Manakala ‘Majalah Sunda’ Berjihad Melawan Pers Komunis
Ajip Rosidi menghentikan penerbitan Majalah “Sunda” Agustus 1967. Alasannya, Karena surat-surat kabar yang berani dan kritis sudah terbit lagi. Antara lain “Indonesia Raya” (Mochtar Lubis), “Pedoman” (Rosihan Anwar), “Abadi” (Sumarso Sumarsono).
Oleh : Usep Romli H.M.
Kehadiran mingguan Majalah “Sunda” pernah meramaikan khazan pers Jawa Barat pada kurun 1965-1967. Ketika semua media massa nasional “tengkurap” di bawah telapak kaki Partai Komunis Indonesia (PKI), Majalah “Sunda” tampil menyajikan berita yang lain dari yang lain.
Kasus-kasus agresivitas PKI dan ormas-ormasnya, antara lain di Bandar Betsi, Sumut (pembunuhan Pelda Suyono oleh anggota Barisan Tani Indonesia), penyerangan pelatihan Pelajar Islam Indonesia (PII) di Kanigoro, Kediri, Jawa Timur, dll, semua diberitakan oleh Majalah “Sunda”, tanpa tedeng aling-aling. Bukan hanya dalam bentuk ”spotnews”, tapi juga dalam “pojok” yang sinis dan tajam.
Pendiri sekaligus Pemimpin Redaksi dan Penanggung jawab Majalah “Sunda” menyatakan : “Harus berani memuat berita dan pendapat yang tidak akan mendapat tempat pada waktu itu, karena semuanya sudah diintimidasi oleh pers kiri. Pers BPS (Badan Pendukung Sukarnoisme) baru saja dibreidel. Sehingga pers lain yang bukan kiri, bersikap hati-hati dalam menyiarkan berita dan pendapat aagar tidak bernasib seperti pers BPS. Majalah yang kami terbitkan, harus menjadi saluran suara rakyat yang tidak mendapat tempat dalam pers yang ada.” (Ajip Rosidi “Hidup Tanpa Ijazah” 2008, hal.336).
Berbentuk mingguan, Majalah “Sunda” mulai terbit 20 Pebruari 1965, dua pekan sebelum pelaksanaan Konferensi Islam Asia Afrika (KAA) pertama, di Bandung. KIAA merupakan salah satu upaya umat Islam Indonesia dalam menunjukkan kesatuan dan persatuan. Khususnya dalam keadaan “Perang Dingin” antara Blok “Kapitalis Barat”, pimpinan Amerika Serikat dan Eropa, melawan “Blok Komunis Timur” pimpinan Uni Sovyet dan RRC.
Kaitan dengan kasus Kanigoro yang disorot Mingguan “Sunda”, Abdullah Mustappa dalam hasil penelitiannya “Majalah Sunda, Ragam Jurnalistik Sunda Melawan Komunis” (2017), mengutip isi berita Majalah “Sunda” No.1, 20 Februari 1965 (sudah diterjemahkan oleh ybs) : “Apalagi , memang akhir-akhir ini makin banyak bukti dan pertanda di mancanegara, yang menunjukkan prasangka dan itikad tidak baik kepada Indonesia. Memusuhi malah! Begitu pula di Tanah Air banyak kejadian seperti di Jombang, Kanigoro (Kediri), Purwokerto, Kuningan dan lain-lainnya, yang merupakan tantangan bagi umat Islam untuk mengadakan konsolidasi.”
Isi Majalah Sunda berbeda dengan media massa berbahasa Sunda yang sudah atau sedang ada pada waktu itu. Seperti “Mangle”, “Langensari”, “Sari, “Campaka”, yang rata-rata memuat tulisan fiksi dan hiburan. Majalah Sunda lebih banyak memuat beita yang menyuarakan kepentingan umat Islam di tengah gemuruh Nasakom (Nasional, Agama, Komunis). Tapi juga memuat fiksi (cerpen, sajak) yang berbobot sastra. Bahkan memuat ceritera terjemahan karya pujangga Rusia Ivan Turgenev, “Cinta Sejati“.
Namun yang paling menarik dan banyak pembacanya adalah rubrik “Dulugdugdag”. Pojok asuhan Ki Merebot, yang tajam, dan kritis terhadap suatu peristiwa yang tak (berani) dimuat di media lain.
Pojok Majalah “Sunda” no.3, misalnya, memuat hal berikut :
“Masjid-masjid kaum Muslimin Hitam di AS dibakar oleh kaum rasialis.”
Merebot menimpali :“Kalau yang suka merusak masjid, membongkar langgar, mengadu-domba umat Islam dengan alat negara di negara kita, kaum apa ya?”
Pojok Majalah “Sunda” no.5 : “Tanah air amanat Allah…”kata Pahlawan Islam dan Kemerdekaan Bung Karno”
“Karena itu jangan diserahkan kepada yang tak percaya akan Allah,”timpal Merebot.
“Dulugdugdag” Majalah “Sunda” no.9 mengutip perkataan Presiden Sukarno:“Ada orang –orang yang menerima Pancasila, hanya sila-sila yang disenanginya saja sambil mempreteli sila-sila lainnya. Kini ada yang mempraktekkan Nasakom seraya mempreteli Nasakom dari hakikat dan wujud ikatannya.”
Merebot mengomentari : “Hanya tinggal nyanyiannya! Nyanyian lagu Nasakom, prakteknya cuma Kom.”
Majalah “Sunda” hanya terbit hingga September 1965. Kemudian berubah menjadi majalah dua mingguan. Tetap kritis dan tajam, baik terhadap segala tindakan PKI yang offensive-agresif di segala bidang, maupun terhadap Presiden Sukarno yang berkuasa sebagai Pemimpin Besar Revousi (Pimbesrev) dan Presiden Seumur Hidup.
Ketika terjadi tragedi nasional “G-30-S” tanggal 30 September 1965, yang berdampak negatif terhadap kedudukan Presiden Sukarno, Majalah “Sunda” ikut mendegradasi dan melegitimasi sosok Bung Karno dengan tulisan-tulisan informatif, namun sarkastis. Antara lain laporan khusus tentang percakapan Bung Karno dengan Cindy Adam, penulis biografinya, mengangkap sosok Ratna Sari Dewi, istri ketiga Bung Karno.
Dampak tulisan-tulisan itu, selain membawa keberuntungan kepada Majalah “Sunda” yang laku keras, juga mendatangkan kerugian bagi para pengelolanya. Banyak surat protes, yang menganggap Majalah “Sunda” terlalu vulgar mengungkap apa siapa Bung Karno. Semua surat protes itu dimuat, sebagai hak jawab atau koreksi terhadap pemberitaan Majalah “Sunda”.
Ajip Rosidi menghentikan penerbitan Majalah “Sunda” Agustus 1967. Alasannya, Karena surat-surat kabar yang berani dan kritis sudah terbit lagi. Antara lain “Indonesia Raya” (Mochtar Lubis), “Pedoman” (Rosihan Anwar), “Abadi” (Sumarso Sumarsono). Didorong juga keinginan pibadi Ajip yang ingin kembali ke habitat asal, dunia sastra dan budaya (Ajip Rosidi “Hidup Tanpa Ijazah, 2008, hal. 395)
Walaupun hanya tiga tahun, kiprah Majalah “Sunda” sangat fenomenal dalam khaza-nah pers Sunda. Berhasil mengibarkan bendera Islam dan menggaungkan suara umat Islam, serta perlawanan frontal terhadap pers kiri dan PKI. [ ]