SolilokuiVeritas

Berbahasa, Dinamika VUCA, dan Pemimpin Baru

Masa peralihan kepemimpinan dari Presiden Joko Widodo kepada Prabowo Subianto maka kondisi VUCA sulit dihindarkan. Pada tataran ini, presiden terpilih harus sudah menyiapkan seluruh  seluruh konsep kehidupan bernegara dan berbangsa ke depan dengan menggunakan cara berbahasa yang lugas, mudah dimengerti oleh rakyat kebanyakan, tidak memunculkan makna yang ambiguitas agar terdapat kepastian hukum.

Oleh     :  Fahmy Lukman*

JERNIH– Globalisasi merupakan istilah yang sangat populer pada era lalu, yang menggambarkan keterhubungan dan saling ketergantungan antarnegara di dunia terkait dengan informasi, sosial, seni, budaya, kesehatan, pariwisata, perdagangan, ekonomi, politik,  populasi, dan teknologi.

Keterhubungan dan saling ketergantungan tersebut telah menyebabkan semakin derasnya arus transaksi antarkawasan dan antarnegara di dunia yang mencakup berbagai aspek, terutama arus perdagangan, ekonomi, investasi yang semakin terbuka, arus perpindahan migrasi manusia antarnegara dan wilayah, dan informasi (Bruinessen, 1999; Zhang, 2007).

Kita dapat menggambarkan arus deras yang terjadi melepaskan sekat-sekat geografis dan batas wilayah negara. Dunia seolah menjadi bordeless (tanpa tapal batas); dunia tidak lagi disekat-sekat oleh wilayah dan batas-batas negara, bangsa,  ras, budaya, dan politik. Globalisasi telah menciptakan suatu ruang yang menyebabkan masyarakat dunia menjadi saling ketergantungan dalam sosial-politik, ekonomi-perdagangan-investasi, sosial-budaya (I. Fairclough & Norman, 2013; N. Fairclough, 1992; Goebel, 2010).

Bahasa dan VUCA

Pasca arus deras globalisasi yang dipicu lompatan secara eksponensial teknologi komunikasi berdampak pada kondisi dunia mengalami proses disrupsi dan  masuk pada lingkungan VUCA, yaitu Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity.

Realitas volatility mengacu pada sifat perubahan dunia dalam skala regional dan global yang cepat dan tidak terduga. Hal itu dicirikan melalui dinamika perubahan yang cepat, tidak pasti, kompleks, dan ambigu. Peristiwa dan situasi sering kali berubah tanpa peringatan, sehingga dalam menghadapi kondisi ini setiap organisasi dan individu harus mampu merespons secara cepat dan tepat.

Respons dengan menggunakan bahasa yang tepat berperan penting dalam menyikapi kondisi volatilitas. Dalam situasi yang bergejolak, pemimpin atau individu perlu mampu berkomunikasi dengan jelas dan tepat untuk menyampaikan arahan baru, tujuan yang disesuaikan, atau perubahan strategi. Pola bahasa dalam berkomunikasi bersifat responsif, singkat, dan langsung sangat penting untuk menavigasi dan memitigasi lingkungan yang berubah-ubah. Krisis global pandemi COVID-19 misalnya, telah telah membelajarkan kita untuk memberikan respon yang cepat dan tepat. Strategi berbahasa yang tepat pada kondisi ini telah berdampak pada satu tingkat pemahaman yang menyebabkan masyarakat menjadi cepat mengerti dan bertindak tepat. Kondisi ini pula mewajibkan perubahan aturan dan protokol kesehatan disampaikan melalui bahasa secara tepat, cepat, dan jelas untuk menghindari kekacauan di tengah volatilitas situasi tersebut.

Dalam situasi dunia yang penuh ketidakpastian (Uncertainty), bahasa dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan dan kekhawatiran masyarakat. Komunikasi bahasa yang berorientasi pada penjelasan, transparansi, dan kejelasan informasi menjadi sangat penting. Pemimpin yang menggunakan bahasa secara terbuka, empatik, dan menjelaskan konteks dengan tepat cenderung lebih efektif dalam mengelola ketidakpastian. Dalam kaitan hal itu, penggunaan istilah-istilah bahasa yang memastikan bahwa strategi bersifat fleksibel dan adaptif (misalnya, adanya plan B-Z, resilience, contingency plan) menunjukkan cara berkomunikasi yang dapat mengelola harapan.

Harapan harus selalu ditumbuhkan dan jangan dimatikan. Sekali harapan dimatikan maka untuk melompat maju ke depan dalam situasi yang lebih baik akan mengalami hambatan yang besar. Menumbuhkan harapan berarti menciptakan dimensi psikologis yang tahan menghadapi berbagai situasi.

