Belajar Berdaulat dari Amerika Latin
Lebih mencengangkan lagi Venezuela. Kendati dari kekayaan minyaknya yang melimpah, mencapai 3 juta barel per hari atau 10 persen dari produksi keseluruhan negara penghasil minyak yang bergabung dalam Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC), memungkinkan negara itu mengimpor pangan seberapa pun banyaknya. Tapi ternyata pertanian masih mendapatkan tempat utama, terutama sejak Hugo Chavez berkuasa.
Oleh : Marlin Dinamikanto
JERNIH– “Kebebasan tanpa Sosialisme adalah ketidakadilan, dan Sosialisme tanpa Kebebasan adalah perbudakan dan kebrutalan”– Mikhail Bakunin
Pernyataan Bakunin di atas cukup menggambarkan kondisi Amerika Latin sekarang ini. Sosialisme Jalan Demokrasi, sebagaimana ditulis Arief Budiman, semula hanya studi kasus atas kekuasaan singkat Allende (Salvador Guillermo Allende Gossens), seorang Marxist pertama yang menjadi presiden di daratan Amerika Latin (tepatnya Chili) melalui Pemilu demokratis dan terbuka, sebelum akhirnya digulingkan oleh Augusto Pinochet, sekarang menjadi niscaya.
Setelah “Sosialisme Jalan Demokrasi” diawali oleh Allende di Chili, kini hampir semua negara di Amerika Latin (setidaknya pernah) dipimpin oleh pemerintahan Sosialis. Bahkan Lula da Silva, bekas tukang asong jualan kacang di kereta api yang tidak menamatkan pendidikan sekolah dasar, selanjutnya berkarir sebagai buruh di industri baja dan berhasil menjadi pimpinan serikat buruhnya, lewat Partai Pekerja yang kemudian dipimpinnya, sukses menduduki jabatan presiden Brazil. Hal itu bisa dimungkinkan oleh adanya demokrasi yang preferensi pemilihnya lebih ideologis, lebih nasionalis dan yang terpenting lagi, lebih berkesadaran kelas.
Prinsip kedaulatan, kendati mendapatkan tentangan dari industrialis asing dan segenap kompradornya, pada akhirnya dipegang teguh oleh siapa pun yang berkuasa di apa pun negara Amerika Latin. Garis ‘kanan habis’ jelas tidak laku dijual di pasar kekuasaan yang bernama demokrasi, yang mau tidak mau dimoderasi lebih ke tengah. Kaum konservatif tidak bisa lagi mempecundangi rakyat dengan semena-mena mencabut hak-hak dasar rakyat.
Begitupun kaum kiri radikal yang diperankan Maoist dan Stalinist seketika menjadi kehilangan peran sejarahnya, ketika kebutuhan pangan, energi, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur dasar sudah menjangkau ke kalangan bawah. Pilihan kaum kiri radikal tinggal dua, memoderasi prinsip-prinsip kekiriannya lebih ke tengah sebagai bekal ikut pemilihan umum, atau lari ke hutan.
Tidak dimungkiri, gerakan kiri radikal oleh pengikut Agustin Fara Bundo Marty, seorang martir pejuang sosialisme yang dibunuh tentara El Salvador di tahun 1970-an, masih eksis di El Salvador hingga sekarang ini. El Salvador tidak jatuh ke Sosialisme, kemungkinan besar karena tidak ada demokrasi, dan itu memaksa penggiat sosialisme terus bergerilya di hutan melawan kekuasaan tentara yang disokong habis-habisan pemerintah Amerika.
Kawasan Amerika Latin yang menghampar Pegunungan Andes, hutan tropis, hingga ke dataran rendah yang kaya humus, sejak penjelajahan Columbus memang dikenal kaya sumber daya alam. Sudah sejak lama pula penguasa-penguasa lokalnya mengusir penjajahnya, baik itu Spanyol, Portugis dan Italia. Kendati sudah sekitar lebih dari satu abad merdeka, namun ditribusi asset tetap dimiliki oleh segelintir orang kaya yang memiliki pasukan bersenjata (Hacienda).
Jadi betul apa kata Bakunin, kemerdekaan (kebebasan) tanpa sosialisme adalah ketidak-adilan. Itu pula yang dirasakan sebagian besar rakyat Amerika Latin. Sejak itu gerakan-gerakan sosial, baik oleh kalangan gereja yang lalu dikenal istilah teologi pembebasan, maupun kaum Marxist dengan berbagai variannya, entah itu gerakan Serikat Buruh (Brazil), tani dan masyarakat adat (Bolivia), hingga gerakan lingkungan seperti Chiko Mendez, pendidikan Paulo Freire, menjadi gerakan-gerakan simultan dan berkesinambungan hingga datangnya sebuah era demokrasi yang lebih memungkinkan ide-ide sosialisme terserap dalam platform kekuasaan.
Dalam situasi demikian, hadirnya pemimpin-pemimpin berhaluan kiri, seperti mendiang Chavez yang kini digantikan Nicolas Maduro di Venezuela, Morales di Bolivia, Christina Fernandez di Argentina, Lula da Silva yang kini sudah diganti rekan separtainya di Brazil, Fernando Lugo di Paraguay, Tabare Vasquez yang lalu digantikan Jose “Pepe” Mujica di Uruguay, Michelle Bachelet Jeria di Chili, mendapatkan dukungan ideologis dari masyarakat pemilihnya.
