5 PUISI ARDHI RIDWANSYAH

BISING
Seperti gaduh
Yang gemuruhnya
Tegaskan pada sunyi
Kalau riuh ada di sini
Tak mati-mati.
Di jalanan, di taman-taman
Perkampungan yang tak lekang
Oleh canda kanak dan
Mesin kendara
Masih ada harapan
Lebih keras bersuara
Bantai hening di kepala.
Meski tak tenang
Sukar lelap sebab bising
Terus berdendang tapi hidup
Adalah orkestra yang mendayu
Kadang ragu kadang lugu
Kadang belagu.
Selama di bawah mentari
Masih terang menyinari
Rekam jejak ini masih tersisa
Di sudut mata dan hati
Jadi mimpi-mimpi
Atau sekumpulan ilusi
Berbisik-bisik.
Jakarta, 2025
YANG SUDAH-SUDAH
Biar terjaring tawa itu
Senyum yang madu
Dan lekuk tubuh memandu
Hasrat sepasang mata
Menulis lagu rindu.
Kala senja menjaja kenang
Ada hati yang terkekang
Bebas ingin kau pegang
Dekap daksa ini
Begitu rindang.
Menari mencaci
Bercumbu perih
Malam-malam rintih
Desah yang tertindih
Oleh sedih bertubi-tubi
Masih ada tersisa
Selain gairah yang patah?
Atau memar yang parah?
Jakarta, 2025
TERUS TERANG
Terus terang kasih
Ini bara sudah makin api
Matamu gelora jiwa
Terbakar menggebu-gebu
Cepat sambut sebelum
Padam aku!
Kasih terus terang
Bibirmu belai tubuh
Yang kadung rubuh
Bangkit dan bangun kembali
Sentuh jemari lintuh
Dari hati ke hati
Biar berlayar lagi tuju
Luas samudra menantang
Gelombang menentang
Badai mendera!
Jakarta, 2025
PUTUS (R)ASA
Saat kering dahaga
Bisa paksa
Tenggak air mata sendiri
Nyeri dalam kandungan
Dalam ingatan di kepala
Berduri-duri.
Desau angin terik mentari
Risau bersarang jadi pisau
Menyerang diri
Tiada yang melindungi
Aku sendiri bakal mati
Tersayat dungu dan dengki
Tapi langkahmu tegas
Untuk pergi
Tanpa pesan pasti biar embun
Yang rebah di daun kuning
Bersaksi
Pada sunyi dan sepi
Yang meluas dalam diri
Mengepul asap usai terbakar
Canda tawa selama ini.
Darimu kutemui
Batu merapuh luluh
Dan lumpuh.
Darimu kudapati
Bulan yang pucat pasi
Kabut tebal menyelimuti
Kasihku yang sudah di peti
Terkapar abadi.
Jakarta, 2025
ENIGMA
Dari matamu ke mataku
Mataku ke matanya
Semua berkata-kata
Segala berkaca-kaca
Perihal tangan yang saling
Genggam kini gugur dalam
Hitungan jam; itu semua
Tersimpan dalam kalender
Kusam yang menggerutu
Geram.
Mendung bersenandung
Guntur menegur ombak
Menari-nari menyeret diri
Makin dalam kian
Tenggelam; aku di matanya
Perahu karam.
Di matamu
Bagai hujan dan genang
Menetas kenang
Yang beku selama ini
Gigil dan ngeri
Bersenang-senang kini
Pandang langit
Yang letih yang rintih.
Jakarta, 2025
CATATAN REDAKSIONAL
Matamu, Mataku, dan Enigma yang Uwuwu Sekaligus Cemar
oleh IRZI Risfandi
“Dari matamu ke mataku / Mataku ke matanya / Semua berkata-kata / Segala berkaca-kaca”—baris pembuka ini seperti lirikan sinematik yang nyaris membeku dalam slow motion, penuh ambiguitas manis antara rindu dan luka. Ardhi Ridwansyah, penyair muda asal Jakarta yang karyanya pernah menghiasi Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival dan Lomba Cipta Puisi Bengkel Deklamasi, langsung melempar pembaca ke dalam labirin perasaan yang tidak linear. Tidak ada yang benar-benar pasti di sini—mata saling memandang, tapi tidak saling memahami sepenuhnya. Cinta, tampaknya, hanya terjadi dalam potongan fragmen dan pantulan yang tak utuh. Yang ada justru kegamangan, berkaca-kaca, dan keheningan yang nyaris berbicara.
