5 PUISI INDRI KARTIKA PUTRI

Ratapan Ibu Di Ujung Senja
Aku terbaring di ranjang sejarah
selang infus menancap di tanah
oksigen kian menipis di paru-paru negeri
tapi anak-anakku memilih menjadi cahaya di langit asing
Dulu,
mereka belajar di pangkuanku
mengeja luka
memahami anatomi
namun saat aku sekarat
mereka berlari ke negeri antah berantah
Katanya,
aku terlalu sakit untuk dirawat
sistemku infeksi
tak bisa disembuhkan
Tapi,
jika mereka masih mengaku anakku,
mengapa lukaku tak dibalut?
Mengapa denyutku tak diperbaiki?
Apakah aku harus koma lebih dulu, baru mereka sudi pulang?
Aku ingin berteriak memanggil nama mereka
tapi suaraku mengerak di tenggorokan
karena aku tersadar
tak semua yang pulang disambut,
tak semua yang rindu diberi tempat
Lalu,
bisakah aku berharap mereka kembali tanpa takut?
atau aku harus pasrah dibiarkan mati,
sendiri.
Magelang, 18 Februari 2025
*
CATATAN REDAKSIONAL
Ratapan Negara di Group Chat Keluarga
Oleh Irzi Risfandi
Jika negara adalah seorang ibu dan anak-anaknya adalah diaspora yang sibuk posting story dari flat London atau kafe Seoul, maka puisi “Ratapan Ibu di Ujung Senja” karya Indri Kartika Putri ini adalah semacam voice note tak terbaca yang dikirim ibu dari kampung—penuh rindu, getir, dan tentu saja sinyal lemah. Tapi jangan buru-buru menyebutnya drama. Puisi ini bukan sekadar melodrama nasionalis murahan. Ini semacam puisi epik mini yang menyuarakan kesedihan struktural negeri—dengan tubuh yang sekarat, sistem yang infeksi, dan anak-anak yang konon “cerdas” tapi malah hengkang ketika rumah terbakar. Dan cara Indri mengemasnya: penuh liris tapi dengan sense of betrayal yang jujur dan aktual.
Larik pembuka “aku terbaring di ranjang sejarah” langsung memberi kita aroma getir khas puisi bernyawa: tubuh ibu sebagai alegori bangsa, dirawat seadanya, dengan infus yang menancap bukan di lengan tapi “di tanah”. Ajaib. Imaji ini cocok dan menyentil, seperti sedang berkata: bahkan tanah pun butuh cairan hidup. Ketika anak-anak negeri “memilih menjadi cahaya di langit asing”, rasanya seperti nonton anak-anak rantau update LinkedIn soal promosi jabatan, sementara halaman rumah penuh debu dan sepi. Indri, yang sehari-hari berkutat sebagai guru kimia di MA Nurul Huda, justru berhasil menciptakan reaksi puitik yang lebih menggelegak daripada pelajaran molaritas: antara nasionalisme dan kecewa, antara harapan dan patah hati.
Menariknya, puisi ini tidak menuduh secara agresif. Ia memilih bentuk ratapan yang lembut tapi menyakitkan. “Katanya aku terlalu sakit untuk dirawat, sistemku infeksi,” begitu pengakuan si Ibu-Bangsa. Ada semacam autoironi di situ. Negara ini tahu ia bobrok, tapi juga bertanya, “Kalau kamu tahu aku sakit, kenapa kamu kabur, bukan jadi dokterku?” Dan di titik inilah puisi Indri terasa relevan sekali dengan kondisi post-pandemi dan pasca-reformasi yang lelah. Ia menyorot generasi baru—berilmu, cerdas, global—tapi sekaligus kehilangan ikatan emosional dengan ibu bernama Tanah Air. Seolah menyampaikan: kalian pintar, tapi tidak pulang. Pintar, tapi abai.
Larik pamungkas puisi ini—“Apakah aku harus koma lebih dulu, baru mereka sudi pulang?”—adalah tamparan lembut yang nadanya lebih mirip status WA keluarga dari ibu yang tak pernah dibalas pesannya. Tapi di sinilah kekuatan puisi ini: sederhana, dekat, namun menyelipkan kompleksitas yang cukup. Apakah ini tentang brain drain? Bisa. Apakah ini tentang gagalnya negara menciptakan ruang yang membuat anak-anaknya betah tinggal dan memperbaiki rumahnya? Bisa juga. Tapi lebih dari itu, ini puisi tentang kehilangan makna “pulang” dalam era digital dan mobilitas global. Tentang rumah yang makin sunyi, bukan karena tak ada orang, tapi karena tak ada lagi yang merasa punya hutang batin untuk merawatnya.
Dan jangan lupakan bahwa penyairnya adalah seorang guru kimia yang juga aktif di sastra, menggambar, bahkan deklamasi—kombinasi yang tidak hanya mencerminkan bakat lintasdisiplin, tapi juga memperlihatkan bagaimana seseorang bisa merawat kreativitasnya sambil tetap mengajar tabel periodik. Indri Kartika Putri bukan sekadar menulis puisi, tapi menjembatani laboratorium dan ladang puisi, membuat pelajaran paling getir dari kehidupan ini terurai lewat kata-kata. Dan “Ratapan Ibu di Ujung Senja” adalah salah satu pesan terbaiknya—bukan untuk kita hafalkan, tapi untuk kita jawab. Sebelum ibu benar-benar koma.
