Intelijen, Globalisasi dan Masa Depan Negara
Badan Intelijen Negara (BIN) harus hadir sepenuhnya untuk mengabdi pada tujuan nasional agar pembangunan nasional yang menjadi cita-cita luhur para founding fathers dapat terkawal, dan stabilitas politik sebagai prasyarat pembangunan nasional dapat ditegakkan
Oleh : Prof. Yuddy Chrisnandy
Intelijen, sebuah kata yang sangat memikat. Merangsang kita untuk ingin menelisik lebih dalam. Mendorong kita untuk membaca isi sebuah dokumen dengan label: Top Secret, Intelijen. Suatu kerahasiaan yang diungkap oleh orang-orang berkemampuan khusus, yang menarik perhatian banyak orang.
Informasi intelijen merupakan pedoman pengambilan keputusan yang sangat penting, bernuansa strategis, resiko terendah, bahkan untuk menutupi terjadinya resiko atas kesalahan pengambilan keputusan. Sejarah perjalanan umat manusia dalam struktur kebangsaannya dimasa lampau sejak kegemilangan Bangsa Yunani (146 SM) hingga perkembangan Bangsa Romawi (753 SM – 426 M), keberhasilan ekspansi wilayah, penaklukan, kemenangan peperangan, suksesi kepemimpinan, ditentukan oleh perangkat intelijennya. Aktivitas intelijen terus berlangsung sepanjang sejarah kebangsaan umat manusia membentuk negara, hingga masa sekarang, menempatkan intelijen sebagai entitas yang sangat penting bagi negara.
Intelijen (dalam kamus Bahasa Ingris: Intelligence), dapat diartikan sebagai informasi yang dihargai, relevan, tepat waktu dan akurat (benar adanya, bukan rekaan). Informasi intelijen adalah sebuah rangkaian data yang aktif mengenai rencana, keputusan, maupun kegiatan suatu pihak yang dapat berimplikasi kepada pihak lain bahkan dalam spektrum yang sangat luas, yang penting untuk ditindaklanjuti oleh lembaga pengumpul informasi intelijen, dengan penglihatandan pendengarannya.
Analisis produk intelijen, berguna untuk memperkirakan keadaan yang akan terjadi berikutnya. Intelijen dapat diartikan sebagai pandangan visioner dari kecerdasan mendapatkan informasi, mengelola dan menganalisanya dengan prinsip akuntabilitas dan akurasi yang tinggi.
Peran intelijen era global
Berakhirnya perang dingin memberi format baru dalam tatanan dunia internasional dan konflik internasional yang menyertainya. Ancaman tidak lagi harus dipersepsikan secara konvensional melalui aktor negara yang mengancam negara lain melalui agresi dan aneksasi, namun juga bisa berasal dari aktor-aktor non state (negara) yang gejalanya makin terlihat belakangan ini. Sebagai contoh misalnya serangan Teroris ke Twin Tower WTC-New York Amerika Serikat pada 11 September 2001, serangan Bom Bali 1 dan 2 (2002- 2005) yang merupakan sejarah serangan terorisme terparah di Indonesia, munculnya organisasi teroris kelas dunia Al-Qaedah (1988-2011) dibawah pimpinan Usamah Bin Ladin dilanjutkan Ayman Al Zawahiri, merebaknya ancaman terrorisme global dari organisasi yang menamakan dirinya Jamiyah Islamiyah (JI, 2002) atau eksistensi ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) merebut pengaruh negara di Iraq dan Syiria juga menebar teror di Timur Tengah, dibawah komando Abdurahman Al Bagdadi, sejak pernyataan berdirinya di tahun 2010 hingga mengambil alih penguasaan wilayah di Mosul dan Tikrit, Iraq, sebelum akhirnya direbut kembali oleh pemerintah Iraq dengan dukungan AS pada tahun 2018, adalah sebagian fakta bahwa ancaman negara tidak lagi simetris.
Di dunia yang makin modern saat ini, penguasaan negara oleh negara lain melalui aksi-aksi militer telah usang, ditinggalkan seiring dengan makin dipegangnya prinsip-prinsip non interference yang melekat pada kedaulatan sebuah negara (sovereign state). Dari 193 negara yang bergabung dalam PBB (2019), hampir seluruhnya sudah menerapkan azas penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis sebagai prinsip universalisme demokrasi. Dalam pandangan saya, ada tiga kategori kelompok negara yang menamakan demokrasi, yaitu kelompok negara demokrasi murni yang dimotori Amerika Serikat, Inggris, Prancis yang diikuti sebagian besar negara dunia.
Negara demokrasi semu (partai tunggal) yaitu Cina, Saudi Arabia, Qatar, Korea Utara, Brunai, Kuba dan beberapa negara di Timur Tengah. Kelompok negara demokrasi prosedural, yang dicontohkan oleh Rusia, Venezuela, dan beberapa negara di Timur Tengah, Afrika maupun Amerika Latin.
