Solilokui

Kesaksian Seorang Penderita Covid-19

Malam-malam setelah ini sepertinya bakalan dinamis. Pasti teriakan dan amukan di tengah hening akan kembali menggelegar. Aku harus bersiap tak bisa tidur tenang.

Tulisan di bawah ini adalah kesaksian, Nina Susilowati, yang tengah dirawat di rumah sakit rujukan karena terpapar Covid.

Karena panjang, kami bagi menjadi tiga tulisan. Semoga menjadi pelajaran bagi kita untuk semakin mawas diri, dan membuka hati bagi orang lain agar kita bisa melewati pandemi ini.

Episode 1

Aku PDP Corona

Berbagi ah. Setidaknya berbagi pengalaman. Saat ini aku sudah dirawat di RS Pasarminggu hari ke 14. Di ruang isolasi dengan pintu selalu terkunci dari luar.

Aku masuk ke RS Pasarminggu berdasarkan rujukan dari RSUD Kebayoran Lama. Hasil Rontgen thorax buruk, batuk kecil, demam lebih dari 38, dan gejala pneumonia. Alhasil masuk ruang isolasi itu.

Di sini malah ketahuan kalau ternyata mengidap kardiomegali. Maklum selama ini mengendalikan tensi dan gula darah keteteran. Jadi ini yang digarap duluan sama pneumonia nya. Klorokuin sempat minum 4 hari saja. Aku sudah swab lewat hidung 2 kali tapi sampai hari ini belum keluar hasilnya.

Sekamaran aku bertiga, satunya sudah pulang karena hasil negatif. Njuk satunya divonis positif kemarin. Pagi ini yang positif baru dipindah ke lantai yang khusus positif COVID-19. Njuk aku sendirian di kamar. Tapi mikir keras, kan sudah dua minggu ini berbagi kamar mandi dengan yang positif.

Personal higienis diri tetap aku jaga selama ini. Hand sanitizer sering kupakai sebisaku. Tapi kok ya tetap deg-degan. Semoga hasil swabku nanti negatif. Doakan ya.

*******

Episode 2

Mau Mengeluh Saat Isolasi? Malu Lah ke Paramedis

Saat pertama masuk ruang isolasi merana banget. Langsung dari IGD, belum bawa persiapan apa-apa. Boro-boro baju ganti, yang ada tinggal air 1/2 botol sedang. Perut sudah keroncongan. Sejak pagi hanya kemasukan sarapan bubur. Di IGD sesiangan. jam 17.00 WIB baru masuk kamar isolasi dan ditinggal.

Jam 19.00 nekan bell mau bilang lapar dan tidak punya makanan. Tapi tidak ada yang datang. Jam 21.00 baru masuk paramedik memberikan konsumsi dan segelas air putih. Sambil bawa tata tertib yang masih ditulis dengan tangan, yang menyatakan kalau paramedik tidak bisa masuk sewaktu-waktu karena keterbatasan APD.

Tambah dirawat di ruang isolasi, setelah beberapa hari rasa bosan menggelegak. Belum lagi jarum tusuk sana tusuk sini untuk ambil darah, cek gula darah, suntikan insulin setiap mau makan. Sementara suntikan vitamin c Dan anti mual dilakukan lewat infus.

Makanan juga njelehi, nasinya lembek banget. Serasa bubur tidak, tapi bentuk nasi sudah tidak kelihatan. Sementara sebelah ada yang dapat kentang dll. Pokoknya nggak enak lah.

Sudah begitu, entah kenapa waktu itu aku tidak juga di swab-swab, padahal sebelah sudah dua kali. Sampai aku sempat mengancam ke suster , kalau sampai besok sore tidak juga di swab aku akan mencari cara untuk kabur. hari berikutnya akhirnya aku di swab, batal kabur deh.

Cuma, sejak ancaman itu, aku jadi mikir keras lagi. Mereka, para perawat, suster, paramedik lain seperti petugas lab, sudah memenuhi tugas dengan baik. Mereka merawat kami sambil was-was tertular. Beberapa pas awal di isolasi bahkan aku merasakan mereka gemetaran. Bisa jadi karena takut tertular, tapi bisa jadi mereka kedinginan juga karena setiap masuk dan keluar tiap kamar dirinya disemprot desinfectan. Melas.

Belum lagi, mereka itu tidak boleh pulang. Kalau pulang berpotensi menularkan Covid ke keluarganya. Yang ada, petugas medis ini juga tersandera di hotel yang disediakan khusus untuk mereka.

TIDAK BOLEH PULANG. Catat itu!

Sampai kapan? Sampai embuh. Bisa jadi sampai pandemi berlalu. Sedangkan aku, anggap aku positif tapi survive, paling lama aku hanya sebulan di ruang isolasi. Selanjutnya pasien yang sudah boleh pulang, diminta nambah isolasi mandiri 14 hari di rumah masing-masing.

