Solilokui

Jokowi dan Para Jenderalnya [2]: Tentang Prabowo

Maka posisi Prabowo yang diberikan Jokowi dapat dinilai merupakan pertengahan antara era Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Jokowi berupaya mendudukkan rival politiknya, Prabowo, sebagai sekutu, namun meminta loyalitas tanpa syarat. Di lain pihak, Jokowi membiarkan Prabowo meningkatkan performa politiknya, bahkan memberikan dukungan moral agar Prabowo menjadi capres 2024. Toh Prabowo tidak lagi menjadi rival Jokowi dalam Pemilu tersebut.

Oleh    :  Hanief Adrian*

JERNIH– Majunya kembali Prabowo sebagai calon presiden 2019 agak berbeda dengan 2014, karena pencalonannya didorong oleh Ijtima Ulama. Ulama yang berkumpul mendukung pencalonan Prabowo tentu saja adalah para pemimpin massa Aksi Bela Islam 212 dan bersikap oposisi terhadap rezim Jokowi.

Namun dukungan ulama terhadap Prabowo menjadi patah di tengah jalan, karena kemudian Prabowo memutuskan mendukung pemerintahan Jokowi dan menjadi menteri pertahanan dalam Kabinet Indonesia Maju 2019-2024.

Hanief Adrian

Bergabungnya Prabowo dengan rezim Jokowi pada dasarnya bukan hal yang mengejutkan, mengingat betapa dominannya peranan Prabowo dalam membawa Jokowi dari Surakarta ke Jakarta sebagai calon gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2012. Yang mengejutkan tentu saja bergabungnya Prabowo terjadi setelah Pemilu 2019 diakhiri dengan kerusuhan di depan kantor Badan Pengawas Pemilu pasca demonstrasi para pendukung Prabowo yang menolak hasil Pilpres.

Singkat kata, dengan bergabungnya Prabowo sebagai menteri pertahanan yang berwenang menyusun anggaran dan kebijakan pertahanan, menjadikan Jokowi lebih leluasa menentukan siapa jenderal yang ia percaya memimpin TNI dalam rangka menjalankan wewenang presiden sebagai Panglima Tertinggi. Menhan Prabowo dan Panglima TNI Hadi Tjahjanto berperan sangat besar dalam menjalankan kebijakan Presiden Jokowi selama pandemi Covid-19, terutama dalam hal penggunaan kekuatan militer.

Persekutuan politik Jokowi dan Prabowo juga memudahkan kenaikan karir militer perwira-perwira yang dekat dengan Presiden. Salah satunya adalah Jenderal Andika Perkasa yang juga menantu Jenderal (Hor.) AM Hendropriyono, mantan kepala Badan Intelijen Negara (BIN) era Presiden Megawati. Andika Perkasa pada Pemilu 2014 memiliki jabatan selevel dengan Hadi Tjahjanto yaitu kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Hadi adalah kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara), sebuah jabatan untuk pangkat brigjen. Begitu Jokowi menang, Andika dipercaya menjadi komandan Pasukan Pengamanan Presiden dengan pangkat mayjen.

Karir Andika Perkasa kemudian melesat dengan cepat. Dua tahun setelah menjabat Paspampres ia memperoleh penugasan teritorial sebagai Pangdam XII/Tanjung-pura di Kalimantan Barat selama dua tahun juga. Pada Januari 2018, Andika mendapatkan pangkat Letjen sebagai Komandan Kodiklat TNI-AD, kemudian Juli 2018 menjadi Panglima Kostrad. Hanya perlu 10 bulan bagi Andika untuk mendapatkan pangkat jenderal dengan jabatan Kepala Staf Angkatan Darat menggantikan Jenderal Mulyono pada bulan November 2018, melewati banyak seniornya dari Akmil abituren 1984, 1985 dan 1986.

Dalam tradisi militer, junior melompati banyak seniornya untuk menjadi pejabat tertinggi biasanya disikapi dengan pengunduran diri pada senior karena mereka merasa konyol untuk melanjutkan karir ketentaraan. Tradisi tersebut dijelaskan Mayjen (Purn.) Didi Kartasasmita dalam memoarnya (1993), saat menjelaskan mengapa Letjen Urip Sumohardjo dan para perwira TNI bekas KNIL lulusan KMA Breda mengundurkan diri saat Kolonel T.B. Simatupang dan Kolonel A.H. Nasution, yang mantan perwira KNIL lulusan KMA Bandung,  masing-masing menjadi wakil kepala staf Angkatan Perang dan wakil panglima besar.

Namun tradisi KNIL tersebut ternyata tidak menjadi tradisi TNI. Para perwira tinggi yang dilompati Andika Perkasa dari abituren 1987 tidak mengundurkan diri. Letjen Doni Monardo dari abituren 1985 misalnya, menerima penugasan sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagai perwira TNI aktif hingga pensiun bulan Mei 2021. Teman Andika sesama abituren 1987 yang juga digadang-gadang menjadi KSAD yaitu Letjen Muhammad Herindra yang sejak Maret 2018 menjadi Inspektur Jenderal TNI, pada bulan Oktober 2020 menjadi Kepala Staf Umum TNI untuk kemudian menjadi wakil menteri pertahanan mendampingi Prabowo.

