SolilokuiVeritas

Gaji Fantastik Tersangka Direktur Pertamina; Kerakusan di Tengah Kesenjangan

Sejumlah direksi Petrobras terlibat dalam mark-up proyek. Selain menggunakan untuk kepentingan pribadi, mereka juga menjadi aktor kunci penyaluran dana suap ke sejumlah politisi dan partai. Presiden Lula Da Silva kemudian divonis 12 tahun penjara karena menerima dana mark-up untuk kampanye. Yang menarik, peran TCU – Tribunal de Contas da Uniao, lembaga audit tertinggi di Brasil yang bertugas mengawasi dana publik dan memastikan kepatuhan terhadap prinsip hukum, efisiensi dan transparansi.

Oleh : Dian Fatwa

JERNIH– Saya tidak berhenti menggelengkan kepala melihat gaji para tersangka skandal korupsi Pertamina yang mencapai hingga Rp 1,81 miliar per bulan. Angka yang kontras dengan upah minimum regional (UMR) DKI sebesar Rp5 juta/bulan sementara data BPS 2023 menunjukkan pendapatan rata-rata masyarakat Indonesia berkisar Rp3,6 juta/bulan.

Pertanyaannya adalah setinggi itukah nilai para direktur Pertamina yang kini menjadi tersangka? Apa yang menjustifikasi mereka memperoleh gaji yang tinggi? Lalu mengapa mereka masih korup?

Mari kita tengok gaji eksekutif anak perusahaan BUMN migas di negara berkembang lainnya di sektor serupa yakni di sektor hilir/distribusi BBM.

Terlihat, gaji direktur Patra Niaga Pertamina lebih tinggi dibandingkan rekan sejawatnya di negara-negara lain.

Bila kita telisik lebih jauh, rasio gaji direktur Patra Niaga dibandingkan perusahaan pembanding, 5-70x lebih besar.

Is it worth it? Eh lah dalah, jebule mereka gagal meningkatkan laba perusahaan. Terbukti pada tahun 2023, laba bersih Pertamina Patra Niaga turun 40 persen (dari Rp5,8 triliun di 2022 menjadi Rp3,5 triliun), tetapi gaji direksi justru naik 20 persen dari tahun sebelumnya.

Fakta ini bikin rakyat muntap naik darah.

Perlu dicari siapa yang menjustifikasi kenaikan gaji ini padahal terdapat ketimpangan dalam kinerja mereka yang cukup terang benderang. Coba kita lihat perusahaan Chevron Indonesia (sektor hilir) dengan rasio gaji CEO sebesar 0,03 namun mampu melakukan efisiensi 20x lipat.

Sementara di banyak perusahaan global, rasio gaji direktur atau di C-level vs laba biasanya maksimal 0,1 persen (HBR,2021). Semua perusahaan pembanding di atas, baik PDB Malaysia, IOC India, PPT Oil and Retail Thailand dan YPF Distribucion Argentina menerapkan rasio gaji 0,1 persen atau di bawahnya atas laba perusahaan..

Jelas rasio gaji direktur Patra Niaga bermasalah. Artinya perlu ada pembatasan rasio gaji di tubuh Pertamina yang berkeadilan. Rasio gaji mesti dibatasi maksimal 0,1 persen seperti praktik lazim perusahaan global lainnya. Hitung-hitungan rasio ini juga mesti dipublikasikan ke masyarakat sebagai bentuk transparansi publik.

Ketika rasio gaji direksi lebih dari 300 x lipat dibandingkan UMR, maka muncul ilusi bahwa mereka ‘layak’ mendapat lebih. Padahal, studi yang dilakukan oleh Thomas Piketty (“Capital in the Twenty-First Century”, 2013) terbukti kesenjangan ekstrem merusak kohesi sosial dan memicu perilaku eksploitatif. Kesenjangan yang begitu lebar akan melegitimasi keserakahan karena mereka merasa layak untuk mendapatkan lebih dari yang mereka peroleh.

Korupsi serupa dengan Patra Niaga pernah terjadi di Brasil. Skandal Lava Jato di Petrobras (BUMN Migas Brasi)tahun 2004 ini melibatkan direksi Petrobras sehingga menimbulkan kerugian sebesar R$6,2 miliar atau setara dengan Rp18 triliun. Korupsi yang berlangsung selama 10 tahun ini merupakan skandal korupsi terbesar dalam sejarah Brazil dan menimbulkan krisis legitimasi terhadap institusi dan elit.