Konsekuensi dari pengakuan dan praktik universalisme demokrasi adalah semakin ditinggalkannya cara-cara perang fisik, intervensi langsung, perampasan wilayah dengan peperangan yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain. Jikapun masih ada, seperti konflik Crimea antara Ukraina dan Rusia, atau konflik wilayah antara Azerbaizan dengan Armenia, atau antara Georgia dan Rusia, tidak berlangsung secara konvensional dengan cara-cara clasic di era sebelum perang dingin (cold war 1960).
Operasi intelijen mendahului keputusan-keputusan negara yang terlibat dalam konflik tersebut atas target dan tujuan yang ingin dicapai untuk kemenangan sepihak. Negara sebesar China, Amerika, India, Rusia, tidak akan gegabah melakukan intervensi wilayah, memulai perang terbuka dengan negara lainnya. Pemerintahnya akan melakukan telaah tindakan yang matang dari intelijennya.
Di luar aktor negara dan organisasi non negara yang berpotensi menjadi ancaman, adalah individu yang tidak terorganisir, bahkan tidak memiliki motif untuk menguasai negara, namun tindakannya menjadi ancaman yang dianggap berbahaya bagi negara. Apa yang dilakukan oleh Julian Paul Assange, jurnalis investigatif bekas wartawan Australia yang menyebarkan informasi rahasia para pemimpin dan tokoh-tokoh terkemuka dunia yang dia dapatkan dengan penelusuran IT yang terkenal dengan skandal Wikileaks, yang merupakan media massa internasional yang mengungkapkan dokumen-dokumen rahasia kepada publik melalui situs webnya. Didirikan pada tahun 2006 oleh banyak orang dari berbagai negara yang memegang rahasia yang tidak disebutkan namanya, bermarkas di Stockholm, Swedia.
Pada tahun 2010 situs Wikileaks mengungkap dokumen perang Afganistan dan 400 ribu dokumen perang Irak, serta merilis pembocoran kawat diplomatik pemerintah AS. Apa yang Assange lakukan, menurutnya sebagai sebuah ekspresi kebebasan pers untuk memberitahukan kebenaran dan keterbukaan kepada public.
Semisal yang dilakukan Edward Snowden, bekas pegawai di NSA yang dituntut pemerintah AS dengan tuduhan membocorkan rahasia negara dan melanggar Espionage Act, pada kurun waktu yang hampir sama. Edward Snowden, melakukan apa yang dituduhkan sebagai ancaman serius terhadap keamanan nasional atas tindakannya membocorkan kepada publik berbagai dokumen rahasia operasi-operasi intelijen Amerika Serikat, dilandasi oleh motif moralitasnya yang menganggap kebijakan tersebut salah, tidak sesuai dengan prinsip- prinsip kebenaran hidupnya. Tidak ada motif untuk mendapatkan sesuatu atau menguasai sesuatu. Ia hanya ingin dikenang sebagai pahlawan.
Dan, masih begitu banyak lagi individu-individu yang tidak sepopuler keduanya yang melakukan “ancaman” terhadap negara di berbagai belahan dunia, dengan motif yang sangat pribadi. Contoh, para hacker melakukan kegiatan yang mengancam bahkan merusak sistem informasi keamanan negara, hanya karena benci atau iseng atau sekedar uji coba kemampuan cyber war-nya menembus cyber security. Mereka melakukan itu semua kadang tanpa disadari telah membahayakan keamanan negara.
Serangan cyber yang mendatangkan malapetaka seperti NotPetya serentak menyerang sistem keamanan komputer seluruh dunia pada bulan Juni 2017, merebak dari Ukraina menyebar ke negara-negara Eropa hingga Amerika Serikat, bahkan masuk ke Indonesia. Serangan cyber ini menyebabkan kerusakan sistem data berbagai institusi bisnis di dunia, institusi sosial hingga lembaga- lembaga pemerintah. Bahkan di Ukraina, NotPetya menjebol sistem keamanan cyber Kementerian Pertahanan. Akibatnya, semua data yang diperlukan user terkunci tidak bisa dibuka, yang pasti sangat merugikan. Sebelumnya pada tahun 2017, serangan terhadap cyber security berskala besar menginfeksi 75.000 komputer di 99 negara dengan menuntut sejumlah tebusan. Oleh malware yang menamakan dirinya WannaCry, berhasil melumpuhkan lebih dari 2000 lembaga keuangan atau bisnis di berbagai belahan dunia dengan motif ransomware. Bahkan lembaga pemerintahan negara Rusia (Kementerian Dalam Negeri) hingga Rumah Sakit Dharmais di Indonesia meradang dihantam malware WannaCry. Semua itu dapat dilakukan tanpa entitas negara, atau bentuk kelembagaan, bahkan tanpa organisasi.
Individu atau setidaknya sekelompok kecil individu menjadi sebuah keniscayaan, merekalah aktornya di abad ini. Inilah realita, tantangan negara dan intelijen negara di abad milenial, menghadapi perilaku kaum milenial.
