
Dari semua itu, mengalirlah amore patria—cinta tanah air yang tak perlu diteriakkan, karena ia terasa dalam langkah, dalam kerja, dalam dedikasi. Pemimpin pun menjelma penunjuk arah, bukan pemilik arah. Warga menjadi garda, bukan hanya penghuni. Sebab kota bukan sekadar tempat tinggal, tapi tempat menyala—bagi masa depan bersama. Tempat manusia diingat bukan karena gedung yang ia tinggikan, tetapi karena martabat kehidupan yang ia muliakan.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, kota adalah taman peradaban—tempat akal bertemu rasa, logika bersentuhan dengan imajinasi. Namun kota yang hanya dibangun dari batu dan baja akan cepat lelah; ia mungkin bising, tapi terasa sunyi. Ia tampak ramai, tapi miskin makna. Sebab kreativitas, meski tumbuh di denyut urban, sejatinya menyusu pada alam—pada hijau yang menyegarkan, pada tenang yang memberi jeda, pada semesta yang melapangkan batin untuk bernapas.
Kota-kota besar yang mencipta sejarah tahu akan rahasia ini. Mereka tak mengusir pepohonan, tak menutup langit, tak membekap tanah tanpa celah. New York menyimpan Central Park di jantungnya, seperti hati yang menolak membeku. Wina memeluk Wienerwald sebagai tempat berserah dan bersyukur. Tokyo menjaga taman kekaisaran agar warganya tak lupa akan asal-muasal kehidupan.

Sebab kota yang memutus diri dari alam, memutus pula aliran ilham. Tanpa ruang hijau, tanpa tempat menyendiri dan saling menyapa, kreativitas akan layu sebelum sempat mekar. Kota kreatif bukan semata-mata soal industri atau teknologi; ia adalah ruang batin yang diberi bentuk: ruang publik yang mengundang dialog, ruang hijau yang menawarkan jeda. Di sanalah manusia bertumbuh—sebagai warga, sebagai pencipta, sebagai penjaga bumi.
Kota semacam ini menjadi pelabuhan bagi jiwa-jiwa kreatif: mereka yang eksentrik, jenius, gelisah, dan penuh gagasan. Di sana, logika dijalankan bersama etika; estetika hadir dalam keseharian; dan spiritualitas menyala dalam gelap. Literasi bukan sekadar bacaan, tapi cara hidup. Talenta tumbuh karena ada toleransi. Teknologi berpihak karena diarahkan oleh nurani.
Dan dari semua itu, mengalirlah amore patria—cinta tanah air yang tak perlu diteriakkan, karena ia terasa dalam langkah, dalam kerja, dalam dedikasi. Pemimpin pun menjelma penunjuk arah, bukan pemilik arah. Warga menjadi garda, bukan hanya penghuni. Sebab kota bukan sekadar tempat tinggal, tapi tempat menyala—bagi masa depan bersama. Tempat manusia diingat bukan karena gedung yang ia tinggikan, tetapi karena martabat kehidupan yang ia muliakan. Sebab dari nyala itulah, peradaban senantiasa dilahirkan kembali. []