Betapa paramedik ini telah mengorbankan waktunya tanpa batas. Bahkan menjudikan nyawanya demi merawat pasien suspect yang positif Covid.

Pas ngobrol sama mereka ditengah visit singkat saat mengukur tensi darah dan suhu badan, teridentifikasi: ada yang meninggalkan anaknya usia 6 bulan, padahal baru menyusui. Ada penganten baru dan terpaksa ninggal pasangan. Ada yang meninggal anak-anaknya dengan orang tua.

Sekali lagi, mereka tidak bisa pulang sampai entah kapan.

Jadi, aku menyesal banget saat itu mengancam dengan suara agak keras hanya soal swab yang tidak dilakukan. Mengeluh kebanyakan obat. Mengeluh banyaknya jarum yang nyubles-nyubles awak. Mengeluh sekedar nasi lembek. Kok jadi malu ati sendiri.

Maafkan aku mbak dan mas perawat RS Pasarminggu.

Sudah itu hatiku jadi miris dengar mahasiswa nyuara hotel bintang 5 berlebihan untuk istirahat para tenaga medis ini. Nggak mikir apa mereka, kalau yang tersedia dan bersedia menampung ya hotel itu. Nggak mikir apa mereka bahwa paramedis ini mau ngekost saja tidak ada yang menerima, ditolak dimana-mana. Sementara kalau pulang ke rumah tetangga pada curiga dan nolak-nolak juga?

Atau, bagaimana kalau kost para mahasiswa itu sementara diberikan ke paramedik, dan jadikan mahasiswa sebagai tenaga sukarela merawat pasien Covid. Aku kok penasaran sikap mereka kalau diterapkan role playing itu. Bersediakah?

*******

Episode 3

Horor Tadi Malam

Jam 20.00 baru saja lewat, ketika tetiba sebelah kamar ada yang teriak-teriak. Apa yang diteriakkan tidak terlalu jelas. Maklum, kamar isolasi cukup rapat. Nyaris tidak ada udara bebas keluar masuk karena ruangan berAC.

Tak berapa lama terdengar suara beberapa suster merespon dari luar kamar, seperti menyuruh duduk, jangan ini, jangan itu, asli tidak kedengaran jelas artikulasinya dari kamarku. Cuma, heboh banget.

Tak lama terdengar pintu dibuka, dikunci kembali, dan suara berlarian menjauh. Rupanya para suster mengeluarkan satu pasien yang ketakutan, mengunci kamar itu kembali dan langsung kabur semua karena tidak ada satupun yang mengenakan APD.

Kudengar dari jauh mereka minta pasien yang dikeluarkan untuk tidak beranjak dari tempatnya sampai mereka siap. Siap pakai APD. Bukan persoalan sederhana APD ini. Dari baju, sepatu khusus, google dan perisai muka.

Saking penasaran, aku mengintip dari balik kaca pintu. Kulihat perempuan muda duduk di lantai sambil nangis. Usianya tak lebih dari 20 tahun. Di tangannya selang infus, kulihat sudah mulai memerah separuh selangnya karena darahnya naik. Melas lihat dirinya ketakutan. Badannya gemetar. Dadanya mringkus. Bibirnya tak lama mengundang suster, lirih.

Sepertinya dia panik melihat selang infusnya memerah.

Untung tidak berapa lama ada perawat laki-laki yang sudah ber APD datang. Kulihat dari balik kaca dia menginterogasi gadis itu. Kemudian masuk kamar sebelah. Terjadi semacam dialog, dan kemudian tindakan. Agak heboh di ruangan itu. Tapi kemudian menjadi tenang. Sepertinya mas perawat melakukan tindakan seperlunya agar dua pasien kamar sebelah menjadi terkendali.

Ruangan luar kudengar kemudian disemprot desinfectant. Dan suster/perawat kembali masuk ke pos mereka.

Selesai? TIDAK!!

Malam itu menjadi cukup panjang. Suasana tenang segera pecah dengan teriakan panggilan: “Suster…!! Susteeeeeer..!!”

Teriakan berulang terus, sesekali ditingkahi gebrakan-gebrakan. Aku menduga pasien itu diikat ke tempat tidurnya dan meradang.

Dhuh penasaran betul, ada apa sebenarnya. Akhirnya saat visit perawat jam 23.00 malam aku mendapat jawaban.

Kamar sebelah dihuni oleh dua orang perempuan muda. Yang teriak-teriak itu rupanya punya delusi kalau pasien satunya punya pisau dan mendekatinya. Itulah pangkal kehebohan. Jadi dia mengejar pasien satunya yang jadi ketakutan luarbiasa, dan itulah yang membuat perawat mengeluarkan dulu pasien tertuduh bawa pisau ini, meski kemudian mereka kabur untuk ber APD.