Sejumlah direksi Petrobras terlibat dalam mark-up proyek. Selain menggunakan untuk kepentingan pribadi, mereka juga menjadi aktor kunci penyaluran dana suap ke sejumlah politisi dan partai. Presiden Lula Da Silva kemudian divonis 12 tahun penjara karena menerima dana mark-up untuk kampanye.

Yang menarik adalah peran TCU – Tribunal de Contas da Uniao, lembaga audit tertinggi di Brasil yang bertugas mengawasi dana publik dan memastikan kepatuhan terhadap prinsip hukum, efisiensi dan transparansi.

Setelah skandal Lava Jato terbongkar, TCU membatalkan kontrak kerja direksi dan memaksa 12 mantan direksi Petrobras mengembalikan bonus senilai R$200 miliar (Rp 600 miliar) karena dianggap melakukan tindakan ilegal.

TCU juga beberapa kali merevisi paket gaji sejumlah direksi BUMN. Setelah melakukan audit, terdapat temuan bonus gaji yang tidak sesuai dengan kinerja perusahaan dan memaksa pengembalian bonus (clawback) karena target tidak tercapai.

Untuk menghindari gaji direksi BUMN yang berlebih, TCU menerapkan pedoman gaji direksi BUMN tidak boleh lebih dari 10x lipat gaji karyawan non-direksi.

Electrobras (BUMN listrik Brasil) terpaksa merevisi gaji direksinya setelah temuan gaji direksi 85x lipat gaji karyawan. Hal ini melampaui pedoman TCU. Para direksi juga harus mengembalikan bonus untuk memberikan rasa keadilan karyawan lainnya.

Ketinggalan kereta

Tren global remunerasi saat ini selalu dikaitkan dengan kesuksesan mencapai target ESG (Environment-lingkungan, Social-Sosial, Governance-tata kelola). Karena itu sudah saatnya Indonesia menerapkan target serupa bila tidak ingin ketinggalan kereta.

Okay lah, tidak perlu muluk-muluk memenuhi target lingkungan misalnya target pengurangan emisi seperti yang harus dicapai oleh direksi Equinor ( BUMN migas Norwegia). Dalam konteks Indonesia hal yang mendesak segera dibenahi adalah soal tata-kelola (governance) yang masih kewer-kewer.

Mari kita lihat skandal yang menimpa Rosneft (BUMN migas Rusia). Igor Sechin, CEO Rosfnet gajinya dipotong 50 persen atas perintah Kremlin ketika terbukti melakukan privatisasi saham ilegal senilai $10,9 miliar pada tahun 2017. Padahal Sechin adalah seorang veteran Kremlin, mantan deputi perdana menteri dan dikenal sebagai sosok yang paling ditakuti di Rusia dan dekat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Akan tetapi Kremlin tetap menindak aktivitas korup Sechin. Tiga direktur keuangan juga dipaksa mengembalikan bonus $15 juta atau setara Rp225 miliar. Dengan tegas Putin menginstruksikan negara melakukan cawe-cawe mengatasi korupsi di BUMN strategis.

Contoh lain adalah skandal Odebrecht yang menimba Pemex (BUMN minyak Mexico) pada tahun 2016. Perusahaan konstruksi Odebrecht asal Brasil melakukan suap kepada Emilio Lozoya CEO Pemex untuk memenangkan tender dalam proyek kilang minyak. Ia melarikan diri dan sempat menjadi buron selama beberapa tahun lalu kemudian ditangkap di Spanyol tahun 2020. Lozoya mendapat ancaman hukuman cukup panjang yakni 46 tahun. Walaupun Lozoya adalah sekutu dekat mantan presiden Enrique Pena Nito saat ia menjabat, akan tetapi Lozoya tetap ditahan dan diwajibkan mengembalikan uang suap $10,5 juta atau setara dengan Rp150 miliar. Sementara lima direktur lainnya harus mengembalikan bonus dengan total sebesar MXN 500 juta atau Rp365 miliar.

Managemen krisis
Sudah tepat apa yang dilakukan oleh Dirut Pertamina Simon Mantiri dengan menyatakan permohonan maaf menjawab kemarahan masyarakat. Pertanyaannya apakah ini cukup?

