Ketika ‘Homeless Epidemic’ Menyerbu Amerika
Ketika persoalan itu kembali diangkat ilmuwan politik Michael Harrington dalam bukunya “The Other America” pada 1962, kita tahu, Presiden John F. Kennedy terkesan, hingga merekrutnya untuk programnya, “Perang Melawan Kemiskinan.” Namun bukti menunjukkan, kemiskinan itu jauh lebih licin, liat dan kuat, ibaratnya immortal, dibanding mobster sekaliber Al Capone sekali pun.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Jika akhir-akhir ini Anda sempat menjelajahi Amerika Serikat, dan menemukan tenda beraneka warna memenuhi pinggiran jalan, taman-taman atau lahan kosong yang ada, percayalah, isinya bukan anak-anak muda penyuka alam yang lebih cinta matras dan alam terbuka dibanding rumah yang kokoh menjaga. Mereka para gelandangan tak berumah alias tuna wisma, setelah kata penuh eufimisme itu dikampanyekan untuk memaksa kita menggunakannya.
Keberadaan mereka nyaris merata di semua negara bagian, meski California, New York, Florida dan Ohio disebut-sebut memiliki angka yang lebih besar dibanding rata-rata. Berapa banyak gelandangan Amerika saat ini? Susah untuk menjawabnya, apalagi dihadapkan dengan memburuknya perekonomian AS—dan global—saat ini. Sebagai gambaran, data World Population Review mencatat lebih dari setengah juta orang di AS menjadi gelandangan.
California menjadi negara bagian yang paling banyak memiliki tunawisma. Di wilayah itu mereka yang tergolong gelandangan mencapai angka resmi 151.278 orang. Angka tersebut setara dengan seperlima dari total populasi gelandangan di AS.
New York menjadi negara bagian kedua dengan jumlah gelandangan tinggi, yakni mencapai 91.271 orang. Sementara itu, Florida menjadi negara bagian ketiga dengan jumlah gelandangan 27.487 orang.
Tidak berumah artinya kongruen dengan buruknya kondisi kesehatan. Beragam penyakit yang datang seiring cuaca, hujan dan panas, membuat para tunawisma ambruk satu persatu. Harian Inggris, The Guardian, selama enam bulan pertama tahun ini telah sekitar 500 gelandangan meninggal dunia hanya di Phoenix, Arizona. Sementara data lain menunjukkan, 40 persen dari orang-orang yang meninggal akibat cuaca panas tahun lalu, adalah gelandangan. Secara statistika, sebuah laporan mengatakan setidaknya 21 orang tak berumah meninggal setiap hari di Amerika Serikat.
“Ada saat-saat Anda akan terus-menerus kedinginan. Apa pun yang Anda lakukan untuk tetap hangat, gagal total,” kata Tanya Myers, 47, tunawisme yang tinggal di sebuah area perkemahan di Los Angeles, bersama suami dan putranya yang berusia 21 tahun. “California dikenal di seluruh negeri sebagai ‘tanah sinar matahari’ dan orang-orang masih percaya tidak ada hujan di sini. Tapi itu artinya, kondisi bisa berubah dari sangat panas hingga sangat dingin di sini.”
Namun yang lebih memilukan adalah fenomena tunawisma siswa. Artinya, anak-anak sekolah yang karena hal-hal yang menimpa keluarganya—ekonomi terutama, tiba-tiba menjadi tunawisa. “Angkanya terus meroket,”kata Sandra Plantz, karyawan administrasi sebuah sekolah menengah di Gallia County, Ohio, yang telah mengabdi lebih dari 20 tahun.
Kepada The New York Times Sandra Plantz mengatakan, pada tahun kedua dirinya bekerja, ia mencatat ada 40 siswa tunawisma. Tahun berikutnya berlipat ganda menjadi 80, dan jumlahnya telah bertahan antara 150 dan 200 sejak saat itu. “Itu kira-kira enam persen dari total populasi siswa Gallia, dan lebih dari dua kali rata-rata nasional,”kata Plantz. Asisten Direktur Program Pemuda Rentan untuk Departemen Pendidikan Ohio, Valerie Kunze, mengatakan, 1,8 persen siswanya mengalami tunawisma pada tahun ajaran 2019-20, jumlah yang tampaknya lebih sedikit dibanding realitas yang terjadi. Angka di wilayah lain, di Montana, misalnya, pada tahun 2018 mengalami peningkatan 145 persen dalam jumlah siswa tunawisma.
“Saat itu,”kata Plantz, “Sopir bus sekolah melaporkan banyak siswa tak lagi berada di tempat mereka ketika dijemput, tanpa kejelasan pindah kemana. Ketika sekolah ditutup selama COVID, sebuah survei nasional tentang hubungan McKinney-Vento yang dilakukan oleh School House Connection dan University of Michigan pada tahun 2020 memperkirakan sekitar 420.000 siswa tunawisma menghilang begitu saja, tanpa jejak, tanpa kejelasan untuk diberikan bantuan. Selama waktu pandemic COVID, 2020, Departemen Pendidikan (DOE), menyatakan bahwa 1,4 juta anak usia sekolah sebagai tunawisma.
