SolilokuiVeritas

Dari Brookings ke Great Institute, ‘Dapur Ide’ Kelas Dunia Membangun Peta Indonesia Emas 2045

Di belahan dunia manapun, setiap pemerintahan memiliki dilema abadi, yakni bagaimana menyulap teori-teori akademis yang ‘njelimet’ menjadi kebijakan konkret yang bisa mengubah kehidupan rakyat. Dalam situasi pelik inilah, kehadiran think tank alias lembaga pemikir menjadi krusial.

Sejarah kehadiran think tank mengiringi setiap masa kekuasaan sejak ratusan tahun lalu. Di masa kerajaan, para raja memiliki para penasehat dan cendekiawan yang sering diminta saran atau memberikan nasihat. Di era pemerintahan modern, kehadirannya meski senyap tetap selalu ada. Lembaga pemikir ini berubah wujud mengikuti perkembangan sejarah kekuasaan itu sendiri.

Think tank, atau lembaga pemikir, merupakan organisasi yang didedikasikan untuk melakukan penelitian dan advokasi mengenai isu-isu kebijakan publik. Mereka berfungsi sebagai jembatan penting yang menghubungkan dunia akademis yang sarat teori dengan realitas praktis pemerintahan.

Di satu sisi, dunia akademis seringkali terjebak dalam perdebatan konseptual dan teoritis yang rumit. Sementara para pejabat seringkali tidak memiliki waktu merenungkan arah kebijakan strategis dan jangka panjang. Di sinilah think tank berperan, bukan sekadar “kantor riset” biasa, melainkan jembatan strategis yang menghubungkan ide-ide besar dari dunia akademis dengan tuntutan praktis birokrasi negara.

Peran think tank dalam membentuk kebijakan publik sudah memiliki sejarah panjang di dunia. Di Amerika Serikat, tradisi think tank sudah mengakar lebih dari seabad. Tahun 1916, berdirilah Institute for Government Research yang kelak berevolusi menjadi Brookings Institution pada 1927. Dari sinilah lahir tokoh-tokoh pemikir yang berpengaruh besar dalam politik global.

Salah satunya Leo Pasvolsky, arsitek ide-ide yang melahirkan Marshall Plan, sebuah strategi monumental yang membantu membangkitkan Eropa dari puing-puing Perang Dunia II. Bayangkan, sebuah gagasan dari ruang diskusi think tank mampu menggerakkan miliaran dolar bantuan dan menyelamatkan sebuah benua.

Tak hanya Amerika. Di Inggris, Chatham House sejak 1920-an menjadi dapur ide kebijakan luar negeri yang berpengaruh, melahirkan analisis mendalam yang digunakan oleh perdana menteri dan kabinet. Di Jepang, National Institute for Research Advancement (NIRA) ikut menyuplai strategi pembangunan pascaperang. Sementara di Tiongkok, lembaga seperti China Center for International Economic Exchanges (CCIEE) punya peran strategis mengarahkan kebijakan industrialisasi dan inovasi teknologi Negeri Tirai Bambu.

Indonesia pun bukan tanah asing bagi tradisi ini. Pada era Orde Baru, kita mengenal CSIS (Centre for Strategic and International Studies) yang rajin mengisi pikiran Presiden Soeharto dengan kajian geopolitik, ekonomi, dan hubungan internasional. Banyak kebijakan stabilisasi politik dan strategi pembangunan saat itu tak lepas dari masukan lembaga ini.

Namun perjalanan demokrasi membawa warna baru. Setelah reformasi, peran think tank di Indonesia cenderung terfragmentasi: ada yang berorientasi akademis, ada yang berafiliasi partai, ada pula yang independen namun minim daya dorong ke pusat kekuasaan. Akibatnya, tidak selalu ada satu pusat gagasan yang konsisten menjadi mitra strategis presiden.

Padaal di era modern yang penuh disrupsi, tantangan bagi think tank semakin kompleks. Isu-isu seperti perubahan iklim, transformasi digital, ketidaksetaraan ekonomi, dan dinamika geopolitik memerlukan analisis yang lebih tajam dan solusi yang inovatif.

Think Tank Penting Menyongsong Visi Indonesia Emas 2045

Menyongsong visi Indonesia Emas 2045, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto membutuhkan pemikiran jangka panjang yang terstruktur. Visi besar bukan sekadar slogan; ia membutuhkan peta jalan yang terukur, berbasis data, sekaligus berani merumuskan langkah-langkah jangka panjang yang seringkali sulit lahir dari birokrasi yang sibuk dengan urusan harian.

Dalam konteks ini, hadir Great Institute yang dipimpin Syahganda Nainggolan. Lembaga ini diisi para pakar lintas bidang—ekonomi, politik, hukum, energi, hingga pertahanan—yang digadang-gadang bisa menjadi dapur gagasan untuk pemerintahan Prabowo.

