Puisi

5 PUISI GUS NAS

PENGANTIN LAUTAN

Akulah nelayan di laut lepas
Menginap bertahun-tahun berkasur karang
Berselimut ombak berbantal sepi
Aku sudah tenteram di sini
Meniduri sepi berkali-kali
Menciumi sepi berganti-ganti

Aku sudah bahagia di sini
Di laut lepas bercinta denganmu
Tak kenal perih tak dengar rintih
Kecuali desahmu yang bergema di hati
Di laut lepas aku terus bernyanyi
Menerjang lengang menuju Matahari

Di pantai-pantai kalian memanggil
Dan aku menutup seluruh pintu
Tak ada jendela yang masih terbuka
Dan aku mengunci semuanya

Aku sudah bahagia di sini
Tanpa kapal tanpa pantai tanpa rindu
Bersetubuh denganMu selama-lamanya

Yogya, 1988
*
Sumber: Horison (April, 1989)
*

MERAWAT MARWAH YANG TENTRAM

Ulas Alas oleh Doddi Ahmad Fauji

Puisi berjuluk ‘Pengantin Lautan’ gubahan Gus Nas di atas, mengabarkan tentang jiwa yang sampey pada aras mutmainah, titik tentram dalam hidup seorang manusia. Mutmainah atau ‘tumaninah’ dalam diksi Sunda, adalah gambaran bahwa sorgawi di alam kelak (akhirat), tak jauh beda dengan gambaran apa yang didapat manusia selama memintal nafas di muka bumi. Bila di bumi telah merasakan damey, janji Tuhan akan memberikan kedameyan di akhirat, yaitu apa yang disebut surga.

Hal di atas dituturkan secara tekstual dalam Quran surat Al-Fajr ayat 27-30. Ayat 27: Wahey jiwa yang telah tentram. Ayat 27:  Ayat 28: kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas dan diridhai-Nya. Ayat 29: “Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku.” Ayat 30: “Dan masuklah ke dalam surga-Ku.”

Puisi di atas ditulis Gus Nas pada 1988 dan dimuat di Majalh Horison pada edisi April 1989, di mana Horison kala itu, menjadi majalah sastra paling berwibawa di Indonesia. Pada 1988 saat puisi ditulis, usia Gus Nas menginjak angka 23. Usia yang relatif belia untuk bertentram damey di kehidupan mayapada ini. Itu adalah usia rentan seorang anak manusia memasuki alam pemberontakan, namun Gus Nas yang memang santri itu, justru telah menemui kenikmatan hidup, sehingga tidak butuh pemberontakan-pemberontakan dalam artian apapun. Sebagey penulis, pada usia 23, tulisan Gus Nas memang telah tembus di berbagey media masa cetak bergengsi, untuk menyebut beberapa nama misalnya Kompas, Horison, Prisma, dll.

Memasuki alam spiritual secara kaffah (total) memang akan berdampak pada penemuan ‘sajatining diri’ bagi manusia. Alam spiritual itu telah melewati masa-masa yang wadag, yang ingin ditempuh kebanyakan manusia hingga rela berebut dan gelut untuk mendapatkannya, dan tidak sedikit yang menghalalkan aneka cara. Bagi orang yang beragama tahu benar, menerabas batas etika (hukum) itu adalah perbuatan lancung yang akan berdampak pada gelisah, gundah, galow tingkat RT hingga tingkat negara. Gus Nas yang menempa diri dengan ‘ilmu-ilmu langitan’ tampaknya berhasil meraih jiwa yang ‘tumaninah’, yang genah aman tentram kerta raharja. Tentu akan ada hal-hal yang membuatnya terusik dan harus berkelahi, namun itu disiasati dengan menjalankan falsafah ‘menang tanpa ngasorake’ (menang tanpa bersorak dan menjatuhkan lawan). Melalui puisi di atas, Gus Nas sedang menggoreskan tekad: merawat marwah yang tentram dalam kehidupan ini, dan mengabarkan kepada halayak, tolong jangan ganggu ketentraman ini.

Puisi di atas disampaikan dengan prosedur ucap sintaksis yang terang-benderang, di mana semua pembaca akan dapat melihat pendaran cahaya makna yang disajikan sang penyair. Amanat yang merupakan ‘Ruh Puisi’, tergapey dengan jangkowan lengan batin yang lurus dan tulus. Moga puisi di atas dan ‘Ulas Alas’ yang menyertainya, menjadi ruang kelas pembelajaran menulis puisi, tentunya untuk penyair divisi pemula.
*

4 PUISI GUS NAS LAINNYA :

KEGILAAN MILIK SEMUA

Jalanan macet dan pekik klakson yang meledak di telinga
Jogja korup yang bibirnya nyengir di layar kaca
Intelektual yang matirasa saat stunting dan kemiskinan dilecehkan oleh flexing dan hedon di linimasa
Jadwal kuliah yang teronggok karena dosen studi banding entah dimana
Apa yang dikatakan politisi dan pelacur acapkali hanya angka semata
Kegilaan milik semua Saat ulama dan penguasa saling peluk begitu mesra

Jogja, 1 Januari 2024
(sumber: deskdiy.pikiran-rakyat.com)
*

LUKA KARTINI

Luka Kartini bicara padaku
: dada terbuka adalah jendela pada dunia,
hati suci menjadi senyum bidadari yang memikat malaikat!