Globalisasi sebagaimana yang dikatakan David Held adalah sebuah “proses transformasi hubungan sosial yang rumit dan tidak linear yang menghasilkan berbagai jejaring antar wilayah di seluruh dunia”. Kerumitan tersebut tercermin dari seluruh aktivitas masyarakat dan negara, baik itu ekonomi, politik, cultural (kebudayaan) dan militer yang tak dapat dipisahkan dari jejaring tadi. Kerumitan lain juga terjadi karena dengan perkembangan politik, ekonomi dan terlebih-lebih teknologi dewasa ini, negara juga bukanlah satu-satunya aktor. Ada banyak aktor lainnya seperti organisasi internasional, perusahaan multi national corporation (MNC), individu dan bahkan kelompok-kelompok separatis-yang ini semua secara teoritis dapat dikatakan sebagai pemencaran kekuatan politik (centripetal).
Setiap aktor non state memiliki potensi merepotkan negara ketika langkah-langkah yang mereka ambil membahayakan keamanan sebuah negara, dan kadang mengharuskan negara bernegosiasi dengan aktor non negara (non state). Anthoni Giddens sendiri menyebut globalisasi bukan hanya kompetisi dalam bidang ekonomi seperti yang kita saksikan dalam era perdagangan bebas, namun juga berproses dalam ranah lingkungan, dan politik serta kebudayaan seperti yang dikemukakan oleh Huntington dalam buku klasiknya “The Class of Civilitation” (dalam Makmur Keliat “Negara, Globalisasi dan Intelijen”).
Karena itu di era globalisasi dan makin modernnya teknologi, ancaman terhadap keamanan nasional juga makin variatif yang ini tentunya menuntut penguatan kelembagaan organisasi intelijen serta pelibatan seluas mungkin aktor-aktor diluar negara untuk turut serta menjaga keamanan negara. Era ini juga mengharuskan para aparat intelijen memiliki penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang dan mampu mengendalikannya sebagai penunjang kegiatan intelijen.
Urgensi BIN
Sejak awal para founding fathers telah menggariskan bahwa tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana yang tertuang dalam UUD NRI 1945 adalah “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Selanjutnya untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut serta dalam perdamaian dunia yang berdasarkan keadilan dan perikemanusian”. Karena itu dari kutipan tersebut diatas kita dapat menyimak bahwa salah satu tugas terpenting negara adalah mengupayakan kesejahteraan rakyat. Bung Karno mengatakan kemerdekaan itu adalah jembatan emas, wadah dimana setelah kita mendapatkannya (kemerdekaan) akan kita isi dengan dengan segala kebaikan, keadilan dan kesejahteraan (Yamin, 1971: 61-81). Demikian pula Bung Hatta, ia menggariskan kemerdekaan adalah jembatan menuju kemakmuran dan keadilan (Hatta, 2000: 325- 331).
Untuk mensejahterakan rakyat inilah maka tugas terpenting negara adalah melaksanakan pembangunan. Dengan pembangunan perbedaan antara kemerdekaan dengan penjajahan terlihat kontras, pembangunan ditujukan untuk membangun dan mensejahterakan, dengan pembangunan pula maka cita-cita kemerdekaan sebagai jembatan emas untuk di isi dengan segala kebaikan sosial dan kesejahteraan dapat diupayakan. Pembangunan nasional yang kita canangkan sejak awal kemerdekaan, seperti yang dinyatakan para pakar juga mensyaratkan adanya keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pembangunan politik.
Kedua-duanya sesungguhnya merupakan pembangunan nasional, ibarat dua sisi mata uang, pembangunan ekonomi dan pembangunan politik tidak dapat dipisahkan dan saling melengkapi dan menjadi bagian integral dari pembangunan nasional. Di masa lalu mungkin kita lebih mengedepankan salah satunya, tetapi sejak era reformasi bergulir komitmen kita untuk mengembangkan sistem perekonomian nasional dan memantapkan demokrasi sebagai pilar kehidupan politik, kita anut secara berimbang.
Namun kondisi ideal tersebut tak sepenuhnya dapat dihadirkan tanpa adanya gangguan. Kita mengetahui dan seperti yang kita saksikan di banyak negara, bahwa sesungguhnya sistem ekonomi dan sistem politik Indonesia juga bukanlah berada pada ruang yang hampa, kedua sistem tersebut berinteraksi dengan sistem-sistem lain dalam internal negara dan terlebih-lebih juga ada faktor eksternal yang mempengaruhi kedua sistem tersebut. Faktor-faktor ini utamanya faktor keamanan menjadi persoalan krusial bagi penciptaan iklim yang kondusif bagi berlangsungnya pembangunan nasional. Karena itu demi untuk memantapkan pembangunan nasional, maka stabilitas ideologi, politik, sosial, ekonomi dan budaya Indonesia harus kita ciptakan bersama atau dengan kata lain menjadi prasyarat bagi terselenggaranya pembangunan nasional.