Di banyak negara, seperti contoh-contoh di atas kegagalan direksi BUMN memenuhi target ESG, tidak hanya berujung pemecatan namun juga pemotongan gaji dan pengembalian bonus atau dana suap. Indonesia perlu mencontoh ketegasan ini. Jadi kalau direksi kerja kagak bener, bukannya untung, malah buntung.

Dalam kasus korupsi Patra Niaga seyogyanya para direksi mengembalikan selisih gaji di atas standar regional (maksimal Rp1 miliar/bulan) selama periode kepemimpinan tersangka.

Bila perlu potong gaji direksi hingga 50 persen hingga restrukturisasi tuntas dan diumumkan ke publik, seperti yang dilakukan GE Motor saat terjadi krisis tahun 2009. Segera sita dana korupsi, kemudian dialihkan ke program konversi energi misalnya mengganti PLTD di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) dengan sumber energi baru terbarukan (EBT) yakni menggunakan panel surya.

Dan yang tak kalah pentingnya melakukan revitalisasi dewan komisaris mengganti dengan para profesional independen. Fair bukan?

Memang tampaknya BUMN perlu melakukan reformasi secara radikal terkait sistem penggajian jajaran direksi Patra Niaga termasuk menghapus privilege yang dimiliki guna mengembalikan kepercayaan publik ketika rakyat marah melihat gaji besar para direksi akan tetapi masih tergoda korupsi.

Barangkali bisa dimulai dengan merapikan rasio gaji direksi vs karyawan non-direksi. Misalnya menggunakan rasio 1:20. Tidak hanya itu, rasio gaji terhadap laba perusahaan juga harus ditekan mengikuti standard internasional yakni tidak lebih dari 0,1 persen. Saat ini rasio gaji Patra Niaga sudah mencapai 0,6 persen. Kebablasan kan?

Dalam buku ‘Pay Without Performance’ yang ditulis oleh Bebchuk dan Fried (2004), insentif yang salah menjadi benih munculnya moral hazard. Study yang mereka lakukan menunjukkan kompensasi yang berlebihan justru sering dikaitkan dengan kecurangan akuntansi.

Wajar saja dengan rasio gaji 366x gaji UMR Jakarta, para direksi Patra Niaga leluasa memainkan pat-gulipat tata-kelola minyak mentah Pertamina.

Mungkin para tersangka direktur Patra Niaga ini melihat korupsi adalah ‘hak istimewa’ sejalan dengan kekuasaan yang dimiliki seakan melegitimasi keserakahan mereka. Buku ‘Thick of It’ (Acemoglu & Robinson, 2023) menjelaskan korupsi di lembaga ekstraktif sering kali dinormalisasi sebagai ‘bagian dari sistem’.

Nah bila reformasi gaji direksi BUMN dilakukan, langkah ini mesti didampingi pelibatan auditor eksternal seperti KPMG atau PwC. Mengapa audit eksternal penting? Ini untuk mengisi keompongan pengawasan internal serta menjaga keindependenan dari cawe-cawe pihak luar serta membangun akuntabilitas dan transparansi yang solid.

Audit eksternal juga memagari ‘keliaran’ yang salah kaprah mengingat sejumlah BUMN di Indonesia terindikasi beroperasi layaknya ‘kerajaan’ di mana gaji direksi ditentukan secara politis, bukan melalui evaluasi independen.

Tanpa reformasi radikal di tubuh BUMN dengan pembatasan kekuasaan, dan sistem akuntabilitas serta transparansi yang kuat, maka perusahaan milik negara akan tetap menjadi lahan subur korupsi dan perilaku korup.

Skandal oplosan Patra Niaga jelas menunjukkan manajemen yang inkompeten dalam menjalankan tata-kelola (governance) perusahaan yang sehat. Petronas Dagangan Bernard (PDB) Malaysia membuktikan dengan tata-kelola (governance) yang ketat, hampir tidak ditemui kasus korupsi sejak tahun 2015.

Selain Patra Niaga, entah perusahaan BUMN manalagi yang memberikan gaji fantastis bermiliar-miliar di mana 26 juta rakyat Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Bila hal ini dibiarkan pengelola BUMN seperti mengabadikan sebuah paradoks, penghinaan terhadap keadilan sosial, prinsip yang paling mendasar sila ke-5 Pancasila.

Maka menjadi benar cerita legenda Daud melawan Goliath, rakus-lah yang membunuh Goliath. Raksasa seperti Pertamina akan tumbang karena kerakusan orang-orang di dalamnya membunuh masa depan ketahanan energi Indonesia. []

Back to top button