Pemimpin feminin, yang penuh ketulusan jiwa kasih pelayanan, pengasuhan dan keadilan,harus mengingatkan tentang “horor dari salah urus kenegaraan” dengan mengajarkan ketidakhormatan dan pembangkangan terhadap elit-otoritas politik yang suka menyulut pertikaian dan menyalahgunakan kekuasaan. Untuk itu, perlu ditumbuhkan semangat kewargaan yang aktif dan kritis.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, untuk bangun negeri di tengah kehidupan yang penuh ketakutan, permusuhan dan nepotisme aji mumpung, karakter kepemimpinan yang tepat harus bisa kurangi watak maskulinitas kependekaran asal bisa berkuasa, digantikan jiwa kepemimpinan yang lebih feminin. Bukan sekadar perempuan, melainkan perempuan atau laki dengan ketulusan jiwa kasih pelayanan, pengasuhan dan keadilan; mengutamakan kebajikan kehidupan ketimbang penghidupan.
Hal itu tersimpul dalam buku “Political Emotions: Why Love Matters for Justice“, karya Martha C. Nussbaum (2013).
Dalam menumbuhkan jiwa kepemimpinan feminin, Nussbaum mengikuti pandangan Johann Gottfried Herder yang mengingatkan perlunya mengupayakan “keadilan universal, rasa kemanusiaan dan nalar aktif” dengan menumbuhkan jiwa damai, altruis dan nalar waras dalam diri warga negara.
Pemimpin feminin harus mengingatkan kengerian “horor peperangan/kekerasan”. Bahwa setiap peperangan/kekerasan, kecuali untuk bela diri, adalah suatu kegilaan tercela, yang menyebabkan kepedihan tak bertepi dan kemerosotan moral.
Pemimpin feminin harus mendidik warga negara untuk mengurangi glorifikasi atas jabatan politik dan kemenangan peperangan/persaingan–yang mengagungkan kemenangan tanpa mempersoalkan kebenaran.
Pemimpin feminin harus mengingatkan tentang “horor dari salah urus kenegaraan” dengan mengajarkan ketidakhormatan dan pembangkangan terhadap elit-otoritas politik yang suka menyulut pertikaian dan menyalahgunakan kekuasaan. Untuk itu, perlu ditumbuhkan semangat kewargaan yang aktif dan kritis.
Pemimpin feminin harus menumbuhkan patriotisme welas asih, dengan menyerukan warga negara untuk dapat mengembangkan dan merasakan potensi kebajikan yang ada pada bangsanya. Energi warga harus diarahkan untuk bisa mencapai kehidupan yang makmur, adil, damai, berprestasi dan bermakna dalam meraih kebahagiaan hidup bersama.
Pemimpin feminin harus bisa menumbuhkan dalam jiwa warga suatu sikap adil terhadap bangsa lain, termasuk sikap fair dalam hubungan perdagangan antarbangsa, sehingga negara miskin tak dikorbankan bagi keserakahan negara kaya. Pemimpin feminin juga harus mengajarkan warga negara untuk bisa mengarungi aktivitas politik bermanfaat secara riang gembira. [ ]