Apalagi dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi yang semakin canggih kegiatan subversif baik dari lingkungan internal maupun eksternal Indonesia makin mengemuka termasuk modus- modus ancaman bagi keamanan negara juga semakin variatif. Ancaman tersebut tidak lagi harus berasal dari militer seperti penyerbuan asing atau kelompok separatis bersenjata, namun juga bisa berasal dari non militer yang merongrong keamanan nasional (national security) seperti yang berasal dari subversif cyber. Sudah menjadi kekhawatiran umum di banyak kalangan intelijen dunia, bahwa kemajuan teknologi juga telah meningkatkan ancaman bagi keamanan nasional (national security).
Karena itu untuk mengantisipasinya intelijen juga harus meng-update kemampuan informasi dan teknologinya agar bisa mengantisipasi kejahatan dan aksi-aksi subversif melalui kemajuan teknologi.
Intelijen juga harus mengembangkan kemampuan dirinya, bukan hanya melalui apa yang diamanatkan UU No. 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara menyangkut fungsi-fungsi: penyelidikan, pengamanan dan penggalangan, namun lebih dari itu intelijen juga harus mengembangkan kapasitasnya agar mampu melakukan deteksi dan pencegahan dini (early warning) terhadap potensi gangguan keamanan nasional (national security). Kapasitas inilah yang dahulu di awal pendirian Badan Istimewa (BI), cikal bakal dari Badan Intelijen Nasional (BIN) yang didirikan pada September 1945 oleh Kolonel Zulkifli Lubis, juga berupaya untuk dikembangkan dalam rangka mengantisipasi perluasan wilayah pergerakan pasukan Belanda yang hendak kembali menguasai Indonesia.
Informasi-informasi yang didapatkan Badan Intelijen demikian strategis yang tidak mudah diperoleh oleh pasukan-pasukan tempur yang saling berhadapan. Informasi ini pula yang kemudian dipakai sebagai bahan untuk mengambil keputusan menggerakan pasukan atau juga mengadakan diplomasi (dalam Hariadi Wirawan “Evolusi Intelijen Indonesia”).
Apa yang sudah dicontohkan oleh Kolonel Zulkifli Lubis yang visioner dan antisipatif, mendahului gerak maju pasukan Belanda (pada masa agresi militer Belanda semasa perang kemerdekaan, 1945- 1947) harusnya juga makin dikembangkan oleh Badan Intelijen Negara. Begitu pun pemikiran-pemikiran dan pengalaman hidup dua tokoh intelijen Indonesia, yaitu Ali Moertopo dan LB Moerdani, layak menjadi panduan pembangunan kemampuan Badan Intelijen Negara, saat ini dan selanjutnya.
Dengan kata lain, Badan Intelijen Negara (BIN) hadir sepenuhnya untuk mengabdi pada tujuan nasional agar pembangunan nasional yang menjadi cita-cita luhur para founding fathers dapat terkawal, dan stabilitas politik sebagai prasyarat pembangunan nasional dapat ditegakkan. BIN mengawal keamanan nasional (national security) baik dari ancaman dalam maupun luar negeri. Tentu dalam hal ini pengawasan demokratis sebagaimana yang dicantumkan dalam aturan perundang-undangan yang melandasi lahirnya, tugas dan fungsi badan intelijen juga tetap harus diperhatikan.
Beyond jargon-jargon normatif dan guideline fungsi tugas dan peran BIN, adalah visinya yang harus ke masa depan, memahami tantangan global dan kelemahan-kelemahan nasional yang perlu segera diatasi. Mengupayakan segera terbangunan ketahanan Nasional yang kuat diberbagai sektor non-keamanan, khususnya ekonomi dan penguasaan IPTEK.
BIN juga harus mampu membina dan mengarahkan generasi baru Indonesia yang cerdas dan berintegritas, dengan membangun saluran perannya menuju kepemimpinan nasional yang tangguh dengan semangat kolektif kegotongroyongan. BIN lebih dituntut untuk melakukan sekurangnya beberapa hal yang berguna di masa depan: Outward looking, International Outlook Network, Research & Development Intelligence, Economic & Cyber Science Technology dan mempersiapkan para calon pemimpin nasional yang berkesinambungan diluar segala hal yang sudah dilakukan selama ini. Di masa depan yang tidak terlalu lama, BIN diharapkan memiliki kemampuan yang setara dengan 10 lembaga intelijen terbaik dunia, seperti: CIA (Amerika Serikat), FSB (Rusia), MOSSAD (Israel), MSS (China), ASIS (Australia), CSIS (Kanada), DGSE (Perancis), ISI (Pakistan), BND (Jerman) dan MI6 (Inggris).
Falsafah Intelijen
Dalam sejarah bangsa Indonesia upaya mempertahankan kedaulatan merupakan perjuangan terpenting yang telah dilakukan oleh para pendahulu bangsa. Keberadaan Badan Intelijen Negara (BIN) merupakan salah satu upaya dalam meneruskan perjuangan tersebut. Tersedianya intelijen secara cepat, tepat dan akurat sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan dalam menentukan kebijakan nasional yang merupakan visi utama BIN tentu tidak dapat serta merta terwujud tanpa adanya sistem yang mendukung. Dalam melaksanakan misinya, BIN memerlukan sejumlah tools, termasuk didalamnya teknologi informasi dan kemitraan strategis yang diperlukan untuk mengantisipasi segala macam ancaman yang mungkin datang dan berpotensi mengancam kedaulatan RI. Namun jauh sebelum itu, dunia telah menyadari bahwa intelijen merupakan tools terpenting. Intelijen merupakan bagian integral yang tertanam dalam pekerjaan sehari-hari para pejuang kedaulatan.