Benar dugaanku. Pasien delusi ini kemudian diikat di tempat tidurnya. Dan pasien yang semula kulihat ndeprok di luar, kemudian dimasukkan lagi. Pintu pun kembali dikunci.

Kasihan teman-teman perawat. Dapat momongan baru yang perlu perhatian sangat khusus seperti ini.

Malam-malam setelah ini sepertinya bakalan dinamis. Pasti teriakan dan amukan di tengah hening akan kembali menggelegar. Aku harus bersiap tak bisa tidur tenang. Semoga tidak berkepanjangan. Daripada tensiku naik lagi.

*******

Episode 4

Pindah Lantai

Saat masuk rawat inap pertama di RS Pasarminggu aku dibawa ke lantai 9. Satu ruangan bertiga, perempuan semua. Yang lain lumayan pendiam, sibuk dengan diri mereka sendiri. Tapi tak lama kami saling kenal nama, meski kemudian diam-diaman lagi. Sebut saja mereka A dan B.

Si A rupanya terpaksa meninggalkan bayinya karena semua gejala covid muncul. Aku lihat dia sering memompa ASI nya. Aku juga memperhatikan dia video call dengan anak-anaknya. Terbayang penderitaannya harus meninggalkan bocah-bocah apa lagi masih ada yang seharusnya nenen, di rumah. Aku lebih bisa berkomunikasi dengan A ini karena barengan masuk IGD dan bed kami bersebelahan.

Sementara B adalah istri pekerja kapal pesiar. Hanya itu yang aku tangkap dari pembicaraannya dengan perawat. Selebihnya aku buta karena tidak banyak berkomunikasi dengannya.

Hanya sehari di lantai 9, sorenya aku dan A dipindah ke lantai 10. Deg-degan dong. Kenapa dipindah. Jangan-jangan kami dicurigai benar ke arah covid. Saat aku tanya ke perawat kenapa kami dipindah, dia diam seribu bahasa. Dia menyibukkan diri mengemasi barang-barang kami. Kami didudukkan di kursi roda. Barang kami pangku dan kami berdua didorong menuju lift.

Proses pindah lantai ini seru.

Mari aku gambarkan layout lantai itu sejauh tangkapanku. Lantai 9 ini terbagi atas 2 kelompok ruangan. Sebut saja Sayap Barat dan Sayap Timur. Antara keduanya inilah terletak lift. Kalau tidak salah ada 5 lift. Empat lift saling berhadapan, dan lift ke 5 terpisah. Antara Lift dengan Sayap Barat dan Timur dibatasi pintu, yang meskipun transparant karena pakai kaca, tapi cukup menutup rapat batas ruang.

Kursi roda kami berdua dari SayapTimur. Pas mau buka pintu menuju lift, security yang berada di bagian lift berteriak supaya perawatan yang mendorong kami untuk menunggu. Rupanya ada orang keluar dari lift akan berurusan di lantai itu. Security, yang memang tidak menggunakan APD segera mengarahkan orang itu masuk dulu ke pintu emergency/exit tangga. Setelah itu security masuk ke Sayap Barat jadi tetap bisa melihat kami dari balik kaca.

Ini gambaran situasinya:

“Stop, ada yang keluar dari lift!”. Suara langkah berderap, bergegas dan pintu terbuka dan tertutup lagi.

“Oke, sudah. Silakan keluar…!”

“Pakai lift berapa?”

“Lift 3…!”

Dan barulah kami diperbolehkan keluar dari Sayap Timur menuju lift yang terpisah, untuk ke lantai 10. Semuanya dilakukan dengan cepat, bergegas dan terkesan buru-buru.

Hadhuh, proses pindah lantai ini menurutku seru. Ada pengaturan. Ada instruksi-instruksi yang harus diikuti, supaya meminimalkan paparan. Teriakan-teriakan security mengatur flow lalu lintas kami. Instruksinya disampaikan tegas. Mendebarkan.

Saat di lift itulah pertanyaanku dijawab oleh perawat. Bahwa yang dipindahkan ke lantai 10 adalah yang lebih stabil kondisi kesehatannya. Lega rasanya.

Di lantai 10, aku dan A dimasukkan ke kamar yang berbeda. Dia di kamar 1001, sementara aku masuk kamar 1002. Di ruangan baru inilah aku nanti bertemu dengan roommate yang luarbiasa. Kisah berlanjut.

******

Ya Allah.. dua kematian di depan mataku…

*gemeteran belum bisa cerita *

Saat ini di ruang isolasi, aku ditinggal dengan dua jenazah di depanku.

Menyaksikan mereka sakaratul maut dalam waktu berdekatan itu sesuatu banget.

*Gemeteran… * [bersambung]

Back to top button