Memang Calon Presiden KIB Siapa Lagi Selain Airlangga?
Dengan demikian, meski politik adalah permainan yang cair dengan landasan kuat kepada kepentingan, selama tidak ada—dalam bahasa Sunda—“jurig tumpak kuda” (hal-hal yang extraordinary bin luar biasa), mencapreskan Airlangga adalah hal yang niscaya akan diperjuangkan secara resmi oleh Partai Golkar.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Lain dari koalisi partai lainnya, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) memang tidak butuh-butuh amat untuk mendeklarasikan bakal calon presiden mereka. Apalagi jauh-jauh hari seperti saat ini. Mengapa demikian, hal itu seharusnya sudah bisa diprediksi dari awal oleh publik.
Pasalnya, posisi Partai Golkar dalam KIB begitu dominan dihadapkan kepada dua partai lain yang menjadi mitra dalam kongsi tersebut, PPP dan PAN. Dalam Pemilu terakhir, Partai Golkar mendulang 12,31 pesen suara dan mendapatkan 85 kursi DPR RI. Sementara PAN mengeduk 6,84 persen suara dengan 44 kursi DPR RI, dan PPP dengan 4,52 persen suara dan 19 kursi DPR RI. Jadi jelas, pada koalisi yang sudah memenuhi syarat presidential threshold itu, Golkar punya hak untuk menakhodai.
Benar bahwa keputusan siapa bakal calon presiden telah disepakati akan dimusyawarahkan di antara partai-partai anggota koalisi KIB. Tapi kita semua pun melihat, tidak ada calon potensial lain yang secara elektabilitas maupun popularitas melebihi kader Partai Golkar, Airlangga Hartarto.
Sementara, bukan merupakan rahasia bahwa dalam Munas Desember 2019, segenap eleman Partai Golkar telah mengamanatkan untuk mengusung Airlangga sebagai calon presiden pada Pilpres 2024. Fakta itu berulang kali digaungkan Sekretaris Jenderal DPP Golkar, Lodewijk Freidrich Paulus. Lodewijk selalu mengatakan, dengan partai apa pun Golkar berkoalisi, partainya ingin Airlangga menjadi capres 2024. “Itu amanat Munas. Kita enggak bisa tidak (untuk mengajukan) capres. Itu amanat Munas dan kami di DPR adalah pemegang kursi nomor dua terbanyak,” ujar Lodewijk, di berbagai kesempatan.
Dengan demikian, meski politik adalah permainan yang cair dengan landasan kuat kepada kepentingan, selama tidak ada—dalam Bahasa Sunda—“jurig tumpak kuda” (hal-hal yang extraordinary bin luar biasa), mencapreskan Airlangga adalah hal yang niscaya akan diperjuangkan secara resmi oleh Partai Golkar.
Alhasil, suara-suara yang didengungkan beberapa kalangan ‘pengamat politik’ dan ‘lembaga survey’ bahwa capres KIB bisa pula datang dari luar Partai Golkar, bahkan dari luar koalisi, tampaknya jauh panggang dari api. Bukan untuk itu Partai Golkar membangun KIB. Kalau saja sebagaimana PDIP yang tak harus berkongsi, memagnya buat apa Golkar membangun koalisi? Bahkan, meski bersandarkan kepada pragmatisme Partai Golkar seperti yang kita lihat selama ini pun, peluang masuknya nama lain sebagai capres yang diusung KIB, sebetulnya hampir mendekati mustahil.
Bila selama ini Golkar membiarkan partai-partai yang menjadi mitranya memasukkan nama-nama lain sebagai opsi capres KIB, tampaknya itu hanya karena Golkar melihat Pileg dan Pilpres masih relative jauh. Buat apa membikin kistru di dalam, sementara waktu-waktu riil Pilpres pun belum datang? Misalnya, bila benar, bahwa PAN dan PPP memasukkan nama-nama seperti Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Erick Thohir, sebagai capres, mungkin saja itu pun sekadar test the water. Lain tidak.
Tetapi lain halnya kalau memang ada “jurig tumpak kuda” tadi. Salah satunya, manakala sekian waktu telah berlalu dan elektabilitas calon presiden Golkar tetap memble tak terkerek. Bayang-bayang kekalahan pun telah begitu jelas tergambar di depan mata. Itu saja yang mungkin membuat Golkar bersedia melupakan amanat Munas mereka.
Publik tahu dan fakta pun mengingatkan kita dengan tegas; kelemahan terbesar Golkar adalah bahwa partai itu tak pernah bisa berada di sisi pecundang. Ini partai kaum berhitung yang tak mau mengalami rugi finansial. Kasus Pilpres 2014, dan menguatnya posisi Jusuf Kalla di Golkar pasca-kemenangan Pilpres, menegaskan di dalam Golkar berlaku pemeo kuat bahwa haram kesempatan dibiarkan lewat tanpa segera direbut. Apalagi, saat itu pun Golkar tak bisa disalahkan karena toh Pilpres pun sudah usai dilangsungkan.
Menurut saya, itu pula yang membuat Golkar (dan Airlangga) tetap berusaha mencitrakan kedekatan dengan Presiden Jokowi, sebagaimana pun citra politik Presiden tengah diharu-biru badai seperti saat ini.
Selama hampir satu dekade ini mereka melihat bahwa bagaimana pun massa pro-Jokowi itu nyata ada. Mencitrakan kedekatan dengannya punya peluang untuk menimbulkan simpati dan mudah-mudahan kemudian sikap kalangan itu pada saatnya untuk memilih Airlangga. Itu jauh lebih masuk akal politik dibandingkan dengan memilih berdiri di sisi diametral sembari membangun imaji sebagai anti-tesis Jokowi. Tidak ada alasan pembenar sedikit pun bagi Golkar untuk melakukan itu, meski mereka sadar bahwa massa yang kurang menyukai kepemimpinan Presiden Jokowi pun di publik tak kurang banyaknya.
Jadi wajar manakala para simpatisan Golkar sengaja menguatkan isu tentang besarnya perhatian Jokowi kepada Golkar dan Airlangga pada peringatan HUT ke-58 Partai Golkar yang digelar di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Jumat (21/10/2022) lalu. Fakta yang tidak wajar melihat kebiasaan Jokowi yang umumnya langsung cabut dari lokasi tak lama setelah beliau memberikan kata sambutan.
Yang terjadi di JIExpo Jumat lalu itu memang lain: tak kurang dari 4,5 jam Presiden Jokowi ikut acara dari awal hingga akhir. Presiden juga terlihat berbaur bernyanyi sambil berdiri, ketika grup band Armada menyanyikan lagu ‘Pergi Pagi Pulang Pagi‘ di ujung acara.
Belum lagi Jokowi pun begitu murah hati memberikan sekian banyak pujian bagi Golkar dan Airlangga. “…dari awal sampai akhir istimewa. Pak Airlangga istimewa, Golkar juga istimewa,” kata Jokowi kepada wartawan, usai acara. Sebelumnya, pada sambutan, Jokowi juga menyebut tingginya jam terbang Airlangga. Esoknya, sebagian pengamat di media massa menyatakan itu ‘restu’ Jokowi untuk pencapresan Airlangga. Mungkin saja. Tetapi apa alasannya pula hingga Jokowi harus menolak memberikan restu? [INILAH.COM]