bukan pendatang baru. Ia veteran lirikal yang diam-diam menghimpun antologi bersama, dari Tegal hingga Bali, dari Semarang hingga Kalimantan Selatan. Ia juga nyambi jadi juri lomba burung berkicau, dan barangkali justru dari sana ia belajar bahwa puisi juga seperti suara burung: bisa melengking, bisa lirih, tapi harus punya nyawa. Lagu Bocahku adalah salah satu puisi yang tak hanya bernyanyi—ia bersiul, berlari, dan bersembunyi di antara pelukan dan pertanyaan.

Puisi ini meninggalkan kita dengan satu rasa: bahwa jadi manusia itu bukan sekadar ada, tapi diakui dalam peluk, dikenal dalam ayat, dan diijazahi oleh kasih sayang yang tak pernah tamat. Terima kasih, Apito, sudah membuat kami semua—dari pembaca serius sampai pembaca centil—menunduk sejenak pada kata-kata yang diam-diam tumbuh seperti bocah manja: minta dielus, tapi diam-diam menyentuh.

2025

*

Pagi Pertama

Tanah kelahiran
Ibu pertama
mendaraskan wangi
Di tepi Kali Rambut
Semayam leluhurku

Garba cinta
Bumi pinanganNya
Kepadaku aku dituliskan
Sebagai kalam kisah
Bocah puisi pengurai serat kulit Jati
Dari Penujahan, Lebakwangi, Capar, Gantungan
Memaknai ritus Negara diri

Kucatat
Ladang jagungmu merimbun
Durian-durian yang menggantung
Kelak dipanen rengkuh tangan petani
setianya dalam doa, zikir syukur
PadaNya

Pagi pertama
Di Jatinegara
Wajahku menyembul di semesta

Aku tetap akan merindukanmu Jatinegara
dengan segenap usia

Jatinegara, 12 Januari 2025

*

KENANGLAH

kenanglah rumah-rumah di dekatmu
gelandangan nasib tukang becak
juru parkir yang kehilangan mimpi-mimpinya
rindu pemimpin welas asih
yang senyum tangannya
menebarkan kasih
tanpa syarat dipuja
ia yang rela melangkah ke hening puisi
penyair yang luput dari berita

pemimpin itu ia yang menafkahi
kemaslahatan warganya yang masih menjerit dalam doa

kenanglah para lansia di psnti wreda
anak-anak tanpa orang tua
tetap mesti dijaga martabat kemanusiannya

kenanglah para kinasih
leluhur tegal yang sempurna
mengajarkan cinta
mengolah darma
wibawa tanpa memudnahkan asal mula

kenanglah
ia yang ada

2024

*

SULUK RACIKAN SENDIRI
: bagi kinan

Karya: Apito Lahire

kau percaya obat paling cinta adalah kata
doa
mengkhatamkannya

bila kau sakit panas demam pikiran
ambil sesiung bawang merah
parut
lalu balurkan ke sekujur badan
maka pergi segala angin hitam
merusak rasuk :
tanda merah kemanusiaan

bila kau cemburu
dingin dan kesepian
kunyah sebutir kencur
ke tenggorokan
nafasmu
nafasmu lebih ikhlas
mengalirkan ikhtiar
kesejatian

aku pinjam matamu untuk melangkah
aku pinjam jantungmu
untuk mendengar
aku pinjam telingamu untuk membaca
aku pinang cintamu
untuk mengurai hidup yang terjejali

segala riwayatmu larut
ke dalam puisi
dikenali
rindu pada diri
ingatan-ingatan
disamak
dikuliti bertubi-tubi

hanya kata yang sanggup mengulur usia
hanya doa pengeramnya
batin karatan, sukma legam
gendam dendam terpental

inilah suluk racikan
suluk sendiri
obat nyeri

bila ingin
cobalah sendiri

Tegal, 29 Oktober 2024

*

Bocah yang Menulis Puisi di Wajah Ayahnya

oleh : Apito Lahire

di dingin wajahmu, ayah
kugambar deritamu
derita seorang penyair
memiliki kata-kata
namun tak kaya

hidupmu berakrab dengan dingin
dan getir
sebagai manusia yang luput
dan fana

ayah,
lihat aku anakmu
yang butuh lenganmu menopang adaku

ah adamu adalah pun aku
anakmu
bukan sekadar puisi-puisimu
yang cemburu menerima hidup

Tegal 2023

*

Apito Lahire, ngebyaker sastra teater , aktor dan sutradara teater ini lahir di Tegal 9 Desember 1974. Menulis puisi, cerpen, lakon sejak SMA. Terkumpul dalam antologi bersama: Nyanyian Fajar ( Teater Kene Bali 1998), Serayu ( KBMB 1995), Pasar Puisi ( TBJT 1998). Ning ( Sanggar Purbacaraka UNUD Bali 2002), Persetubuhan Kata-Kata ( TBJT 2006), Anak-Anak Peti ( KSI Kab.Semarang 2008), Kisah Tak SudahTanah Banjar ( Aruh Sastra Kalsel 2012), Sesapa Mesra Selinting Cinta ( Pertemuan Penyair Nusantara 2019). Juara 1 sayembara cipta puisi nasional ISI Padang Panjang 2020, nominasi PPF 2024. Kini sedang mempersiapkan antologi tunggal perdananya. Bergiat di Sanggar Jalu Estetika. Aktif ngebyak sastra teater dan mendalami juri lomba burung berkicau. Email: lahireapito8@gmail.com. Telp. 081548077550.

Back to top button