
Bagaimana bencana besar ini jadi mungkin? Kita pernah memiliki sistem perizinan yang mewajibkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) sebagai syarat mutlak. Amdal bukan hanya dokumen; ia adalah pagar etis sekaligus pagar teknis: uji kelayakan atas dampak, mekanisme keberatan masyarakat, dan proses evaluasi yang tidak bisa dibeli dengan janji pertumbuhan ekonomi. Namun Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) menggesernya. Amdal tidak lagi menjadi syarat bagi semua jenis kegiatan; ia berubah menjadi instrumen pengelolaan risiko yang, ironisnya, baru dinilai setelah izin diberikan.
Oleh : Radhar Tribaskoro

JERNIH– Di Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah, banjir bandang datang seperti sesuatu yang sudah lama menunggu giliran. Ia menuruni lereng-lereng Bukit Barisan dengan suara yang memecah tidur: gemuruh tanah, batang-batang pohon patah, bebatuan yang berguling mencari dataran rendah. Selebihnya, kita melihat apa yang selalu mengikuti bencana: rumah-rumah bersandar pada puingnya sendiri, keluarga mencari nama-nama yang hilang seperti mencari halaman terakhir dari sebuah kitab yang tak pernah rampung, dan suara tangis yang tak pandai membedakan antara kehilangan dan keterkejutan.
Di beberapa desa, arus deras menyapu jembatan gantung—struktur kecil yang selama puluhan tahun menghubungkan kampung dengan pasar, sekolah dengan dunia. Kini ia tergantung seperti ingatan buruk. Listrik padam, sinyal telepon hilang, dan bantuan datang tersendat oleh jalan yang runtuh dan lumpur setinggi lutut.
Korban jiwa tak lagi hanya angka dalam laporan. Ia adalah bapak yang memikul anaknya melewati arus, namun terseret saat kaki terpeleset batu licin. Ia adalah seorang ibu yang berhasil keluar dari rumah, tapi tak sempat kembali ketika suara dari kamar kecil memanggil. Ia adalah anak-anak yang kisah hidupnya berhenti begitu saja, seperti lampu minyak yang kehabisan sumbu.
Kerugian materi? Tentu: sawah tertutup lumpur, puluhan hektare palawija rusak, ternak hilang, rumah hanyut, tempat ibadah retak, dan sekolah-sekolah yang baru saja mengecat dindingnya kembali berubah menjadi ruang darurat. Tapi kerugian material selalu lebih mudah dihitung daripada kerugian yang lain—yang diam, yang tak tertulis di spanduk bantuan: hilangnya rasa aman.
Bencana ini datang setelah hujan yang, kata para ahli, melampaui kebiasaan. Curah hujan ekstrem, kita menyebutnya. Seolah-olah langit tiba-tiba memutuskan untuk menunjukkan bahwa ia juga punya batas kesabaran.
Namun langit bukan satu-satunya yang kehilangan kesabaran.
Langit, Peraga dari Kesalahan Kita
Ada waktu ketika hujan di Tapanuli adalah musim—ritme. Ia datang sebagai bagian dari hidup, disambut seperti tamu tahunan. Tetapi kini, ia datang seperti seseorang yang membawa kabar buruk. Intensitas hujan dalam beberapa hari terakhir melampaui kapasitas sungai-sungai kecil yang selama berabad-abad mengatur hidup desa-desa di lembah.
Hujan ekstrem bukan sekadar fenomena alam. Ia adalah tanda zaman. Ketika iklim berubah, ia tak datang dengan cara yang samar; ia menumpah. Dan ketika hutan tak lagi ada untuk melindungi, air yang turun hanyalah langkah awal menuju bencana.
Kita sering menganggap hujan ekstrem sebagai penyebab utama banjir. Tetapi hujan hanyalah pemicu; yang membuatnya menjadi bencana adalah apa yang terjadi jauh sebelum tetes pertama jatuh.
Luka yang Dibuka di Punggung Bukit Barisant
Tapanuli adalah tanah yang, sejak dulu, mencatat sejarah dengan pohon-pohon. Di lereng-lereng itu, hutan adalah penyangga, penahan, penyerap, dan peneduh. Namun dalam dua dekade terakhir, hutan-hutan itu berubah seperti halaman yang ditebang dari buku. Hilang. Gundul. Terbuka tanpa malu.
Di sana, perusahaan kayu meninggalkan jejaknya seperti bekas sayatan. Di sebelahnya, kebun kelapa sawit menjalar seperti sesuatu yang tumbuh tanpa niat berhenti. Pertambangan membelah bukit seperti membelah kulit buah yang padat. Semua itu dilakukan dengan nama yang menarik: investasi, pembangunan, kesempatan kerja. Kata-kata yang terlalu besar untuk melindungi kerusakan yang jauh lebih besar.
Ketika akar pohon dicabut, tanah kehilangan ingatan tentang bagaimana menahan air. Ketika lereng digaruk ekskavator, bukit kehilangan tubuhnya. Ketika hutan hilang, hujan tak lagi mengenali tempat untuk meresap. Ia berlari—liar—menuju desa, sawah, dan rumah.