Keberadaan BIN sebagai badan intelijen mensyaratkan tindakan yang harus dilakukan sebaik mungkin, tetapi tetap dilakukan secara hati-hati dan penuh pertimbangan, tidak banyak membuang waktu, namun juga tidak terlalu tergesa-gesa, khususnya dalam pengambilan keputusan yang bersifat strategis. Prinsip tidak terlambat dan mendadak yang ditandai dengan ketepatan waktu dan tindakan ini merupakan aspek yang sangat krusial yang harus dikuasai BIN. Hal ini penting dalam menjawab tantangan yang mungkin muncul, khususnya dalam penanganan masalah-masalah yang memerlukan pemikiran mendalam, namun harus segera diselesaikan.
Dalam pelaksanaan tugas sebagai badan intelijen, dikenal istilah the intelelligence cycle atau siklus intelijen, yaitu proses pengolahan informasi menjadi produk intelijen yang digunakan dalam pengambilan keputusan. Siklus intelijen ini menjadi penting ketika berbicara mengenai kinerja intelijen dalam menghasilkan keputusan yang cepat dan tepat. Siklus intelijen memungkinkan para intelijen untuk menghasilkan keputusan terbaik dengan mengaplikasikan the intelligence cycle dalam pelaksanaan tugasnya.
Terdapat lima langkah siklus intelijen: Pertama, planning and direction, merupakan manajemen informasi mulai dari identifikasi data yang diperlukan intelijen, sampai pengiriman produk intelijen ke pengambil kebijakan atau pengguna produk intelijen.
Kedua, collection, merupakan pengumpulan data mentah yang diperlukan untuk memproduksi analisa intelijen. Ketiga, processing, merupakan interpretasi atas informasi dan data yang berhasil dikumpulkan. Keempat, all source analysis and production, merupakan konversi dari informasi dasar yang telah diproses menjadi produk intelijen Kelima, dissemination, merupakan langkah terakhir yaitu distribusi produk intelijen kepada pengguna atau pengambil kebijakan, dalam hal ini Presiden RI
Sebagai badan yang memiliki tugas krusial menjaga kedaulatan negara, merupakan suatu keharusan bagi BIN untuk mengupayakan kinerja terbaik dalam memberikan pelayanan kepada Presiden yang merupakan “single client”nya. Namun pelayanan terbaik kepada Presiden bukan berarti BIN wajib melakukan segala sesuatu yang diminta Presiden. Pelayanan terbaik maksudnya disini tentunya masih harus berada di koridor kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan pribadi maupun golongan. Menjaga stabilitas nasional harus menjadi satu-satunya tujuan BIN dalam pelaksanaan tugasnya sebagai badan intelijen.
Dalam melaksanakan tugasnya yang sarat dengan kesan berbahaya, sangat penting bagi BIN untuk mengetahui segala hal. Untuk dapat mengambil langkah dan keputusan terbaik diperlukan pemahaman yang baik atas segala sesuatu, baik lingkungan diluar BIN maupun internal BIN sendiri. Pentingnya mengetahui diri sendiri dan pihak lain yang dicurigasi sebagai lawan tercermin dalam tiga fungsi dasar intelijen yang dalam doktrin intelijen Indonesia dinormakan dalam bentuk penyelidikan (investigation), pengamanan (security), dan penggalangan (pre conditioning). Selain memahami ketiga fungsi tersebut, BIN diharapkan juga memahami tugas pokok yang seharusnya dilakukan.
Fungsi intelijen
Selain mengenal tugas pokok intelijen, BIN dituntut untuk mengenal pula fungsi dirinya sebagai suatu badan intelijen. Pengenalan terhadap fungsi tersebut sangat penting untuk menjaga stabilitas dan kedaulatan NKRI. Tugas pencegahan ancaman terhadap NKRI dapat diakomodasi dalam tiga fungsi BIN yaitu penyelidikan (investigation), pengamanan (security), dan penggalangan (pre-conditioning).
Pada fungsi pertama yaitu penyelidikan, BIN diharapkan dapat membaca situasi dengan baik dengan melakukan penyelidikan terhadap segala macam kemungkinan munculnya ancaman. Penyelidikan tersebut tidak hanya dilakukan pada pihak-pihak yang sudah jelas dianggap sebagai lawan. Sebagai upaya pencegahan dini, penyelidikan juga memungkinkan untuk dilakukan kepada pihak yang dicurigai akan menjadi lawan. Metode penyelidikan tersebut tidak hanya dilakukan secara terang-terangan. Guna mengantisipasi adanya hal-hal yang sengaja disembunyikan, BIN dapat pula berfungsi dalam melakukan penyelidikan secara sembunyi-sembunyi.
