Sanus

Syenni—Yang Harus Meninggal di Ancol dalam Telanjang

Keluarga merupakan satu-satunya tempat berlindung di dunia yang keras dan tak saling mengenal ini. Banyak keluarga yang tidak utuh, kehangatan tak pernah ada. Jika pun masih ada kehangatan yang tampak, sesungguhnya hanya merupakan kehangatan yang semu. Ini merupakan ciri yang elementer dalam keluarga-keluarga modern sekarang ini.  

Oleh  : Faisal Baraas*

JERNIH—Syenni meninggal di Ancol. Berita itu menggemparkan bukan karena merupakan akhir percintaan dalam gelap antara seorang kasir cantik dengan bosmya, tetapi karena mereka tersekap dalam Mercy merah yang mesih menderam pelan di pagi itu dan mereka tergeletak telanjang.

Pagi memang masih pagi sekali. Ancol masih mengantuk, walaupun matahari pelan-pelan mulai berkembang menyapu kabut tipis yang melayang-layang. Dan begitulah kisah ini berakhir: sepasang anak manusia bercinta, tak peduli, dan maut menyesaikannya sama sekali.

Kita sesungguhnya tidak tahu begitu pentingkah kisah ini mesti disimak. Sebab, begitu banyak yang telah terjadi, semuanya hampir sewarna. Tapi banyak yang tak percaya memang: Syenni meninggal di Ancol dalam keadaan telanjang. Apakah yang telah terjadi?

“Ia anak yang baik. Sehari-hari ia tak pernah aneh-aneh. Tak pernah bersedih dan tak pernah punya beban,” kata seseorang tentang gadis yang berkulit kuning langsat dan halus bagai porselen itu. “Sama sekali tidak disangka ada sesuatu yang sedang berproses dan akan berakhir memilukan.”

Di malam yang tak istimewa itu, seperti malam-malam yang lain, ia pamit pergi. Dan di kota yang sibuk bergegas seperti Jakarta, tak banyak yang memperhatikan dengan siapa ia pergi. Tidak pula ada yang tahu dengan siapa ia bercinta dan berkencan. Semua berjalan rapi, lancar-lancar saja dan tak gaduh.

“Sehari-hari ia periang,” ujar seorang temannya di kantor. “Dan biasa-biasa saja. Hubungannya dengan bos pun tampak biasa-biasa saja, seperti halnya seorang bawahan terhadap atasannya. Ia tidak lebih istimewa daripada kami. Dan ia memang tak pernah bercerita tentang persoalan-persoalan pribadinya, kecuali cerita-cerita ringan waktu ngobrol dan tertawa-tawa. Kami memang tak pernah menganggapnya punya masalah pribadi karena tidak pernah menceritakannya selama ini.”

“Mungkin memang nasibnya yang buruk,” kata yang lain.

Kita tak pasti dengan kata-kata itu. Mungkinkah nasib—sesuatu yang suka menggelisahkan itu—sudah tercetak sejak awal? Bukankah ada dikotomi nasib—ada yang baik, ada yang buruk—yang sudah ditentukan pada saat kita baru lahir? Ada yang bilang bahwa nasib sesungguhnya berada di tangan kita sendiri. Hasil akhir perbuatan kita itulah yang bernama nasib. Lalu mengapa sejarah selalu berulang? Mengapa begitu banyak percintaan dalam gelap antara seorang kasir atau sekretaris dengan bosnya? Bukan hanya Syenni. Begitu banyak yang telah terjadi, dan kemudian dilupakan. Dan kita memang tak begitu bisa belajar dari sesuatu yang telah dilupakan.

“Dalam hidup yang nafsi-nafsi seperti sekarang ini, orang-orang tidak saling mengenal lagi. Tak ada yang tahu apa yang sedang dilakukan oleh orang lain. Ada jarak yang tak jelas terlihat tetapi jelas terasa. Seseorang selalu merasa seorang diri walaupun di sekitarnya begitu sesak orang lain. Demikian pula dalam keluarga, anak-anak selalu merasa sendirian, tertatih-tatih seorang diri. Banyak anggota keluarga yang merasa asing sendiri, tak mengenal satu sama lain,” kata Jay Haley, seorang ahli terapy keluarga terkemuka Amerika Serikat. “Nasib yang kelabu memang berasal dari tengah keluarga yang sudah kehilangan hirarki.”

Mengapa sekarang di Barat banyak gerakan yang menganjurkan kembali menumbuhkan kehangatan di tengah-tengah keluarga?

Keluarga, kata Jay Haley, begitu penting artinya dalam menyelamatkan anak manusia. Jika hirarki dalam keluarga kacau, maka anak-anak akan menjadi gila. Keluarga merupakan satu-satunya tempat berlindung di dunia yang keras dan tak saling mengenal ini. Banyak keluarga yang tidak utuh, kehangatan tak pernah ada. Jika pun masih ada kehangatan yang tampak, sesungguhnya hanya merupakan kehangatan yang semu. Ini merupakan ciri yang elementer dalam keluarga-keluarga modern sekarang ini.  

“Tak ada pilihan lain kecuali menegakkan hirarki di tengah keluarga kembali,” kata Jay Haley.

Di Bandung, seorang lelaki menutup koran setelah membaca berita kematian itu. Hatinya membeku. Wajahnya muram. Tidak ada yang tahu apa yang sedang dipikirkannya. Barangkali, ia merasa telah gagal menegakkan panji-panji dirinya selama ini, atau barangkali pula tidak merasa apa-apa. Kecuali rasa kosong, di ruang kosong. Betapa lelah ia.

“Syenni…” hanya itu yang keluar dari mulutnya, lepas perlahan, menyebut nama anaknya. [  ]  

*Dokter ahli jantung dan penulis. Tulisan ini diambil dari buku beliau,”Beranda Kita”, Jakarta, Grafitipers, 1985

Back to top button