Corona, Camus, dan Wajah Kita
Apalagi kegemaran kita untuk saling tuding pun tak mampu enyah oleh beratnya masalah wabah. Meski ditutup aneka bungkus, terasa bahwa di kita, wabah tak sanggup membuat antara satu pejabat dan lainnya menjadi guyub
Oleh : Atal Sembiring Depari*
Merajalelanya pagebug alias wabah virus Corona, segera membawa ingatan saya kepada sebuah novel yang sempat terbaca di tahun-tahun silam. Saya teringatkan novel itu seiring perkembangan yang terjadi dalam kasus Corona di negeri kita ini.
‘Sampar’ judul novel itu, setelah di-Indonesiakan dari ‘La Peste’. Ditulis pengarang dan wartawan Prancis yang juga dipercaya banyak orang sebagai filsuf, Albert Camus. Buku yang kemudian saya tahu banyak diterbitkan ulang oleh berbagai penerbit di sini. Pembacaan ulang akan edisi baru novel tersebut, justru membuat saya seolah tengah becermin pada apa yang juga terjadi di negara kita dalam kasus Corona.
Tidak seperti Cina, Indonesia bukanlah negara asal wabah yang kini mendunia tersebut. Ada cukup banyak waktu–sebenarnya, untuk melihat, berkaca dan belajar dari Cina, sekaligus berjaga-jaga mempersiapkan diri secara optimal. Namun kita tahu, kita alpa melakukan itu semua.
Kita memilih membesarkan hati dengan sesuatu yang tampaknya justru tak sepenuhnya kita sendiri percayai. Belakangan bahkan para pejabat kita menjadikannya lelucon, mungkin maksudnya untuk menenangkan, mencairkan suasana. Lihat saja:
-Seorang anggota kabinet, saat ditanya soal ancaman Corona justru meminta agar masyarakat “enjoy aja” menghadapi virus corona.
-Seorang anggota kabinet yang lain—sebelum ia kemudian tertular, sempat berkelakar bahwa masyarakat Indonesia kebal terhadap virus corona karena gemar makan sego (nasi) kucing.
-Seorang pejabat badan ekonomi setingkat menteri, berkelakar bahwa Corona sulit masuk Indonesia karena,” Izinnya susah.”
-Seorang menteri koordinator di kabinet bilang, karena perizinan di Indonesia berbelit-belit, maka virus corona tak bisa masuk.
-Menko lain yang lebih senior, saat dikonfirmasi kebenaran telah masuknya virus Corona ke Batam, balik bertanya,” Corona (masuk Batam)? Corona kan sudah pergi. Corona mobil?” ujar dia, tersenyum. Generasi era kolonial tahu, yang dimaksud adalah mobil (Toyota) Corona. Dan banyak lagi aneka pernyataan lain asal kita tega mengangkatnya lagi.
Sama dengan yang ditulis Camus di novel itu: para pejabat negeri dengan tak acuh menerima laporan banyaknya orang meninggal karena sampar di kota Oran itu. Para pejabat Kota Oran lebih senang menyembunyikan kenyataan di belakang kalimat-kalimat birokratis, media massa—saat itu hanya koran dan radio, pun pandai menutup fakta dengan aneka berita yang menghibur, dan para pejabat mengatakan “tak ada tikus di gedung itu”, sementara hewan mati itu berserakan di mana-mana.
Wajar, manakala sang virus benar-benar datang dan memperlihatkan taringnya yang mengerikan, kita semua tak dapat banyak berbuat.
Apalagi kemudian kegemaran kita untuk saling tuding pun tak mampu enyah oleh beratnya masalah wabah. Meski ditutup aneka bungkus, terasa bahwa di kita, wabah tak sanggup membuat antara satu pejabat dan lainnya menjadi guyub. Semua itu cukup lama berlangsung, sampai akhirnya alarm kedua berbunyi memekakkan telinga: satu demi satu pahlawan di garda depan perjuangan, yakni para dokter dan petugas medis kita, direnggut corona.
Hingga berita ini dibuat, disebut-sebut ada tujuh dokter, sekian perawat, setidaknya dua orang guru besar, harus kita relakan pergi. Mereka, para Allah-marham, yang dalam ‘Sampar’ dipersonifikasikan oleh Dr Bernard Reux. Seorang dokter muda yang maju membendung serangan wabah, melakukan hal sederhana tetapi berarti. Para dokter yang telah berpulang itu, dan dokter-dokter ‘Reux’ lain yang sampai kini pun masih gigih berjuang, adalah orang yang berkata selantang Reux dalam ‘Sampar’: “Hanya pengecut yang menyerahkan semua pada takdirnya.”
Sebagaimana pesan Camus dalam ‘Sampar’, wabah Corona ini pun harus kita lawan dalam kebersamaan. Dia, sang virus yang penuh amarah, barangkali sebaiknya dilawan dengan gigih namun hati tulus ikhlas. Hati yang fokus untuk menundukkan wabah demi manusia dan sepenuh kemanusiaan yang, seiring wabah, tengah dicoba dikalahkan.
Wabah ini, bukan waktunya kita jadikan pentas. Kita semua: rakyat banyak, para pejabat pemangku amanah, kelas menengah dan orang kaya, semua harus bersatu dalam keinginan untuk lepas dari wabah agar bangsa pun terbebas dari bayang-bayang buram yang menggantung di masa depan. Saatnya bersatu, meski tak perku bahu-membahu. [ ]
*Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)