SolilokuiVeritas

Kebakaran Depo Pertamina Plumpang: Anies dan Kedunguan Para Pencari Kambing Hitam

Cerita ala fabel Aesop itu segera melintas di benak seiring insiden kebakaran Depo Pertamina Plumpang. Karena tiba-tiba saja ada kelompok yang alih-alih mencari penyelesaian solutif dengan rasional dan bertanggung jawab, malahan mengambinghitamkan orang. Anies dalam kasus itu.

Oleh   : Widdi Aswindi

JERNIH–Cerita di bawah ini mungkin dari kumpulan fabel Aesop, mungkin pula bukan, alias Aesop KW yang jangan diartikan karamallahu wajhah. Alkisah, suatu saat  rimba raya diserang berbagai wabah penyakit, krisis, dan bencana. Hujan tak pernah datang, banyak binatang kelaparan dan mati.

Peduli akan keadaan, Singa sang raja rimba mengumpulkan para penasihatnya, harimau, gajah dan kambing yang mewakili rakyat kecil. Sang Singa bicara sambil terharu, “Saya kira bencana yang menimpa negeri ini karena kesalahan saya. Saya terlalu rakus memakan sesama satwa. Tuhan tidak senang kepada saya.” Semua yang hadir terharu, apalagi ketika raja meneteskan air mata.

Widdi Aswindi

“Tidak Baginda,”kata harimau. “Baginda tidak salah. Tuhan memang telah menakdirkan baginda memakan sesama satwa. Sayalah yang salah. Saya sering makan ternak-ternak.” Namun yang lain berkata, harimau tak salah. Tuhan, kata mereka,  memang sudah menakdirkan harimau untuk makan ternak-ternak itu.

“Mungkin sayalah yang paling banyak dosa. Karena tubuh saya besar, ke mana pun saya lewat, saya menghancurkan lingkungan. Saya menginjak binatang-binatang kecil, membuat mereka tidak berkutik,” kata gajah. Tapi perkataan gajah juga dibantah.

Giliran kambing yang bicara. “Baginda, sayalah yang salah. Saya pernah mengintai kebun orang karena kelaparan. Lalu saya mengambil sebagian rumput yang mencorong keluar dari pagar rumah orang itu.” Ajaib! Semua hewan sepakat bahwa yang salah adalah kambing. Akhirnya kambinglah yang dikorbankan demi menyelamatkan dunia hewan.

Cerita itu segera melintas di benak seiring insiden kebakaran Depo Pertamina Plumpang. Mengapa melintas kembali dari lokus otak belakang saya yang menyimpan memori, bahkan ingatan masa kecil? Karena tiba-tiba saja ada kelompok yang alih-alih mencari penyelesaian dengan rasional dan bertanggung jawab, malahan mengambinghitamkan orang. Anies dalam kasus itu.

Padahal, dari sekian pemberitaan pun telah jelas, ini bukan kebakaran akibat korsluiting yang disebabkan warga. Yang terjadi adalah kebakaran berulang di Depo Pertamina karena kelalaian korporasi tersebut, dan posisi warga hanyakah menjadi korbannya.

Saya tak ingin berpanjang-panjang dengan mempertanyakan mengapa Anies, dan bukan Pertamina—di mana Ahok adalah komisaris utamanya—yang menjadi fokus perhatian para buzzer. Kita telah tahu sama tahu, jadi buat apa membincangkannya? Yang jelas, Pertaminalah seharusnya yang kita pertanyakan.

Mengapa? Paling tidak karena ini bukan kebakaran pertama yang menimpa depo mereka. Bahkan di Plumpang itu.

Catatan seorang netizen yang dua hari lalu tulisannya viral, Alex Wibisono, meledak dan terbakarnya fasilitas Pertamina tidak hanya bukan hal baru di negeri ini, melainkan telah nyaris biasa. Pada 9 April 2020, sumur di Proyek Pengembangan Gas Jawa (PPGJ)  Central Prosesing Plant (CPP) Gundih, milik pertamina yang berlokasi di Cepu, meledak.