Banjir bandang adalah pesan. Mungkin protes. Mungkin teguran. Mungkin hanya konsekuensi yang menolak ditunda lebih lama.
Kekuatan yang Mengubah Lansekap
Perubahan tutupan hutan di Tapsel dan Tapteng tak terjadi begitu saja. Ia mengikuti logika ekonomi yang menjanjikan keuntungan lebih cepat daripada menanam pohon kembali. Kelapa sawit menjanjikan devisa dan pertumbuhan. Tambang menjanjikan pemasukan daerah dan lapangan kerja.
Tetapi janji pembangunan sering bertransformasi menjadi izin yang meluas, pengawasan yang mengendur, dan ekspansi yang tak pernah dievaluasi ulang. Lembah yang dulu hijau kini menjadi mosaik kebun monokultur. Sungai yang dulu jernih kini menjadi coklat susu—campuran antara tanah longsor, limbah, dan ingatan tentang hutan yang hilang.
Di banyak titik, kebun sawit dibangun terlalu dekat dengan sungai. Di tempat lain, tebing ditebang untuk mempermudah akses jalan tambang. Semua itu seperti mematikan rem sebuah kendaraan di jalan menurun. Bencana tinggal menunggu momentum.
Ketika Hukum Mengendur dan Partisipasi Publik Dipreteli
Tetapi pertanyaan yang lebih penting adalah: bagaimana semua ini mungkin? Jawabannya, pelan tapi pasti, mengarah pada satu hal: kebijakan yang melonggarkan pagar. Kita pernah memiliki sistem perizinan yang mewajibkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) sebagai syarat mutlak. Amdal bukan hanya dokumen; ia adalah pagar etis sekaligus pagar teknis: uji kelayakan atas dampak, mekanisme keberatan masyarakat, dan proses evaluasi yang tidak bisa dibeli dengan janji pertumbuhan ekonomi.
Namun Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) menggesernya. Amdal tidak lagi menjadi syarat bagi semua jenis kegiatan; ia berubah menjadi instrumen pengelolaan risiko yang, ironisnya, baru dinilai setelah izin diberikan. Bukan lagi penentu boleh tidaknya sebuah proyek dimulai, melainkan alat mitigasi ketika semuanya sudah terlanjur berjalan.
Dengan UUCK, pintu partisipasi masyarakat dipersempit. Ruang keberatan publik dipangkas. Komite-komite penyusun Amdal yang sebelumnya menghadirkan warga kini lebih teknokratis, lebih tertutup, lebih birokratis. Di banyak daerah, masyarakat baru tahu hutan mereka digusur ketika buldoser sudah datang dengan asap hitam di hidung knalpot.
UUCK adalah hukum yang percaya bahwa investasi adalah obat, dan bahwa pagar harus diratakan terlebih dahulu agar modal bisa masuk. Tetapi pagar yang diratakan itu adalah hutan, sungai, tanah ulayat, dan mekanisme kehati-hatian.
Banjir bandang di Tapsel dan Tapteng, dengan demikian, bukan hanya bencana alam. Ia adalah bencana kebijakan.
Yang Tersisa Setelah Air Surut
Ketika air surut, yang tertinggal bukan hanya lumpur. Ada pertanyaan yang menggantung seperti kabut di pagi hari: berapa lama lagi kita akan menunggu untuk memperbaiki arah?
Di desa-desa yang luluh lantak, orang-orang akan membangun kembali rumahnya. Mereka sudah terlatih hidup dengan kehilangan. Namun apakah kita, para pembuat keputusan, juga akan belajar?
Ataukah kita akan kembali pada pola yang sama: membiarkan izin meluas tanpa kontrol, menutup telinga ketika masyarakat protes, dan menganggap bencana sebagai takdir?
Bencana ini adalah cermin. Di dalamnya, kita melihat dua hal: keterbatasan sistem alam dan kelalaian sistem sosial. Di Tapsel dan Tapteng, keduanya bertemu, dan hasil pertemuan itu adalah kesedihan yang tak perlu.
Ada yang berubah dalam cara kita memandang alam. Atau mungkin, ada yang berubah dalam cara kita memandang hukum. Kita lupa bahwa alam memiliki memori, dan hukum seharusnya menjadi pelindung memori itu—bukan perusaknya.
Tapsel dan Tapteng mungkin akan kembali tenang setelah beberapa minggu. Sungai akan kembali pada alurnya. Warga akan kembali menanam. Jalan akan diperbaiki, dan pemerintah akan membangun posko, menyalurkan bantuan, dan mengadakan rapat koordinasi.
Tetapi hutan yang hilang tidak pulih secepat itu. Dan hukum yang longgar tidak akan menegakkan dirinya sendiri.
Pada akhirnya, banjir bandang bukan hanya air yang membawa lumpur. Ia adalah pesan yang membawa peringatan: bahwa dalam mengunyah hutan, mengabaikan Amdal, dan mengatur hukum seperti mengatur lampu lalu lintas untuk modal, kita sedang mengundang bencana berikutnya.
Dan seperti biasa, yang akan paling dulu tenggelam bukan hanya rumah kayu di pinggir sungai, tetapi kehati-hatian kita sebagai bangsa. [ ]
Bekasi, 30 November 2025