Selain mengenal kekuatan lawan dalam fungsi penyelidikan, BIN juga memiliki fungsi pengamanan. Tindakan pengamanan dimaksudkan untuk menjaga segala sumber daya maupun informasi yang dimiliki agar tidak jatuh ke tangan pihak yang dianggap lawan. Hal ini menjadi penting karena dalam dunia intelijen, informasi sekecil apapun dapat dimanfaatkan menjadi suatu hal yang berpotensi mengancam kedaulatan bangsa. Penting untuk diingat bahwa pengetahuan atas suatu informasi dalam dunia intelijen harus disimpan dengan hati-hati dan bijak.
”For your eyes only” merupakan suatu kalimat yang berlaku di lingkungan kerja BIN yang berarti suatu peringatan bahwa apapun yang dilihat, hanya diperuntukkan untuk diri sendiri. Prinsip ini dapat menjadi suatu ajakan untuk menjaga kerahasiaan hal yang diketahui sedalam-dalamnya.
Pengenalan dan penjagaan atas sumber daya dan informasi yang dimiliki dapat diartikan sebagai bentuk pengenalan terhadap kekuatan diri sendiri. BIN berfungsi menjaga segala kerahasiaan tersebut sehingga lawan tidak cukup mengenal kekuatan yang dimiliki NKRI. Dengan minimnya informasi, diharapkan kemungkinan penguasaan lawan dalam memberikan ancaman akan berkurang sehingga upaya untuk menggoyahkan kedaulatan NKRI dapat dicegah.
Di samping itu, BIN diharapkan dapat memiliki fungsi penggalangan. Penggalangan berarti pengumpulan segala informasi, sumber daya, gagasan, serta apapun yang bersifat menguntungkan. Fungsi ini merupakan salah satu upaya pengumpulan kekuatan dengan cara banyak menciptakan kawan dan mengurangi lawan. BIN harus memiliki prinsip bahwa satu musuh saja sudah terlalu banyak, sedangkan kawan sebanyak seribu tetaplah kurang. Prinsip ini penting untuk membantu BIN dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Dengan banyaknya kawan dan seminimal mungkin lawan, ancaman terhadap NKRI akan semakin berkurang. Kawan yang banyak diharapkan dapat memberikan bantuan dalam menjaga kedaulatan NKRI. Sebaliknya, lawan yang semakin sedikit berarti akan semakin sedikit pula munculnya ancaman terhadap kedaulatan NKRI. Hal yang harus diingat yaitu penggalangan ini harus pula dilakukan secara cermat sehingga tidak menjadi bumerang bagi BIN sendiri. Sekalipun pihak lain adalah teman, prinsip penyelidikan dan pengamanan terhadap kerahasiaan tetap harus dijalankan.
Globalisasi dan intelijen negara
Lingkungan dunia intelijen atau intelligence environment telah berubah, demikian kesimpulan yang bisa kita ambil tentang kondisi hari ini. Namun bukan berarti kegiatan konvensional dunia mata-mata dan tindakan spionase seperti di film-film James Bond atau Bourne telah berakhir. Tentu tidak.
Beberapa skandal intelijen di berbagai negara akhir-akhir ini, seperti upaya pembunuhan mantan agen Rusia Sergei Skripal dan anaknya Yulia di Salisbury, Inggris pada tahun 2018 lalu, berakibat ketegangan antara Inggris dan Rusia sebagai tertuduh. Kedua negara saling usir diplomatnya, bahkan lebih jauh diikuti negara-negara Eropa sebagai solidaritas kepada Inggris. Ditangkap dan dihukumnya warga negara Norwegia di Rusia atas tuduhan membocorkan rahasia kapal selam nuklir Rusia, dan serangkaian kegiatan mata-mata pada bulan Desember 2017, sebagai balasan atas penahanan staf Parlemen Rusia yang tengah berkunjung ke Norwegia pada tahun 2014 yang ditahan dengan tuduhan mata-mata. Atau skandal agen intelijen Amerika, Monica Witt pada tahun 2013 atas tuduhan membocorkan rahasia keamanan AS kepada Iran. Maupun skandal kebocoran informasi satelit early warning system, dan elemen-elemen utama pertahanan AS kepada Israel oleh Stewart Nozette (ilmuwan AS). Merupakan fakta bahwa, tantangan dan kemampuan intelijen konvensional masih diperlukan dan masih eksis, hanya ruang, tempat, waktu dan teknologi yang digunakannya berbeda.
Pergerakan ke arah perubahan telah berlangsung beberapa puluh tahun, yang akhir-akhir ini bukan hanya semakin jelas namun juga dunia kita telah berada di fase baru, yaitu fase globalisasi. Dunia yang kita pahami sekarang tentu tidak bisa lagi mewakili gambaran konvensional, yaitu batas teritorial, namun lebih dari itu globalisasi yang ujung tombaknya ada pada pasar (market) dan teknologi informasi telah membuat batas teritorial dari waktu ke waktu semakin kabur. Globalisasi mengaburkan batas itu. Dunia cepat berubah, yang kecepatannya telah menimbulkan ketidakpastian dan bahkan mengagetkan aktor-aktor yang mendesain perubahan itu sendiri (globaliasi).