Pada 1 Juni 2021, kilang minyak unit IV Pertamina di Cilacap terbakar. Pada 16 November 2021, kilang itu terbakar lagi. Pada 29 Maret 2021, kilang minyak di Refinery Unit Balongan juga terbakar. Setahun kemudian, 4 Maret 2022, kilang Pengolahan Minyak Balik Papan 4, sami mawon, jadi mangsa api. Pada 15 Mei di tahun yang sama, terjadi lagi kebakaran untuk kedua kali. Lihat, selama dua tahun saja ada enam kebakaran yang terjadi di fasilitas Pertamina. Apa saja kerja mereka?

Korporasi tersebut juga telah lama lalai dalam perencanaan dan konstruksi dengan fakta tidak adanya Buffer Zone (kawasan penyangga) di wilayah itu untuk menjamin keamanan masyarakat. Jika memang Buffer Zone menjadi prasyarat keselamatan, mengapa Depo Plumpang bisa terbangun tanpa adanya buffer? Bukankah Pertamina mengelola uang triliunan rupiah, yang bisa digunakan untuk menjamin keselamatan warga alih-alih, misalnya, menggemukkan kesejahteraan para direksi dan komisarisnya?

Fakta tersebut jelas sangat ironis dihadapkan dengan melaratnya kondisi masyarakat—tidak hanya warga kawasan Plumpang—akibat pencabutan subsidi BBM, sementara dengan banyaknya kejadian kebakaran pada fasilitas Pertamina, korporasi itu seolah woles saja membiarkan sekian banyak kekayaan negara terbakar menjadi abu.

Seharusnya bencana yang berulang-ulang itu membuka mata pemerintah, c.q. Kementerian BUMN. Mengapa mereka lebih asyik mengurusi pungli di toilet SPBU, misalnya, dibanding menjaga hal-hal buruk seperti kejadian di Plumpang itu, tidak lagi terjadi.   

Posisi Anies

Oh ya, begitu kebakaran yang sampai kemarin mencatatkan tewasnya 19 warga tersebut terjadi, kita tahu yang hingar-bingar di media sosial sebagai fokus para buzzer adalah menyalahkan Anies. Mereka menyalahkan Anies yang memberikan IMB untuk rumah warga Plumpang tersebut.

Padahal, mempertanyakan mengapa mereka diberi IMB jelas-jelas wacana diskriminatif. Jelas-jelas warga Tanah Merah itu ber-KTP DKI Jakarta. Tahun 2012, Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta menerbitkan KTP untuk para warga yang tidak punya tempat tinggal resmi. Mengapa “tidak resmi”? Karena rumah mereka tidak ber-IMB, yang dalam bahasa birokrasi pemerintah adalah illegal.

Karena mereka ber-KTP DKI Jakarta, sebagai pimpinan pemerintah DKI Anies tentu saja  harus layanan layaknya kepada warga DKI Jakarta lainnya. Warga ber-KTP DKI Jakarta itu butuh listrik, butuh air bersih, butuh layanan administrasi dan sebagainya. Dengan tinggal di kawasan sengketa yang belum tuntas dan tanpa kejelasan status tempat tinggal, mereka tidak bisa mendapatkan layanan pemerintah daerah.

Sebagai jalan keluar, Anies menerbitkan “IMB Kawasan Sementara”, satu RT satu IMB. Dengan IMB Kawasan Sementara itu mereka berhak menerima layanan dari Pemprov DKI. Itu sampai sengketa tanah mereka tuntas di pengadilan dan mereka mendapat kepastian hukum.

Satu hal yang harus dimengerti para buzzer, pemberian IMB tersebut sah dan legal. Kebijakan itu sesuai dengan peraturan peraturan perundang-undangan (Perda No 7 tahun 2010 tentang Bangunan Gedung, Pergub DKI Nomor 118 Tahun 2020 tentang Izin Pemanfaatan Ruang dan Pergub DKI Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang). Di samping itu Pertamina pun tidak memiliki bukti kepemilikan terhadap lahan yang diklaim menjadi asset miliknya itu.