Dalam analisis penulis, Prabowo yang mantan komandan jenderal Kopassus menjadi jangkar bagi para perwira tinggi seperti Andika Perkasa, Doni Monardo dan Herindra yang memang berasal dari korps baret merah tersebut. Para perwira baret merah, terutama yang pernah bertugas di Surakarta, nampaknya memiliki karir moncer dalam pemerintahan Jokowi. Sebut saja mantan dandim Surakarta saat Jokowi menjadi wali kota, dan danrem Warastratama (meliputi eks-Karesidenan Surakarta), Mayjen Widi Prasetijono–sekarang panglima Kodam IV/Diponegoro. Karir abituren 1993 dan mantan danjen Kopassus diperkirakan akan semakin lancar jika Presiden baru meneruskan segala rancangan rezim Jokowi.

Bergabungnya Prabowo dalam pemerintahan Jokowi memang memberi warna berbeda. Di antara ketua-ketua umum partai politik pendukung pemerintahan Jokowi, hanya Prabowo yang terang-terangan berniat menjadi capres dalam Pemilu 2024 tanpa disandera kasus hukum apapun. Dalam kasus penculikan aktivis 1998, Prabowo nampak sekali tidak tersandera dan dengan tenang mendeklarasikan pencalonannya pada akhir tahun 2022.

Walaupun beberapa kebijakan Prabowo sebagai menteri pertahanan nampak berbeda dengan menteri lainnya, Prabowo menunjukkan loyalitas tanpa syarat kepada Presiden Jokowi. Jika jenderal purnawirawan yang menjadi, kemudian diganti, seperti Menteri Agama Jenderal Fachrul Razi dan Menteri Kesehatan Letjen (Purn.) Terawan Agus Putranto, kedudukan Prabowo sama sekali tidak terganggu.

Dalam tradisi politik pemerintahan, jabatan menteri pertahanan memang sangat penting, karena jabatan tersebut termasuk dalam triumvirat menteri pembantu Wakil Presiden jika Presiden berhenti, meninggal dunia atau berhalangan tetap. Pada saat pemerintahan Indonesia menganut sistem parlementer, beberapa perdana menteri merangkap jabatan menteri pertahanan, seperti Amir Sjarifuddin, Mohammad Hatta dan Djuanda Kartawidjaja.

Pada era Demokrasi Terpimpin, jabatan menteri pertahanan dipegang oleh KSAD Jenderal A.H. Nasution. Jenderal Nasution menjadi menteri pertahanan sebagai bentuk persekutuan Presiden Soekarno dengan militer, khususnya Angkatan Darat, yang mendukung penuh Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tentang pemberlakuan kembali UUD 1945. Ironisnya, Jenderal Nasution ternyata paling sering mengkritik kedekatan Presiden dengan PKI dalam poros politik Nasakom. Walaupun kemudian Jenderal Nasution ‘ditendang ke atas’ sebagai menteri koordinator pertahanan keamanan merangkap kepala staf angkatan bersenjata (Menko Hankam/Kasab) tanpa jalur komando ke pasukan,  dan digantikan oleh Mayjen Ahmad Yani, ia tetap menjaga sikap kritisnya kepada Bung Karno.

Alhasil, setelah G-30-S, di mana Nasution menjadi target dan lolos, sementara Jenderal Yani dan koleganya tewas, panglima Divisi Siliwangi pertama itu paling keras dalam sikap mendorong pembubaran PKI dan mengadili Presiden Soekarno yang ia duga terlibat dalam G-30-S.

Hubungan presiden dan menteri pertahanan era Demokrasi Terpimpin ini mungkin menjadi alasan mengapa pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto menunjuk perwira-perwira yang berasal dari suku minoritas, seperti Maraden Panggabean dari suku Batak dan M. Jusuf dari suku Bugis, atau sosok low-profile seperti Poniman sebagai menhankam. Sosok seperti Benny Moerdani dan Edi Sudradjat justru merupakan upaya penyingkiran mereka yang kritis terhadap bisnis anak-anak Soeharto, karena peranan menhankam terbatas pada penyusunan kebijakan pertahanan saja.

Maka posisi Prabowo yang diberikan Jokowi dapat dinilai merupakan pertengahan antara era Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Jokowi berupaya mendudukkan rival politiknya, Prabowo, sebagai sekutu, namun meminta loyalitas tanpa syarat. Di lain pihak, Jokowi membiarkan Prabowo meningkatkan performa politiknya, bahkan memberikan dukungan moral agar Prabowo menjadi capres 2024. Toh Prabowo tidak lagi menjadi rival Jokowi dalam Pemilu tersebut.

Prabowo bahkan berkomitmen akan melanjutkan program-program strategis Jokowi seperti pembangunan IKN Nusantara dan kereta cepat. Dalam satu siniar, Prabowo bahkan mau mendiskusikan siapa saja orang yang akan ia tunjuk sebagai menteri bersama Jokowi, sementara Ganjar Pranowo tidak dapat membuka nama-nama tersebut karena terikat kontrak politik dengan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati. [Bersambung]

*Pengamat Politik IndeSo (Independent Society), mahasiswa S2 Ilmu Politik FISIP UI

**Solilokui adalah ruang opini pribadi para penulis, tak selalu sejalan dengan kebijakan redaksi.

Back to top button