Globalisasi di dunia teknologi informasi (IT) bahkan sungguh mengagetkan dan meluluhlantakkan batas-batas teritorial. Di dunia teknologi informasi yang kita lebih akrab menyebutnya sebagai “dunia maya” atau cyber, nation state hampir tidak bereksistensi, semuanya internasionalis yang kita semua disatukan dalam komunitas besar masyarakat dunia atau “federasi dunia”. Semuanya dapat masuk, diakses, menghampiri dan mempengaruhi kita melalui internet dengan beragam media sosialnya. Tanpa pemeriksaan imigrasi dan security secara ketat, “manusia maya” dan informasinya dapat menjumpai kita, dimanapun dan kapanpun. Cukup meng-klik dan menunggu beberapa detik saja kita sudah terhubungkan dengan tempat manapun di seluruh dunia. Namun dibalik kemudahan tersebut, ancaman juga mengintai yang pengaruhnya besar bagi keamanan nasional (national security).
Sebuah group cyber attacker yang diidentifikasi intelijen Amerika berasal dari Korea Utara, menamakan dirinya APT37 rapper, telah berhasil menggunakan malware untuk menginfiltrasi jaringan komputer Amerika Serikat. APT37, diduga sudah aktif sejak tahun 2012, dan kini sudah berada dalam tahap sebagai ancaman dunia tingkat tinggi.
Diperkirakan ada sekitar 6000 orang yang terkoneksi dengan APT37, yang diduga kuat disponsori oleh pemerintah Korea Utara. Sebelumnya, kelompok ini fokus untuk memata-matai Korea Selatan, namun kemudian berkembang kemampuannya untuk mencuri data bahkan masuk kedalam sistem IT negara-negara lainnya seperti Jepang, Vietnam, Timur Tengah, mampu mencuri data rahasia dari perusahaan- perusahaan di bidang kimia, elektronik, pabrik, penerbangan, otomotif, dan industri kesehatan. Ini adalah tantangan kekinian bagi stakeholder intelijen.
Globalisasi juga menghadirkan perspektif baru dari aktor politik yang di masa lalu didominasi oleh negara. Namun hari ini aktor-aktor tersebut bisa berbentuk non state (negara) seperti Multi National Corporation (MNC), Non Governmental Organization (NGO), kelompok-kelompok separatis (teroris), kalangan usahawan besar teknologi informasi (IT) dan masih banyak lainnya, yang memiliki potensi untuk menandingi pengaruh dan kewibawaan negara sebagai penguasa tunggal di wilayah tertentu. Karena itu negara bukanlah satu- satunya aktor yang memiliki pengaruh di era globalisasi, sebagaimana sudah dikemukan diatas.
Kondisi ini (globalisasi) tentu menimbulkan berbagai implikasi bagi keamanan nasional karena globalisasi juga menghadirkan berbagai kemudahan, termasuk kemudahan untuk mempengaruhi loyalitas seseorang. Loyalitas masyarakat di era globalisasi lebih mudah terbentuk dengan berbagai macam informasi yang diterimanya serta koneksi politik di belakang informasi tersebut yang memiliki tautan lokal, nasional dan bahkan transnasional (dalam Makmur Keliat “Negara, Globalisasi dan Intelijen”). Hal ini lebih dipermudah ketika bangsa kita sendiri mengalami kemunduran dalam ikatan ideologis yang mempersatukan semuanya dalam nation state Indonesia.
Lalu yang menjadi pertanyaan besar bagi kita adalah apa yang harus dilakukan oleh intelijen manakala globalisasi juga telah mengancam keamanan nasional (national security), dan lebih dari itu merongrong eksistensi negara. Saya khawatir doktrin kita hari ini dalam memahami pertahanan dan keamanan nasional juga sudah konvensional dan klasik yang didasarkan atas ancaman militer dari darat, laut dan udara. Saya khawatir kita tidak mengantisipasinya datangnya ancaman dari “dunia maya” yang dampak serangannya dari hari ke hari semakin nyata.
Apakah kita sudah memperkirakan manakala suatu saat aksi-aksi teroris tidak lagi memakai instrumen konvensional yaitu senjata dalam menjalankan aksinya-namun telah menggunakan teknologi? Apakah kita telah mengantisipasi bila serangan tersebut tidak ditujukan secara langsung kepada konsentrasi alat-alat pertahanan dan keamanan nasional namun ke objek-objek vital negara tanpa harus mengirimkan pasukan-namun cukup mengacaukan dan meretas sistem komputer yang mengatur bekerjanya objek-objek vital tersebut? Bukankah bila objek-objek vital yang diserang juga merupakan bagian dari penyerangan terhadap keamanan nasional (national security)?