Pemerintah AS sendiri berkilah, telah banyak yang mereka lakukan untuk mengatasi persoalan itu. Yang jelas, mereka telah menganggarkan dana besar untuk itu. Sebagai contoh, tiga lembaga di Los Angeles County, yang bertanggung jawab untuk mengurangi tunawisma di LA mengembalikan sekitar 150 juta dolar AS dana hibah federal antara 2015 dan 2020. Atau Kota Nashville, Tennesse, yang tahun ini menganggarkan 50 juta dollar AS untuk mengatasi tunawisma. Artinya, bila hanya untuk satu negara bagian saja dana yang dikembalikan sebesar itu, kita dapat mengira-ngira jumlah riil dana pemerintah AS—negara dengan 50 negara bagian—yang dikucurkan untuk menghabisi persoalan ini.
Solusi lain, meski sementara, pemerintah federal dan setempat mengumpulkan mereka di area luas dan membiarkan para tunawisma ini hidup berkemping laiknya summer camp. Camp Laykay Nou, sebuah perkemahan tunawisma di Philadelphia, serta San Rafael Service Support Area (SSA) yang baru dibuka Juli tahun lalu di Marin County, California, adalah dua contoh kebijakan ini.
Persoalannya, area-area itu seringkali bermasalah. San Rafael SSA yang berada di bawah bentang Highway 101, misalnya, menurut wartawan The New Yorker, Jay Caspian Kang,” Secara drastis lebih buruk daripada situs sementara yang dikelola pemerintah lainnya yang pernah saya kunjungi di seluruh California. Pipa ledengnya berbentuk dua pispot; air yang mengalir adalah jenis tempat cuci tangan bekas yang Anda temukan di festival musik atau pekan raya daerah,”tulis dia.
“Setelah sekitar satu jam di SSA, saya bisa merasakan polusi dari asap mobil pada mata dan paru-paru saya,”kata Caspian Kang. Tidak hanya berada di bawah jalan bebas hambatan yang sibuk, tetapi juga berada di sebelah parit drainase busuk yang merupakan rumah bagi tikus “seukuran penyu”.
Alhasil, alasan pemerintah setempat membangun perkemahan itu sendiri sederhana: mengumpulkan para tunawisma di satu tempat, alih-alih mereka menyebar ke taman, trotoar dan jalan-jalan atau jaringan kereta api bawah tanah di seluruh kota!
Kembali jadi ‘negara berkembang’
Oh ya, jangan anggap para tunawisma AS itu hanya berjemur, atau menggelandang dari sat uke lain jalan dari pagi hingga malam tanpa pekerjaan apa pun. Studi tahun 2002 oleh Urban Institute menyatakan, sekitar 45 persen tunawisma dewasa telah bekerja dalam 30 hari terakhir, hanya 14 poin persentase lebih rendah dari tingkat pekerjaan untuk populasi umum.
Namun memang, nasib baik seolah tengah tak melirik.
Bahkan yang ada, AS sendiri kian lama semakin mendekati paria dalam perekonomian global. Tulisan Kathleen Frydl, pengajar di Universitas Johns Hopkins, menyatakan, meski masih menganggap dirinya sebagai “pemimpin dunia bebas,” indeks pembangunan yang dirilis Juli 2022 menempatkan AS jauh di bawah dalam daftar.
Dalam peringkat globalnya, Kantor Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Office of Sustainable Development) menurunkan AS ke peringkat 41 dunia, turun dari peringkat sebelumnya, 32. Di bawah metodologi ini–model ekspansif dari 17 kategori, atau “goal”,dengan banyak di antaranya berfokus pada lingkungan dan kesetaraan–peringkat AS itu terletak di antara Kuba dan Bulgaria. Keduanya secara luas dianggap sebagai negara berkembang.
Yang lumrah akibat sistem kapitalismenya, dari koefisien Gini mereka, ketimpangan pendapatan di AS juga meningkat tajam selama 30 tahun terakhir. Menurut pengukuran Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), AS memiliki kesenjangan kekayaan terbesar di antara negara-negara G7.Sebagaimana diduga—bahkan pernah ditulis cendekiawan W E B Du Bois pada 1899, kalangan tertindas dengan pendapatan buruk di AS itu adalah kaum kulit hitam, persis tulisan Du Bois dalam bukunya, “The Philadelphia Negro.” Ini tentu pula sebuah bom waktu yang lain.
Ketika persoalan itu kembali diangkat ilmuwan politik Michael Harrington dalam bukunya “The Other America” pada 1962, kita tahu, Presiden John F. Kennedy terkesan, hingga merekrutnya untuk programnya, “Perang Melawan Kemiskinan.” Namun bukti menunjukkan, kemiskinan itu jauh lebih licin, liat dan kuat, ibaratnya immortal, dibanding mobster sekaliber Al Capone sekali pun.
Kini, dalam indeks Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang mengukur lebih sedikit faktor daripada indeks pembangunan berkelanjutan, AS menempati posisi ke-21. Bagaimanapun, bila dirata-ratakan dengan menghitung GNP dibagi jumlah penduduk seraya menutup mata akan ketidakadilan dan disparitas pendapatan yang kian jauh melebar, AS masih dikelompokkan sebagai negara maju. Bagaimanapun pendapatan rata-rata per orang yang mencatatkan angka 64.765 dolar AS, dan rata-rata 13,7 tahun masa sekolah, menempatkan AS di jajaran di negara maju. Namun kita tahu, kian lama pemerintah AS menutup mata, poada saatnya bom waktu yang tertanam itu akan tiba-tiba meledak. [dsy—berbagai sumber]