Cerita Liu Jin selalu melintas di benak saya setiap kali ada kejahatan yang beririsan, atau malah berpokok pada urusan pangan rakyat. Akankah ada dari mereka yang tega kepada rakyat banyak itu menerima hukuman mati?
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Saat mengkaji sejarah Tiongkok, orang biasanya merapal nama Liu Jin bersama perasaan “Nano-nano”: benci yang membuncah, rasa ngeri dan batin tercekam. Benci karena pejabat tinggi istana (Kasim) itu tak hanya merupakan orang paling korup dalam sejarah Tiongkok. Ia, yang memimpin kelompok pejabat tinggi yang dikenal sebagai “Delapan Harimau”, itu menguasai istana kekaisaran dalam banyak kebijakan, serta keji bukan kepalang. Liu Jin mudah saja merampas tanah petani kecil, bila mereka tak bisa membayar pajak yang nilainya terus ia naikkan. Ia sangat ahli dalam memeras.
Bertahun-tahun malang melintang, pada 1510 Liu Jin kena batunya. Kerajaan Tiongkok yang salah urus mengalami kekacauan politik, pangan mahal, rakyat banyak pun kelaparan. Kaya sendirian, Liu Jin dilabrak rakyat dan ditangkap. Kaisar yang ngeri dengan people power yang terjadi langsung menjebloskan Liu Jin ke penjara dengan tuduhan merencanakan pemberontakan. Di tahun itu pula, tak tanggung-tanggung,
Kaisar Zhengde dari Dinasti Ming yang selama ini menutup mata, memerintahkan eksekusi Liu Jin dengan metode “kematian seribu luka” (lingchi). Tak hanya dibunuh, sebelumnya tubuhnya dipotong-potong lebih dari 3.000 kali, selama tiga hari. Kehabisan darah, akhirnya Liu Jin mati.
Cerita Liu Jin selalu melintas di benak saya setiap kali ada kejahatan yang beririsan, atau malah berpokok pada urusan pangan rakyat. Dari kasus korupsi Kepala Dolog Kaltim, Budiadji, yang merugikan negara (saat itu) sekitar Rp 7,6 miliar di tahun 1970-an;kasus penyelewengan Rp 40 miliar dana Bulog yang saat itu diduga melibatkan politisi Partai Golkar Akbar Tandjung, hingga kasus Bulogate di akhir masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), di tahun 2000. Dada saya selalu berdegup kencang, kuatir para tersangka mendapatkan hukuman semengerikan Liu Jin. Syukurlah, tak pernah terjadi.
Kadang terbersit pikiran, buat apa menyiksa Liu Jin kalau ujung-ujungnya sang pesakitan memang akan tetap dibuat mati seperti vonis yang dijatuhkan? Dalam sempitnya pengetahuan saya akan hukum, jawaban datang dari asumsi penulis sendiri.
Bagaimanapun, esensi sebuah hukuman adalah mendatangkan rasa jeri, lalu jera. Lha, bukankah terdakwanya sendiri pasti mati? Siapa yang bisa tegar menahan hukuman “Lingchi”, yang dalam referensi lain disebut sebagai “pemenggalan lambat-lambat” itu? Tebtu saja, dalam kasus Liu Jin, yang dikehendaki jeri dan jera adalah para pejabat yang potensial menjadi koruptor. Artinya, Kekaisaran Ming saat itu merasa harus menunjukkan betapa seriusnya pemerintah dalam menghadapi ancaman ketahanan pangan dan kesejahteraan publik di satu sisi, dan potensi kebocoran di sisi lain.
Tentang hukuman mati untuk pelaku kejahatan yang mengorbankan banyak rakyat kecil, banyak fuqaha Muslim yang mendukungnya. Imam Abu Hanifah, misalnya, mewajibkan hukuman mati jika terjadi kejahatan berat yang melibatkan kepentingan negara atau masyarakat.
Yang lebih kontemporer, Imam Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba’alawi, dalam kitabnya “Bughyatul al-Mustarsyidin” halaman 55, menulis,” Imam Muhib al-Thabari berkata, boleh membunuh pejabat negara yang telah melakukan tindakan kezaliman terhadap masyarakat, dikarenakan sama dengan lima hewan yang berbahaya (burung gagak besar, elang, kalajengking, tikus dan anjing galak).”
Dengan menukil pendapat Imam Abdi al-Salam, Imam Asnawi menyatakan, boleh bagi orang yang mampu (untuk) membunuh orang zalim, seperti penarik pungutan liar dan semisalnya dari pengusaha-pengusaha zalim, dengan alat pembunuh semisal racun. Hal serupa disampaikan Imam Wahbah az-Zuhaili dalam “Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu”. Menurut beliau, bila suatu kejahatan tidak bisa diberantas terkecuali dengan cara dibunuh, maka (pelakunya) harus dibunuh.
“Orang yang kejahatannya di muka bumi tidak dapat dihentikan kecuali dengan dibunuh, maka ia (harus) dibunuh”( Wahbah az-Zuhaili, Fikih al-Islamy wa Adillatuhu, juz. 7, halaman 5595)
Persoalannya, apakah kejahatan-kejahatan seperti itu di negeri kita telah “melampaui batas”? Tampaknya, bila melihat gambaran skandal mark up impor beras senilai Rp2,7 triliun dan kerugian negara akibat demurrage impor beras senilai Rp294,5 miliar baru-baru ini, hal tersebut memang sudah terjadi.
Oh ya, ada gambaran yang menyesakkan dada yang datang tidak baru-baru ini melainkan dari tahun 2019. Pada akhir Januari 2019, penyidik senior KPK Novel Baswedan menyatakan: “Saya mendapatkan informasi dan fakta, sektor pangan kerap dikorupsi dalam jumlah yang besar. Setiap bahan makanan tak lepas dari jejaring mafia.” Tahun itu pula, Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian Justan Riduan Siahaan menyatakan, ada lebih dari 497 kasus pangan tengah diproses hukum. Sementara Direktur Litbang KPK (saat itu) Wawan Wardiana, menyatakan ada hampir seribuan aduan yang masuk KPK terkait pertanian. Masih kurang? [INILAH.Com]