Puisi

5 PUISI MARLIN DINAMIKANTO

BALADA KUTANG DI NEGERI KONOHA

Kutanggalkan kutang-kutang dari tali jemuran yang menjerat angan di batok kepala paling dalam. Menjadi bendera persekutuan. Mungkin para bajing loncat yang menari di meja-meja pejabat. Taring-taringnya yang tajam menusuk sabut cocos nucifera, muncrat laksana air mani membercak kutang-kutang beragam ukuran, bahkan keluar dari standarisasi tiga empat tiga lima tiga enam tiga tujuh tiga lapan.

Tapi aku lebih suka soda susu, riang gembira di tengah terik gunduk lahat gusuran Komdak. Tak ada SCBD di sini. Di tiang jemuran sepanjang gang-gang yang mendadak lenyap ditikam gedung-gedung menjulang. Tanggalkan kutang-kutang sejumlah nama yang aku ingat: Pok Memeh, Pok Atun, Pok Ida, Pok Wati dan mbak-mbak yang sering buang sampah di kali dekat kuburan komdak.

“Ke mana mereka pergi?” tanya pohon jambu sebelum akarnya dikunyah gerigi besi dan tubuhnya lenyap diterjang puing-puing gusuran.

“Ya ndak tahu. Kok tanya saya,” jawab lelaki kurus yang tiga puluh lima tahun setelahnya tiwikrama serupa Bathara Kala. Ganyang matahari yang sok-sok mau berkuasa setelah kutang-kutang dilepas dan terjadi persenggamaan liar para Waisa Ksatria dan Brahmana.

Lahir lah negeri Konoha. Dari taring Bathara Kalla yang menggaglak kutang-kutang seisinya, ternyata hanya busa. Dingin-dingin empuk seperti es belum jadi yang terperam di kulkas. Bathara Kalla, Banaspati, Genderuwo, Tongtongsot, Glundungpringis, Wewe, Butoijo, berpesta pora terbangkan kutang-kutang selembut kapas ke pikiran hampa.

“Aikiyu tujuh lapan, dungu tiada tara,” timpal Bung Rocky di layar kaca yang menempel buih soda gembira. Ada susu kental manis di sana.

“Kami tidak ingin bercinta tapi kalian paksa bercinta,” protes kutang-kutang yang terbang menyelinap buih soda. Hinggap di kepala anak Bathari Durga, atau mungkin Lesmana Mandra Kumara putra Prabu Duryudana yang bodoh tapi sangat berkuasa

“Benar itu?” selidik wartawan
“Ya, ndak tahu. Kok tanya saya,”

Tugu Proklamasi, 24 April 2025
*

LELAKI RAPUH

aku lelaki rapuh
berlagak angkuh
hati yang kukuh
tapi sesungguhnya
tak berdiri
di tempat yang teguh

aku lelaki rapuh
luka jiwa lepuh
ingin berlabuh
tapi tak tahu
cara buang sauh

sungguh
aku lelaki rapuh
ingin berlabuh
tapi lupa cara bersimpuh

Yogyakarta, 5 April 2025
*

LUKA JIWA LEPUH

aku ingin cium
ujung jemari kaki ibu
bukan menari di punggung ombak
ikut kapal lari menjauh
dari dermaga Maghrib
hingga malam cepat berkayuh

Yogyakarta, 5 April 2025
*

AKU BUKAN PERKEBUNAN

aku tidak pernah pergi ke hutan
kecuali pohonan berbaris rapi
persis tentara. Tak boleh tumbuh liar
macam kruing mahoni eboni ulin
digantikan kayu-kayu bongsor
satu jenis saja seperti sawit sengon
abasia atau solomon

aku tidak pernah pergi ke hutan
selain hamparan pohon
yang pura-pura jadi hutan
tak ada ular harimau monyet
trenggiling landak kuskus
kicau burung yang crigis
ditikam lolong siamang
pindah ke Ragunan

bahkan ketika emas nikel lithium
timah bouksit batubara ditemukan
hutan mendadak cekam
oleh banyaknya orang berseragam
katanya menjaga aset negara
dan aku dipaksa diam
seperti hutan yang ditertibkan
menjadi perkebunan

Bogor, 24 Maret 2025
*

BAKSO CIAWI

alur kenangan terbaca tandas
di antara angkot berjejal
terbaca wajah gagal bergegas
dapati arah. Cinta yang terpenggal
jarak mimpi berbeda
tapi bakso Ciawi
satukan kita ketika gerimis
memaksa berteduh
di tengah tujuan perjalanan
hidup yang begitu samar

kuah bakso yang menyengat
singkap kenangan padat
bibirmu merah pedas
berkata tentang hidup
jarak mimpi yang jomplang
sulit disatukan oleh cinta
“kita putus,” katamu

sejak itu kita
tak pernah bertemu lagi
di simpang Ciawi yang brutal
semrawut bagaikan pikiran
ketika aku melepas pergimu
di warung bakso yang kumal
tapi lezat menusuk ingatan
yang harus dilupakan

Grand Pesona Caringin, 16 Mei 2024.
*

MARLIN Dinamikanto menulis puisi sejak mengelola majalah dinding di SMPN Ponjong. Sempat ubyang-ibyung di lingkungan pekerja seni pada pertengahan 80-an. Sejak rumah orang tuanya di Kampung Pecandran (sekarang SCBD) digusur mantapkan hati menjadi bagian pemberontak Orde Baru di lingkungan ALDERA dan Pijar serta mendirikan Forum Kesenian Reformasi (FOKER) yang menampung para pekerja seni jalanan, di samping juga memimpin Kabar dari Pijar (KdP). Kembali berpuisi pada 2010 setelah CLBK dengan mantan. Selain sejumlah Antologi: Puisi Menolak Korupsi, DNP, Sastra Bulan Purnama dan lainnya, tiga Antologi Puisi Tunggal sudah diterbitkannya: Yang Terasing dan Mampus; Menyapa Cinta; dan Menolak Ambyar.

Back to top button