Bagaimana Menilai Lembaga Survei?
Penggunaan standard deviasi dalam menilai akurasi lembaga survei memberikan metode objektif dalam mengevaluasi kinerja mereka. Metode ini penting untuk menjaga integritas informasi yang disampaikan kepada publik, terutama dalam hal yang sensitif seperti Pemilu.
Oleh : Rahmat Mulyana*
JERNIH– Di era demokrasi yang semakin berkembang, lembaga survei memegang peranan penting dalam memberikan gambaran opini publik, terutama dalam konteks Pemilihan Umum. Namun, bagaimana kita dapat menilai kredibilitas dan akurasi dari lembaga survei tersebut? Sebuah kasus hipotetis berikut dapat memberikan pandangan mengenai hal ini.
Kasus hipotetis: survei Pemilu Presiden di Indonesia
Misalkan terdapat tiga lembaga survei (Surveyor 1, 2, dan 3) yang mengeluarkan prediksi hasil Pemilu Presiden (Pilpres) di Indonesia. Mereka memublikasikan hasil survei sebagai berikut:
– Surveyor 1: Kandidat 1 (32 persen), Kandidat 2 (40 persen), Kandidat 3 (28 persen)
– Surveyor 2: Kandidat 1 (40 persen), Kandidat 2 (38 persen), Kandidat 3 (32 persen)
– Surveyor 3: Kandidat 1 (30 persen), Kandidat 2 (50 persen), Kandidat 3 (20 persen)
Namun, hasil pemilu yang sebenarnya adalah Kandidat 1 (38 persen), Kandidat 2 (35 persen), dan Kandidat 3 (27 persen).
Metodologi penilaian
Untuk menilai akurasi dari prediksi ini, kita menggunakan metode standard deviasi dari kesalahan prediksi. Standard deviasi ini mengukur seberapa jauh rata-rata kesalahan prediksi dari hasil sebenarnya. Semakin kecil nilai standard deviasi, semakin akurat prediksi yang dibuat oleh lembaga survei tersebut.
Memvalidasi dan mengevaluasi hasil survei politik adalah proses penting yang membandingkan prediksi yang dibuat oleh lembaga survei dengan hasil Pemilihan Umum sebenarnya untuk menentukan seberapa akurat dan andal survei tersebut.
Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan menggunakan ukuran statistik yang dikenal sebagai standard deviasi dari kesalahan prediksi. Ini pada dasarnya mengukur seberapa jauh rata-rata prediksi menyimpang dari hasil sebenarnya.
Dalam praktiknya, ini dilakukan dengan menghitung selisih antara hasil yang diprediksi oleh survei untuk setiap kandidat dan hasil pemilu aktual, kemudian mengkuadratkan selisih tersebut untuk memastikan semua nilai positif dan memberikan penekanan lebih pada kesalahan yang lebih besar.
Rata-rata dari nilai-nilai ini kemudian dihitung, dan akar kuadrat dari rata-rata tersebut diambil untuk mendapatkan standard deviasi. Metode ini memberikan cara yang jelas dan objektif untuk menilai akurasi survei, dengan standard deviasi yang lebih rendah menunjukkan bahwa prediksi survei secara rata-rata lebih dekat ke hasil aktual, sehingga menunjukkan tingkat akurasi dan keandalan yang lebih tinggi.
Hasil perhitungan
Berdasarkan perhitungan, diperoleh hasil standard deviasi sebagai berikut:
– Surveyor 1: 4,55 persen
– Surveyor 2: 3,56 persen
– Surveyor 3: 10,61 persen
Analisis dan implikasi
Dari hasil ini, kita bisa melihat bahwa Surveyor 2 memiliki prediksi paling akurat, diikuti oleh Surveyor 1. Sementara Surveyor 3 memiliki standard deviasi lebih dari lima persen, yang menurut standard prediksi yang umum di dunia penelitian, membuatnya tidak memenuhi kriteria akurasi yang ditetapkan. Dalam konteks ini, Surveyor 3 akan kehilangan lisensinya dan dilarang melakukan survei lagi karena akurasinya diragukan.
Kesimpulan
Penggunaan standard deviasi dalam menilai akurasi lembaga survei memberikan metode objektif dalam mengevaluasi kinerja mereka. Metode ini penting untuk menjaga integritas informasi yang disampaikan kepada publik, terutama dalam hal yang sensitif seperti Pemilu. Lembaga survei harus memenuhi standard tertentu untuk memastikan bahwa informasi yang mereka sampaikan dapat dipercaya dan berguna bagi pemangku kepentingan, termasuk pemilih dan kandidat.
Untuk itu, penting bagi lembaga survei untuk terus mengembangkan metodologi mereka dan memastikan bahwa sampel yang diambil mewakili populasi secara keseluruhan. Transparansi dalam metodologi dan pengumpulan data juga menjadi kunci agar publik dapat memahami dan mempercayai hasil survei yang dipublikasikan. [ ]
** Dr. Ir. Rahmat Mulyana, MM, pengajar pada Institut Tazkia