2025
*
KAU
Di kelamnya kota,
ku dengar jejakmu
api yang menari di atas angin
membakar sunyi dengan tinta darah
meludahi takut
di antara lorong kegelisahan
Kau – raung takdir yang menolak tunduk
mencabik hidup dengan taring kata
menantang senja dengan sajak cadas
Kau memahat jejak
di nisan yang tak berdebu
bukan dengan kidung pasrah,
bukan dengan elegi
tapi dengan gurat perlawanan
di dada zaman
Meskipun jantungmu berhenti di usia gelisah,
namun namamu meledak
di nadi sejarah
Kau – garang yang enggan takluk
tak sudi jinak
pada dunia yang rapuh.
Magelang, 20 Februari 2025
*
Pagar Pendusta
Kami dengar laut sedang menggeram
bukan oleh gelombang,
bukan oleh angin
tapi oleh tangan-tangan licin
yang mengukur ombak dengan hasrat kotor
Mereka tancapkan kayu
bukan untuk menahan abrasi,
tapi untuk menjual negeri dalam senyap
Wahai para pendusta yang duduk di meja kuasa
masihkah kau anggap rakyat ini buta?
Kami baca jejak tipu di atas buih,
kami dengar bisik-bisik soal tipu muslihat
kami tahu bagaimana kau rangkai dusta
lalu menyebutnya hukum yang sah
Kau pagari laut dengan tamak
sementara nelayan kehilangan dermaganya
Tapi ingat – laut tak akan tunduk
ia mengingat jejak para pendusta
ia hempaskan pagar yang kau dirikan,
mendendangkan murkanya di gelap malam
Dan kami, anak negeri,
siap berdiri di atas keadilan yang kau rebut
bukan untuk diam, bukan untuk berbisik
tapi untuk menumbangkan pagar-pagar pendusta.
Magelang, 14 Februari 2025
*
Suluk di Altar Cahaya
Aku dengar suara langit bersenandung,
Ramadhan turun memanggil rindu,
membuka langit, menyingkap diri
angin bersujud, malam berseri,
ruh-ruh fana rindu mencari cahaya-Mu.
Bulan ini bukan sekadar masa,
tapi pintu rahmat yang meluruhkan dosa,
di setiap sujud kutemukan aksara,
lafaz cinta yang menawar lara.
Malam merapal kidung suci,
tasbih bergetar dalam nafiri,
cahaya meluruh masuk ke samudra jiwa,
menghapus gelap yang meraja.
Puasa bukan sekadar menahan rasa,
tapi menundukkan tubuh, membenamkan nafsu,
membakar dunia dalam sujud dan cinta
membiarkan lapar berzikir pada-Mu.
Ramadhan, nyala yang tak padam,
doa berdesir di jubah malam,
dan aku, sebutir debu yang rindu
bersimpuh dalam altar cahaya-Mu.
Magelang, 17 Ramadhan 1446
*
Simfoni Ilahi
Dalam hening malam, aku menyusuri lorong sunyi
mengurai bayang yang terselip di celah waktu,
bait suci berbisik menuntun kalbu menuju ketenangan abadi
Di antara desir angin dan rintik hujan, ada asa yang ku rajut
tafakur mengalir bagai sungai di padang sunyi
setiap napas berzikir memeluk nirwana
meresapi rahasia semesta yang luas
Aku bersujud di altar keheningan
menumpahkan derita,
menyucikan retakan hati yang lama terpuruk duka,
menempa kembali jiwa dalam semburat cahaya
mencari jawaban dalam gema doa
Biarlah resonansi kalbumenyentuh relung
menyulam kisah batin dalam untaian ayat
yang menuntun langkah
menuju cahaya abadi.
Magelang, 26 Februari 2025
*
BIODATA :
Indri Kartika Putri, yang akrab disapa Iin, lahir dan besar di Magelang, tempat ia kini menetap dan menua. Ia adalah finalis Duta Wisata Kabupaten Magelang tahun 2011, serta dikenal sebagai penyuka puisi, seni lukis, dan deklamasi.
Karyanya terhimpun dalam berbagai buku antologi bersama komunitas sastra dan para penyair nasional, serta beberapa telah dipublikasikan di media daring. Di samping berkesenian, Iin juga aktif dalam dunia pendidikan dan telah menerima sejumlah penghargaan, antara lain:
– Guru Aktif Inovatif (2023)
– Juara 3 Lomba Geguritan (2023)
– Juara 1 Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional (2017)
– Juara 3 Lomba Cipta dan Baca Puisi (2012)
– Juara 2 Lomba Karikatur (2012)
Saat ini ia mengabdi sebagai guru kimia di MA Nurul Huda, sembari terus menyalakan api kreativitas dalam dunia sastra dan seni.