Tentu saja lembaga think tank seperti Great Institute bertugas menjebatani ilmu dan kebijakan. Alih-alih terjebak dalam teori akademis yang “mengawang”, think tank mesti menghasilkan riset aplikatif yang bisa langsung dipakai pejabat untuk merumuskan keputusan. Think tank bisa menjadi simpul penghubung, mempertemukan data, riset, dan perspektif berbagai sektor, menjadi ruang dialog lintas sektor.

Pemerintah membutuhkan analisis mendalam tentang skenario ekonomi dan sosial Indonesia dalam 20 tahun ke depan. Ini membutuhkan peta jalan (roadmap) kebijakan pembangunan jangka panjang termasuk proyeksi pertumbuhan, tantangan demografi, dan potensi sektor-sektor strategis seperti hilirisasi industri nikel, timah, dan bauksit.

Misalnya saja, merumuskan cetak biru (blueprint) industrialisasi berkelanjutan yang tidak hanya berfokus pada ekspor bahan mentah, tetapi juga menciptakan ekosistem industri hulu-hilir yang terintegrasi. Hal ini bisa mencakup rekomendasi insentif pajak untuk perusahaan yang berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan (R&D) di dalam negeri, serta program pelatihan masif untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja.

Selain itu, Presiden Prabowo juga tentu membutuhkan analisis risiko dan mitigasi krisis global. Dunia saat ini sangat dinamis. Ketidakstabilan geopolitik, krisis rantai pasok global, dan ancaman pandemi baru dapat mengancam stabilitas ekonomi nasional. Selain pemerintah mendapat laporan berkala tentang risiko-risiko global dan dampaknya terhadap Indonesia juga dapat memberikan rekomendasi kepada pemerintah.

Rekomendasi yang dapat diberikan termasuk diversifikasi mitra dagang, membangun cadangan strategis untuk bahan pokok dan energi, serta mengembangkan sistem peringatan dini (early warning system) yang mampu mendeteksi potensi krisis global, baik krisis pangan, energi, maupun geopolitik, lalu memberi rekomendasi sebelum badai benar-benar menghantam.

Faktor penting dalam visi Indonesia Emas 2045 adalah kebijakan inklusif dan pemerataan ekonomi. Visi tidak akan tercapai tanpa pemerataan kesejahteraan. Tentu untuk mewujudkan visini ini perlu ada kajian tentang strategi untuk mempersempit kesenjangan pendapatan dan regional. Ini bisa mencakup pemikiran tentang reformasi agraria yang lebih adil, pengembangan klaster ekonomi di luar Jawa, dan model pembiayaan inovatif untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Dari sisi SDM juga tak kalah penting yakni tata kelola dan reformasi birokrasi. Lembaga pemikir dapat membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas birokrasi. Pemerintah perlu mendapat saran atau rekomendasi untuk debirokratisasi proses perizinan, implementasi e-government yang lebih luas, dan program-program yang berfokus pada peningkatan kinerja sektor publik.

Agar Tidak Jadi Tukang Stempel Kekuasaan

Pertanyaan besar berikutnya, bagaimana memastikan lembaga pemikir tetap independen? Sejarah menunjukkan banyak think tank yang akhirnya “terkooptasi” karena terlalu dekat dengan kekuasaan atau donatur. Independensi ini memungkinkan mereka untuk memberikan kritik konstruktif dan rekomendasi yang objektif, bahkan jika tidak populer di kalangan elit politik.

Memang sulit tapi tentu masih banyak solusi. Salah satunya dengan diversifikasi sumber pendanaan agar tidak bergantung pada satu aktor politik atau korporasi. Tentunya pendanaan harus transparan sehingga lebih dapat dipercaya baik oleh masyarakat maupun para donaturnya.

Keterbukaan juga berlaku untuk hasil riset kepada publik termasuk akademisi, sektor swasta, dan masyarakat sipil sehingga ada mekanisme check and balance. Data dan riset tidak boleh diubah demi menyenangkan telinga penguasa.Kolaborasi dengan lembaga riset lain, baik di dalam maupun luar negeri, akan memperkaya perspektif dan kualitas analisis.

Indonesia Emas 2045 bukan sekadar target angka PDB atau capaian demografis. Ia adalah perjalanan panjang yang membutuhkan kompas strategis. Think tank seperti yang dilakukan Great Institute adalah kompas itu: mengingatkan ketika arah mulai melenceng, memberi peta saat jalan terasa buntu, dan menyodorkan jembatan ketika ada jurang kebijakan.

Sejarah dunia sudah membuktikan, dari Brookings di Amerika hingga Chatham House di Inggris, gagasan dari ruang think tank bisa mengubah wajah bangsa. Kini, tantangannya: apakah Great Institute mampu menjadi “Brookings”-nya Indonesia? Jawabannya akan sangat menentukan, apakah visi Indonesia Emas akan benar-benar berkilau, atau sekadar jadi mitos manis di baliho jalanan.

Dengan menjalankan peran-peran ini, sebuah lembaga pemikir seperti Great Institute dapat menjadi “otak” di balik kebijakan-kebijakan strategis yang akan mengantarkan Indonesia menuju masa depan yang lebih makmur dan berkeadilan, sesuai dengan visi Indonesia Emas 2045.

Check Also
Close
Back to top button