Lainnya, kalau para buzzer itu mulai bersikap adil sejak dari pikiran, pemberian IMB Kawasan Sementara itu sangat manusiawi dan berkeadilan. Selama puluhan tahun warga setempat hidup kurang layak akibat dari terbatasnya layanan publik yang terganjal oleh status sengketa mereka. Pemberian IMB Kawasan sementara jelas merupakan ‘jalan tengah terbaik’, yang memberikan warga legalitas terhadap hak bermukim tanpa menghilangkan kepemilikan negara terhadap lahan. Bagaimana pun pada prinsipnya land rights dan development rights adalah hal terpisah dan tidak harus dipertentangkan.

Dengan legalitas tersebut kini warga mendapatkan akses layanan publik seperti air bersih, sanitasi, perbaikan jalan, dll, sehingga kehidupan merreka jauh lebih layak. Legalitas itu pula yang memungkinkan pemerintah dapat bekerja lebih efektif dalam melakukan penataan kawasan. Bukankah APBD dan APBN hanya bisa digelontorkan kepada objek-objek pembangunan yang legalitasnya jelas?

Dengan kata lain, apa yang dilakukan Anies jelas sebuah langkah solutif.  Bisa juga, misalnya, Pertamina memindahkan mereka dengan ganti rugi yang layak.  Tetapi kan itu tidak terjadi.

Hok, kemane aje Ente?

Yang juga menjadi perhatian netizen selama pemberitaan Depo Plumpang itu bergulir adalah pertanyaan, kemana saja Ahok? Sebagai komisaris utama Pertamina dan mantan gubernur DKI Jakarta, dia kok memilih ngadem dibanding—paling tidak—menyatakan perhatian kepada warganya yang tengah terkena bencana?

Bukankah saat ini merupakan momen paling tepat untuk itu, tanpa harus berpikir lebay akan dianggap menggunakan momen yang ada untuk keperluan politik?

Karena tak juga nongol, wajar bila yang banyak dibagi ulang di berbagai grup WA justru berita bernada skeptisisme public, soal gaji yang ia nikmati selama ini. Misalnya berita detik.com tertanggal 25 Agustus 2022, berjudul ”Jadi Komisaris Utama Pertamina, Ahok Digaji Berapa?”

Pada berita itu disebutkan, Ahok sempat mengaku bahwa gajinya di Pertamina jauh lebih besar dari gaji sebelumnya sebagai gubernur DKI Jakarta. Dia menyatakan gajinya di Pertamina besarnya Rp 170 juta per bulan. “Rp 170 jutalah kira-kira,” kata Ahok dalam talkshow live IG TV Mata Najwa yang disiarkan Minggu (16/8/2020).

Di luar itu, ia bisa menerima bonus tantiem, yang kabarnya bisa sampai 50 kali gaji. Ahok saat itu menjawab tak tahu pasti, namun yang dia dengar direktur utama bisa mendapatkan bonus tantiem sampai Rp 25 miliar. “Katanya ya tantiem itu, dulu, Dirut bisa dapat Rp 25 miliar,” ujar Ahok, dalam berita tersebut. Setelah memperhitungkan sekian banyak factor tertentu, detik.com berasumsi bahwa setiap komisaris, termasuk Ahok, mendapat Rp 34,3 miliar per tahun atau sekitar Rp 2,8 miliar per bulan.

Besaran penerimaan seperti itu seharusnya membuat orang tidak tinggal diam. Setidaknya menyatakan keprihatinan, mungkin pula doa. Tidak harus karena peduli, tapi minimal karena tanggung jawab profesionalnya. [INILAH.Com ]

* Widdi Aswindi, praktisi dan pegiat survei publik

Back to top button