Pada titik ini maka peranan agama dan bahasa menjadikan  harapan itu selalu dihidupkan melalui pesan adanya pertolongan Tuhan, ada hari esok yang lebih baik, setelah kesulitan pasti ada kemudahan, atau dalam peribahasa sebagai local wisdom bangsa ini adalah berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Meminimalkan bahasa  yang mengandung unsur buruk sangka (su-udzan), umpatan, hujatan, dan segala ungkapan yang mengandung keputusasaan harus terus ditumbuhkembangkan. Berfikir positif adalah sebuah kekuatan yang luar biasa (the positive thinking is power) dan menjadi modal utama untuk maju.

Kompleksitas (Complexity) situasi disrupsi yang dialami biasanya mencakup banyaknya variabel/faktor yang berinteraksi dalam suatu situasi, sehingga hubungan sebab-akibat tidak selalu jelas dan memerlukan pemahaman lebih lanjut dan mendalam. Pada kondisi ini, peranan bahasa yang digunakan harus mampu memecah elemen-elemen yang rumit menjadi komponen-komponen yang jauh lebih sederhana agar mudah dipahami. Kemampuan untuk menjelaskan isu-isu kompleks melalui analogi, metafora, atau model-model bahasa yang terstruktur menjadi sangat penting.

Dalam debat politik atau diskusi ilmiah, sering kali digunakan bahasa yang sangat teknis, tetapi untuk menjangkau audiens yang lebih luas, konsep-konsep tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa yang lebih mudah dipahami. Bahasa bisa menjadi alat untuk mengatasi atau memperburuk kondisi ambiguitas. Komunikasi yang jelas, menggunakan definisi yang tepat, dan memberikan contoh konkret dapat mengurangi ambiguitas.

Sebaliknya, bahasa yang terlalu abstrak atau multitafsir dapat memperburuk ambiguitas. Dalam perjanjian internasional misalnya, penggunaan istilah yang terlalu longgar atau multitafsir dapat menimbulkan ketidakpastian dalam implementasi dan hal ini berpotensi  memicu perselisihan. Oleh karena itulah, bahasa hukum biasanya sangat presisi untuk menghindari ambiguitas dan penafsiran yang multimakna.

Studi yang dilakukan Ashford & DeRue (2012) menemukan bahwa organisasi yang mengelola lingkungan VUCA secara efektif cenderung memiliki pemimpin yang mampu menggunakan bahasa untuk mengelola situasi yang penuh dengan ketidakpastian dan ambiguitas. Mereka yang menggunakan bahasa secara fleksibel, kolaboratif, dan kontekstual lebih berhasil dalam melakukan adaptasi perubahan.

Karena itu, penggunaan “bahasa visioner” seorang pemimpin membantu meningkatkan efektivitas dalam situasi VUCA dengan fokus pada retorika yang menekankan optimisme, adaptabilitas, dan komunikasi dua arah.

Begitu pula tatkala Indonesia masuk pada masa peralihan kepemimpinan dari Presiden Joko Widodo kepada Prabowo Subianto maka kondisi VUCA sulit dihindarkan. Pada tataran ini, presiden terpilih harus sudah menyiapkan seluruh  seluruh konsep kehidupan bernegara dan berbangsa ke depan dengan menggunakan cara berbahasa yang lugas, mudah dimengerti oleh rakyat kebanyakan, tidak memunculkan makna yang ambiguitas agar terdapat kepastian hukum.

Memberikan harapan berkemajuan, menjamin keselamatan semua anak bangsa, dan membuka ruang kebebasan berpikir dan berpendapat menjadi sangat penting untuk menyatukan kembali potensi anak bangsa, meskipun terdapat keragaman pendapat dan adanya dinamika intelektual. Hal inilah yang memunculkan harapan baru bagi rakyat dari pemimpin yang baru.

Dalam kaitan inilah maka bahasa merupakan instrumen penting dalam menghadapi lingkungan VUCA. Realitas dunia yang mengalami volatilitas, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas, kemampuan untuk menggunakan bahasa secara strategis sangat menentukan keberhasilan komunikasi, pengambilan keputusan, dan adaptasi terhadap perubahan. Penggunaan bahasa yang efektif tidak hanya memfasilitasi pemahaman dan kerja sama, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk menciptakan stabilitas dalam situasi yang tidak pasti. [ ]

*Dosen  Departemen Linguistik FIB Unpad dan Ketua Umum Asosiasi Linguistik Hukum Indonesia (ALHI)

Back to top button