Dari beberapa pertanyaan reflektif tersebut tentu yang menggelitik dan ini bisa mendorong upaya penguatan intelijen kita adalah, sikap antisipatif terhadap kemajuan teknologi. Jangan sampai kemampuan antisipatif tersebut tertinggal oleh kemajuan teknologi yang dapat ditunggangi oleh aktor-aktor yang menginginkan instabilitas dan mengacaukan keamanan nasional (national security). Bahkan lebih dari itu, intelijen sebagai lembaga yang harusnya memiliki kualifikasi pendeteksian dini (early warning system) menjadi lembaga terdepan dalam mengadopsi kemajuan teknologi agar memastikan keunggulan sikap antispatifnya. Saya rasa hal ini ke depannya sudah menjadi fokus perhatian utama dari intelijen kita (BIN). Memang saya mengakui mengembangkan kapasitas itu tidaklah mudah, perlu pendanaan yang besar serta kemampuan SDM yang prima. Ini persoalan krusial pertama yang harus segera diantisipasi oleh Badan Intelijen Negara (BIN), agar keamanan nasional (national security) negara kita semakin terjaga.
Berikutnya yang kedua adalah meningkatkan kapasitas intelijen kita melalui pengintegrasian potensi intelijen yang dimiliki oleh semua badan intelijen yang ada. Saat ini kita memiliki lima badan intelijen, yaitu Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (BAIS) yang dimiliki TNI, Badan Intelijen Kepolisian yang dimiliki POLRI, Intelijen Kejaksaan yang dimiliki Kejaksaan Agung dan Intelijen Imigrasi/Beacukai yang dibawah kendali Kementerian Kehakiman.
Pengintegrasian sistem intelijen penting untuk dilakukan dan ini sebenarnya juga telah diamanatkan oleh UU No. 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara bab VIII, bahwasanya koordinator intelijen negara adalah Badan Intelijen Negara (BIN) yang dinyatakan sebagai Koordinator Intelijen Negara (KIN). Badan-badan intelijen yang ada, baik sipil maupun militer dikoordinasi oleh KIN demi terkoordinasinya sistem intelijen negara. Untuk menghilangkan egosektoralnya masing- masing ada baiknya juga dilaksanakan berbagai latihan kerjasama dalam wadah KIN agar organisasi-organisasi intelijen yang ada menguatkan fungsi koordinasinya. Apabila faktor kapasitas kelembagaan intelijen ini sudah terkoordinasi dengan baik, harapan saya tentunya sebagian masalah dalam pengorganisasian intelijen kita juga bisa terselesaikan.
Catatan penutup
Pertama, intelijen adalah never ending story a long the history. Keberadaan dan perannya akan selalu ada di semua zaman. Kemampuan adaptasi, fleksibilitas dan kapasitasnya harus senantiasa dibangun berkesinambungan, tidak boleh tertinggal oleh kekuatan intelijen lainnya, one step a head.
Kedua, intelijen abad ini adalah intelijen yang bertumpu pada kemampuan menguasai iptek informasi dan berwawasan multidemensi. Tidak lagi sekedar security oriented, namun melangkah ke economic welfare oriented, yang membantu pemerintah mempercepat pencapaian tujuan kemakmuran nasional. Intelijen mutlak berwawasan ekonomi dan politik internasional.
Ketiga, intelijen strategis, menempatkan rakyat sebagai sumberdaya potensi pembangunan nasional yang memerlukan pembinaan dan kanalisasi sebagai upaya mencari bibit unggul kepemimpinan nasional yang berkesinambungan.
Keempat, jaringan dan kerjasama internasional lembaga intelijen adalah suatu keharusan untuk dikerjakan. Intelijen sudah saatnya outward looking dan international outlook, guna membangun jaringan kerja internasional yang kuat, selaras dengan mengadopsi kemajuan dunia intelijen berikut segala perangkat pendukungnya.
Kelima, tantangan dan ancaman negara terbesar di masa depan adalah kelangkaan sumberdaya ekonomi, penguasaan teknologi informasi dan persaingan kualitas sumberdaya manusia. Intelijen dihadapkan pada medan tugas baru untuk meng-suply bahan- bahan kebijakan pemerintah yang efektif untuk terus mencapai dan meningkatkan kemakmuran nasional.
Keenam, Badan Intelijen Negara harus mampu membina dan mengarahkan generasi baru Indonesia yang cerdas dan berintegritas, dengan membangun saluran perannya menuju kepemimpinan nasional yang tangguh dengan semangat kolektif kegotongroyongan. BIN dituntut untuk melakukan: Outward Looking, International Outlook Network, Research & Development Intelligence, Economic & Cyber Science Technology dan mempersiapkan para calon pemimpin nasional yang berkesinambungan.
Ketujuh, Badan Intelijen Negara adalah dapur utama kehidupan pemerintahan yang harus kuat dan sukses menjalankan programnya, dengan dukungan rakyat yang besar. Intelijen adalah jembatan yang menyatukan pemerintah dan rakyat. Memerlukan manusia-manusia tangguh yang loyal, cerdas, berwawasan luas, patriotik, yang rela bekerja tanpa lelah dalam senyap. [ ]
Tulisan ini termuat dalam buku “Dari Kyiv Menulis Indonesia”. Penerbit Madani Institute.