
Keadilan yang tersesat masih bisa pulang, asal ada keberanian untuk mengaku salah. Luka nurani publik bisa menjadi pintu pembenahan sistem. Dan angka 4,5 tahun itu kini berdiri sebagai cermin: bukan untuk menghukum, tetapi untuk mengingatkan. Sebab hukum yang menindas akal sehat bukan hukum, melainkan administrasi kekuasaan yang kehilangan rasa malu.
Catatan Cak AT
JERNIH– “Alhamdulillah. Gusti ora saré —Tuhan tidak tidur. Keadilan pasti datang. Terima kasih Pak Prabowo.”
Begitulah pekikan syukur yang meledak di jagat maya, seperti kembang api takbiran yang tersesat sampai pagi. Sebagian keluarga yang terlibat kasus ini langsung sujud syukur, menyungkurkan kepala sepenuh hati kepada Allah Yang Maha Adil.
Ucapan itu bukan sekadar selebrasi, tapi pelepasan napas panjang setelah berbulan-bulan dihantam badai ketidakpastian.
Syukur publik yang sebelumnya pecah kini berubah menjadi gelombang haru. Orang-orang merasa doa mereka akhirnya tidak menguap ke langit. Untuk sekali ini, negara mendengar jeritan akal sehat rakyatnya.
Kita semua menyaksikan bagaimana drama persidangan itu berjalan: seorang direksi BUMN yang tidak menerima sepeser pun uang negara, tidak memiliki mens rea, tidak terbukti korupsi, eh kok masih ditempeli stempel koruptor oleh dua dari tiga hakim. Persis seperti orang lewat yang ketiban getah, lalu diminta pula mengganti pohonnya.
Saya merasakannya juga. Maka saya menulis “Hakim Logika Dengkul”, yang kemudian dibaca ribuan orang. Bukan karena saya ikut marah-marah, tetapi karena akal sehat seperti ditarik ke jurang.
Para hakim sendiri mengakui dalam putusan bahwa Ira Puspadewi dan kawan-kawan tidak mendapatkan keuntungan dari akuisisi puluhan kapal itu. Namun dua hakim mayoritas tetap memutus bersalah, seolah-olah hukum pidana adalah kompor ajaib: bahan tidak masuk pun, masakan tetap keluar.
Begitu vonis 4,5 tahun dijatuhkan, saya menghubungi seorang menteri hukum di Kabinet Prabowo. Gayanya santai, tapi komentarnya tajam: “Ini biasanya ulah sebagian hakim ad hoc.”
Saya cek pelan-pelan, dan dugaan itu tidak meleset setipis pun. Ia menjelaskan, tak jarang ada hakim ad hoc yang merasa gagah kalau bisa menghukum terdakwa korupsi, meskipun bukti kurang kuat. Seakan menghukum itu prestasi, bukan amanah yang timbangannya lebih berat dari palu sidang itu sendiri.
Dalam kegalauan panjang itu, datanglah keputusan yang membuat publik lega: Presiden Prabowo menerbitkan Keppres Rehabilitasi untuk Ira Puspadewi, Harry Muhammad Adhi Caksono, dan Muhammad Yusuf Hadi.
Merujuk KUHP, rehabilitasi adalah pemulihan hak seseorang atas kehormatan dan martabatnya. Dan ini bukan yang pertama: ini adalah koreksi ketiga Presiden Prabowo atas kasus-kasus peradilan sesat sepanjang tahun ini.
Yusril Ihza Mahendra —dengan gaya akademis khasnya— menjelaskan bahwa langkah Presiden Prabowo sepenuhnya sesuai Pasal 14 UUD 1945. Pertimbangan Mahkamah Agung sudah ada, jalur konstitusional telah ditempuh, dan yang terpenting: rehabilitasi ini mengembalikan kedudukan dan martabat mereka seperti sebelum palu pengadilan menimpa.
Kalimat itu mungkin terdengar birokratis, tapi bagi mereka yang hidupnya hampir rontok oleh stigma, itu bukan sekadar istilah hukum. Itu adalah tiket pulang sebagai manusia yang utuh.
Kasusnya sendiri sejak awal rapuh. Jaksa KPK menyebut kerugian Rp 1,27 triliun dalam akuisisi kapal PT Jembatan Nusantara, tetapi tidak ada keuntungan pribadi, tidak ada aliran dana, tidak ada motif jahat.
Namun tiba-tiba dikatakan bahwa mereka “menguntungkan pihak lain”, tanpa penjelasan siapa pihak itu dan bagaimana caranya. Seolah-olah tuduhan bisa hidup sendiri, tanpa induk fakta.
Hakim karir Sunoto dengan tegas mengeluarkan dissenting opinion: tindakan para terdakwa adalah keputusan bisnis yang dilindungi business judgment rule. Unsur-unsur korupsi tidak terpenuhi. Harusnya lepas murni. Tapi suara jernih itu kalah dari dua suara lain yang memilih jalur lebih gelap.
Di negara-negara lain, business judgment rule adalah norma baku. Di Amerika Serikat, direksi hanya dihukum jika terbukti lalai berat atau sengaja merugikan perusahaan. Di Inggris, standarnya lebih ketat lagi: risiko bisnis bukan wilayah kriminal.
Kita mestinya belajar dari praktik itu, bukan sekadar mengutip istilahnya untuk dipajang di putusan.
Langkah Prabowo ini mengingatkan publik pada Presiden Habibie tahun 1998 saat memulihkan nama Letjen HR Dharsono. Negara, meskipun terlambat, tetap punya kesempatan memperbaiki luka.
Namun jangan dikira kisah ini selesai di meja Presiden. Luka sosial sudah tercetak. Dan orang-orang akan terus bertanya: bagaimana mungkin seseorang yang tidak terbukti korupsi bisa divonis koruptor? Mengapa hukum kita kadang bekerja seperti mesin slot kasino: pencet tombolnya, dapat hasilnya —logikanya entah ke mana.
Pada akhirnya, rehabilitasi ini bukan soal tiga orang direksi saja. Ini soal masih adakah ruang bagi keadilan ketika pengadilan sendiri tersesat.
Bahwa negara memulihkan martabat mereka itu baik, tapi jangan berhenti di sana. Karena yang perlu direhabilitasi bukan hanya manusianya —melainkan juga sistemnya.
Di situlah hikmah dari drama getir ini. Kadang-kadang sebuah tragedi hukum justru membuka jalan bagi rekonstruksi moral negara.
Keadilan yang tersesat masih bisa pulang, asal ada keberanian untuk mengaku salah. Luka nurani publik bisa menjadi pintu pembenahan sistem. Dan angka 4,5 tahun itu kini berdiri sebagai cermin: bukan untuk menghukum, tetapi untuk mengingatkan. Sebab hukum yang menindas akal sehat bukan hukum, melainkan administrasi kekuasaan yang kehilangan rasa malu.[ ]
Cak AT – Ahmadie Thaha, Ma’had Tadabbur al-Qur’an