Sesudah Satu Abad disimpan rapi dalam almari emansipasi
Luka Kartini membuka peta purba, perihnya adalah nyeri yang tak terduga

Kepada kaum perempuan masa kini
Hati-hatilah dalam menjaga hati
Sebab hati perempuan itu bening seperti kaca, memantulkan rindu yang fana berkilau rahasia

Senyum perempuan menjelma burung tanpa sayap, berkicau tanpa suara

Dengarlah!
Kata-kata Kartini adalah mata air air mata yang tumbuh di bumi, mengucap bening keperkasaan dari tanah jiwa, lalu katanya:
“Membagi terang adalah menumbuhkan kebebasan,” bisik Kartini pada gelap yang bertiup dari jantung yang terluka

Kini
Sudah waktunya kaum laki-laki mencungkil hatinya dengan pisau puisi, memberikan sepotong keindahan pada Kartini

Dengan diksi di hati sebagai mata ketiga
Agar para perempuan melihat cinta dalam rahasia kehampaan kata-kata

Air mata Kartini adalah kemarau kesedihan yang menjelma sungai melati, mengalir menuju samudera mawar

Bermahkota pelangi
Sudahkah Kartini masa kini merias hati?

Gus Nas Jogja, 21 April 2025
*

RAHASIA WAKTU

Subuh beku
Sesudah malam melipat-lipat gelap di sekujur tubuhnya,
Jangan coba menyuapi pagi tanpa lauk-pauk doa

Biarkan gelap memuntahkan lukanya ke dalam sumur kata

Sebelum Subuh mengetuk pintu, membawa surat ketiadaan yang berisi rahasia waktu
Jangan ajak ia berdansa dalam bayangan sendiri, yang merayap di dinding-dinding sunyi, menari tarian mimpi

Biarkan gelap melepaskan busana, mengganti jelaga dengan Cahaya

Sanggupkah kita menyambut fajar dengan doa tanpa ilusi?

Fajar bukan lagi seberkas cahaya biasa,
Ia adalah telur matahari yang menetas di kuali semesta

Kuningnya meleleh menjadi sungai puisi
Putihnya mengeras menjadi cangkang kata-kata

Bersama pagi
Burung-burung berzikir dengan suara Ilahi
Menyanyikan lagu kebangsaan para bidadari.

Pepohonan pun menajamkan akarnya, menghunjamkan makrifatNya dengan tujuan pasti

Pohon-pohon itu terus mencari jawaban atas pertanyaan yang tak diucapkan keabadian

Jangan pernah kalian kecewakan Subuh
Cahaya yang datang mengetuk hati, mengirim sunyi

Ia membawa serta kebenaran yang tak pernah kita kira
: Rahasia Waktu!

Biarkan subuh mengajakmu ke pesta,
Di mana cangkir-cangkir berisi cahaya bertemu dalam zikir rahasia

Sambutlah subuh dengan iman sempurna
Memecahkan kegelapan hakiki yang membungkus akal sehat dan kepalsuan dunia.

Hanya dalam keajaiban Subuh
Kita menemukan hati, berdetak dalam takwa abadi.

Jogja, 27 April 2025
*

Doa Penyair Tua di Hari Puisi

Sesudah debu dunia menabur jelaga di pelosok kata

Akhiri baitku dengan puisi akhiratMu

Tuhanku
Hadiahkan padaku Puisi Mantra
Dalam nyala cinta

Agar syair-syairku tak lagi tersesat oleh manis madu tipu daya

Agar penyair tua ini tak kehilangan muka
Menembus pintu surgaMu yang penuh puisi, gurindam, pantun serta seloka

Gus Nas Jogja, 28 April 2025
*

BIODATA :

HM. Nasruddin Anshoriy Ch., yang akrab disapa Gus Nas, lahir di Yogyakarta, 4 Mei 1965. Ia aktif menulis artikel, puisi, kolom, dan resensi buku yang telah dipublikasikan di berbagai media terkemuka, antara lain: Horison, Sinar Harapan, Prisma, Pelita, Amanah, Panji Masyarakat, dan Kompas.

Check Also
Close
Back to top button