Ardhi membungkus kepedihan dengan bahasa yang centil dan ringan, seolah ia menulis catatan patah hati di bagian belakang buku agenda murid SMA yang bosan dalam pelajaran. Tapi lihat bagaimana ia menusuk pelan-pelan: “Perihal tangan yang saling / Genggam kini gugur dalam / Hitungan jam.” Lembut, tapi fatal. Ada semacam kesengajaan untuk tidak terlalu dramatis, namun luka itu tetap terasa. Kalender yang “menggerutu geram” bukan hanya metafora waktu yang berlalu, tapi juga simbol betapa cinta bisa terekam dalam hal-hal sepele—halaman lusuh, angka yang berlalu tanpa makna.
Lalu langit pun ikut bersuara: “Mendung bersenandung / Guntur menegur ombak.” Ardhi bermain-main dengan ritme cuaca dan mengubahnya jadi puisi atmosferik tentang seseorang yang tenggelam, bukan hanya secara emosional, tetapi juga eksistensial. “Aku di matanya / Perahu karam” mungkin adalah deklarasi paling ringkas dan getir tentang relasi yang kehilangan arah. Tapi Ardhi, alih-alih meratap, memilih untuk larut dalam absurditas itu dengan gaya nyaris pop—seolah puisi ini ditulis setelah menonton film indie sambil menyeruput kopi sachet.
Kekuatan Enigma justru muncul dari kontrasnya: antara metafora puitik dengan emosi yang teredam, antara gaya romantik yang klasik dengan nada kekinian yang renyah. “Gigil dan ngeri / Bersenang-senang kini”—dua frasa yang secara logika saling menolak, tapi dalam puisi Ardhi justru saling melengkapi, menjelma jadi mood generasi yang terbiasa berdamai dengan patah hati lewat humor dan ironi. Ardhi tidak mendewakan kesedihan, tapi juga tak menistakannya; ia memberinya ruang untuk bernyanyi pelan dalam hujan Jakarta yang tak kunjung reda.
Ardhi Ridwansyah menulis seperti seseorang yang tahu bahwa cinta memang tak selalu punya jawaban, tapi layak terus ditanyakan. Enigma bukan sekadar puisi, tapi semacam percakapan rahasia yang terlanjur bocor ke publik—lirih, liris, dan nyaris lucu karena terlalu jujur. Dan jika cinta adalah sesuatu yang kita rayakan sekaligus takutkan, maka Ardhi telah memberi kita peta: tak harus lengkap, tapi cukup untuk membuat kita melangkah lagi.
2025
BIODATA :
Ardhi Ridwansyah, lahir di Jakarta, 4 Juli 1998. Puisinya berjudul Memoar dari Takisung dimuat dalam antologi puisi Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2019. Puisinya juga terpilih sebagai salah satu dari 115 karya terbaik dalam Lomba Cipta Puisi Bengkel Deklamasi 2021.
Karya-karyanya telah dipublikasikan di berbagai media cetak dan daring, antara lain: labrak.co, litera.co.id, galeribukujakarta.com, ayobandung.com, Radar Cirebon, Radar Malang, Koran Minggu Pagi, Harian Bhirawa, Dinamika News, Harian Fajar, Pos Bali, Riau Pos, Suara Merdeka, Radar Madiun, Radar Banyuwangi, Radar Kediri, Nusa Bali, Suara Sarawak (Malaysia), Koran Merapi, Pontianak Post, Harian Waspada, Radar Tuban, Babel Pos, Harian Analisa, Suara NTB, Koran Haluan, Media Indonesia, Republika, situs Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF), Banten Raya, Bangka Pos, dan Rakyat Sumbar.
Instagram: @ardhigidaw