Tampilnya pemimpin-pemimpin sosialis, dan setidaknya nasionalis, di Amerika Latin, lebih memungkinkan mereka bekerja sama dalam membentuk kawasan yang mereka sebut kawasan bebas “neo-liberalism” melalui kerja sama The Bolivarian Alliance for the Peoples of Our America (bahasa Spanyolnya Alianza Bolivariana para los Pueblos de Nuestra América/ALBA). ALBA adalah Organisasi kerja-sama internasional berbasiskan pengintegrasian gagasan sosial, politik dan ekonomi negara-negara Amerika Latin dan Karibia.
ALBA adalah bentuk nyata perlawanan negara-negara Amerika Latin atas gagasan Free Trade Area of America (FTAA) yang dikomandoi Amerika Serikat. Kebetulan pula, hampir semua negara di Amerika Latin memiliki sejarah penghisapan oleh industrialis Amerika, baik yang bergerak di pertambangan, minyak dan gas bumi, perkayuan, perbankan, pangan dan lainnya. Hanya saja, cara menghadapi Amerika saja yang berbeda, ada yang keras seperti Cuba, Venezuela dan Bolivia, dan ada yang lunak seperti Brazil, Argentina, dan lainnya. Namun prinsip sosialisme antara lain tertuang dalam kedaulatan di bidang pangan, energi, pelayanan kesehatan, pendidikan dan infrastruktur dasar tetap dijaga.
Sekarang ini, jumlah sapi di Argentina mencapai 53 juta ekor, sudah melebihi jumlah penduduknya yang hanya 41 juta jiwa. Gandum dan kebutuhan pangan lainnya melimpah. Tidak aneh bila anjloknya nilai Peso seiring krisis internasional hanya dirasakan oleh sekitar 200 ribu penduduknya. Karena Argentina dan umumnya negara-negara Amerika Latin lebih memprioritaskan kedaulatan pangan bagi jutaan penduduknya, impor hanya sebagai substitusi yang tidak bisa dihasilkan oleh negaranya.
Lebih mencengangkan lagi Venezuela. Kendati dari kekayaan minyaknya yang melimpah, mencapai 3 juta barel per hari atau 10 persen dari produksi keseluruhan negara penghasil minyak yang bergabung dalam Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC), memungkinkan negara itu mengimpor pangan seberapa pun banyaknya. Tapi ternyata pertanian masih mendapatkan tempat utama, terutama sejak Hugo Chavez berkuasa.
Sebelum minyak ditemukan di Venezuela, orang-orang dari daratan Amerika Tengah itu dikenal sebagai petani yang tangguh. Namun seiring ditemukannya ladang-ladang minyak di sejumlah kawasan, arus urbanisasi meningkat. Orientasi pembangunan pun diarahkan ke sektor energi. Akibatnya, lahan-lahan pertanian setidaknya dalam lima dekade terakhir dibiarkan terlantar. Sejak itu Venezuela yang kaya minyak disandera oleh bayang-bayang krisis pangan. Karena memang, kebutuhan pangan lebih banyak didatangkan dari luar ketimbang dihasilkan dari tanahnya sendiri.
Era krisis pangan itu tampaknya kini telah berakhir. Pemerintahan sosialis Venezuela mulai mengembangkan koperasi yang bergerak di bidang pertanian. Sebut saja coklat (cacao) yang banyak tumbuh subur di pesisir negara kaya minyak itu. Bukan itu saja, selain menyiapkan infrastruktur yang dibutuhkan, negara juga melindunginya dengan harga eceran terendah, di samping pula turut mengembangkan produk-produk olahannya.
Pertanian organik juga dikembangkan, sebagai antithesis pertanian ala Revolusi Hijau yang membuat ketergantungan kepada pupuk, obat-obatan dan akhirnya juga bibit impor. Kegairahan warga kota berkebun sayur-sayuran di kebun perkotaan menjadi pemandangan baru Kota Caracas, tampak lebih hijau dan berseri. Kaum miskin perkotaan juga dibuka akses kebutuhan makan murah yang disediakan di toko-toko yang disubsidi oleh pemerintah.
Pada 2008, total produksi pangan di Venezuela, meliputi gandum, sereal, coklat, sayur-sayuran dan lainnya mencapai 19,6 juta ton, dan itu masih kurang, karena harus mengimpor 36,8 persen lagi. Toh begitu, angka itu sudah cukup lumayan ketimbang era sebelum Chavez. Bahkan, dalam peringatan 13 tahun kedaulatan pangan, bulan Desember 2012 lalu, pemerintahan Sosialis Venezuela telah mampu meningkatkan standar hidup warga negaranya.
Sebagai gambaran, kini 98 persen penduduk Venezuela bisa makan 3 kali sehari. Konsumsi protein meningkat dari 29,7 gram per hari menjadi 47,6 gram. Asupan kalori harian selama 13 tahun juga meningkat dari 2.127 menjadi 3.182 alias meningkat 50 persen. Belum lagi program sekolah nasional dan makan siang gratis. Bagi penduduk tidak mampu diberikan makanan secara proporsional dan tidak dipungut biaya.
Itulah gambaran singkat Venezuela, dan gambaran serupa terjadi di negara-negara Amerika Latin lainnya, meskipun tidak seekstrem Venezuela yang menggratiskan makanan warganya, khususnya yang tidak mampu. Itu semua bisa terjadi, karena supremasi sipil sebagai anti-tesa rezim militer sebelumnya yang menindas rakyat, benar-benar dihargai oleh siapa pun pemimpin yang berkuasa di sana.
Dan akhirnya benar juga kata Bakunin, kebebasan tanpa Sosialisme adalah ketidakadilan, dan Sosialisme tanpa Kebebasan adalah perbudakan dan kebrutalan.
[ ]
Martimbang, 25 Juni 2013