Puisi

Puisi, Lelah Belajar, dan Luka Karena Tergesa

Oleh Guruh Raharja

“Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka siapkan dirimu untuk menahan perihnya kebodohan.” Kalimat Imam Asy-Syafi’i ini berusia ratusan tahun, namun bergema hingga hari ini—dan ironisnya, mungkin paling tepat diarahkan kepada banyak penyair (dan penulis) di era sekarang. Sebab kita hidup di zaman di mana menulis menjadi makin mudah, makin cepat, makin instan. Panggung tersedia di saku. Dengan sekali unggah, bait bisa dibaca ratusan orang. Tapi seiring kecepatan itu, kita pelan-pelan melupakan satu hal yang tak pernah berubah dari zaman siapa pun menulis: belajar itu memang melelahkan, dan kalau kamu tak mau lelah belajar menulis, siap-siap malu saat menulis jadi kosong.

Menulis, terutama menulis puisi, memang tidak harus melalui jalur formal. Tidak perlu gelar. Tidak wajib kursus. Tapi ia tetap menuntut satu hal yang tak bisa dihindari siapa pun: kerja sunyi. Tidak ada penyair besar di dunia—dari Rumi sampai Rilke, dari Neruda sampai Ocean Vuong—yang lahir tanpa duduk panjang membaca, berpikir, mengendap, dan berlatih menahan diri. Satu baris puisi yang baik bukan hanya ditulis dari pengalaman, tapi juga dari pengolahan pengalaman. Kita tidak bisa mengira bahwa sakit hati otomatis jadi puisi. Atau bahwa kehilangan otomatis jadi keindahan. Tanpa belajar, kata-kata kita hanya jadi ungkapan—bukan karya. Dan dunia tidak butuh lebih banyak keluhan. Dunia butuh kepekaan yang tajam, dan itu lahir dari kesediaan membaca jauh sebelum menulis.

Sayangnya, semangat zaman sering menyarankan sebaliknya. Kita dibesarkan dalam kultur “hasil cepat”: ingin langsung dibaca, langsung viral, langsung dikutip. Kita ingin karya kita langsung menyentuh, padahal kita belum pernah sungguh-sungguh menyentuh karya siapa pun. Kita ingin tulisan kita dipuji “dalam”, padahal kita malas duduk diam menyelami makna yang lebih luas dari perasaan kita sendiri. Ini bukan tentang gaya atau selera. Ini soal akurasi tanggung jawab. Sebab setiap kata, dalam bentuk apa pun, adalah pesan. Dan jika kita tak belajar menyusun pesan dengan benar, kita hanya akan memperbanyak suara tanpa makna—dan itu, dalam segala bahasa dan budaya, adalah bentuk kebodohan yang paling nyaring.

Belajar menulis bukan cuma soal teknik. Tapi juga etika, sejarah, kerendahan hati. Seorang penyair yang baik tahu siapa yang telah menulis sebelum dirinya. Ia sadar bahwa setiap metafora baru berdiri di atas tradisi panjang dari penyair yang pernah diam, berani, gagal, atau ditertawakan. Kamu tak perlu menyembah penyair sebelum kamu. Tapi kamu perlu tahu bahwa kebebasan menulismu hari ini lahir dari pertarungan panjang yang mereka jalani di masa lalu. Entah itu penyair yang menulis puisi cinta dalam perang, puisi politik dalam penyensoran, atau puisi eksistensial dalam zaman ketakutan. Kalau kamu menulis tanpa tahu siapa yang telah membuka pintu, maka tulisanmu mungkin akan terdengar—tapi tak akan pernah terasa.

Lelah belajar kadang membosankan. Tapi luka karena tergesa lebih menyakitkan. Kita bisa menyesal menulis puisi yang terlalu mentah, terlalu cepat, terlalu “aku” dan melupakan “kita.” Kita bisa membekas di internet, tapi tak membekas di ingatan siapa pun. Dan dalam dunia literasi yang sebenarnya, yang paling indah bukanlah puisi yang disukai, tapi yang dibaca ulang diam-diam lima tahun kemudian. Dan hanya puisi yang ditulis dari proses panjang yang punya umur sepanjang itu. Maka ya, silakan menulis dengan semangat. Tapi jangan malas membaca, jangan anggap belajar sebagai penghalang kreativitas. Karena kreativitas tanpa landasan bukan kebebasan. Ia cuma gejolak. Dan gejolak tidak bisa menyentuh siapa pun—kecuali dirimu sendiri.

Kutipan Imam Asy-Syafi’i tadi bisa saja ditulis ulang untuk dunia kepenulisan modern: Jika kamu tidak tahan membaca, jangan heran jika puisi-puisimu hanya terdengar seperti status panjang. Belajar adalah bentuk paling dalam dari cinta: cinta pada bahasa, pada sesama, pada keberlanjutan warisan batin manusia. Kita menulis bukan hanya karena punya rasa, tapi karena ingin bertanggung jawab atas rasa itu. Dan satu-satunya cara agar tanggung jawab itu tidak berubah menjadi beban kosong adalah belajar. Maka belajarlah. Duduklah. Dengarlah. Jangan terburu-buru ingin dikenali. Karena puisi sejati tidak ditulis untuk dikenal. Ia ditulis agar ada satu orang di luar sana yang merasa dikenali.

Check Also
Close
Back to top button