Memoar Masa Muda 1: Victor
Di sela mendengarkan petikan gitar, tiba-tiba saya bersendawa. Gas yang keluar baunya minta ampun. Lebih busuk dari kentut. Teman saya nanya, “Kamu kentut?” Saya menggeleng. Saya tahu, perut saya sudah bocor. Pengetahuan itu saya dapat dari novel Knut Hamsun berjudul “Lapar”, yang tokohnya mengalami perut bocor dan sendawanya bau got.
Oleh : Agus Kurniawan
JERNIH– Saat itu menjelang jam makan siang. Saya benar-benar sudah sangat lapar. Tidak ada apa pun yang saya makan sejak kemarin pagi, atau bahkan sejak kemarinnya — saya lupa persisnya. Saya dari semalam hanya berharap waktu cepat lewat. Tapi melewatkan waktu dengan perut kosong jelas tak mudah.
Saya numpang tinggal di suatu kantor biro iklan kecil di Jalan Tubagus Ismail yang sehari-hari selalu sepi. Maklum, ini bukan kantor yang laris. Keramaian hanya ada kalau ada proyek. Pemiliknya teman baik. Dia membebaskan saya memakai komputer di kantor itu, menerjemahkan buku–proyek satu-satunya yang jadi andalan, yang rasanya gak beres-beres.
Saya sudah terlalu sering ditolong pemilik kantor itu, jadi muskil saya minta tolong lagi, sekalipun hanya untuk pinjam uang buat membeli sebungkus nasi. Di kantor itu saya tinggal bareng seorang karyawan, sekaligus seorang mahasiswa desainer grafis, namanya Victor. Tapi beberapa hari itu dia tidak ke kantor.
Perut saya sudah tak tertahankan sakitnya. Harus ada yang saya lakukan. Jika tidak, mungkin saya akan pingsan. Saya berencana menyambangi tempat kongkow teman-teman saya yang lain di wilayah Sangkuriang. Mungkin mereka ada sedikit makanan yang bisa saya minta. Saya berjalan kaki dengan perut melilit dan badan gemetar.
Di sepanjang jalan tentu saya melewati banyak warung makan. Tapi saya tidak berani melihat atau membayangkan. Itu akan membuat saya makin putus asa. Saya hanya berjalan pelan. Badan saya benar-benar gemetar. Saya tak ingat lagi kapan terakhir makan.
Sampai di Sangkuriang, teman-teman saya juga tidak punya makanan, apalagi uang. Saya mendengarkan salah satu teman, Pak Mono, yang sedang menggitar dan minum teh tawar. Saya ikut minum, sambil melepas lelah. Tapi pikiran terus berputar, “Sanggupkah saya berjalan pulang lagi ke Tubagus?”
Di sela mendengarkan gitar, tiba-tiba saya bersendawa. Gas yang keluar baunya minta ampun. Lebih busuk dari kentut. Teman saya nanya, “Kamu kentut?” Saya menggeleng. Saya tahu, perut saya sudah bocor. Pengetahuan itu saya dapat dari novel Knut Hamsun berjudul “Lapar”, yang tokohnya mengalami perut bocor dan sendawanya bau got.
Tanpa semangat saya berjalan pulang lagi ke Tubagus. Rasanya perjalanan makin berat. Saya sudah tidak lagi mikir makan, karena memang percuma. Yang saya kuatirkan hanya satu, saya pingsan di jalan. Itu bakal memalukan.
Menjelang Isya saya memasuki kantor di Tubagus. Saya tiba-tiba mendengar suara teman baik saya, Victor, “Kamu kemana aja?” Saya tak menjawab pertanyaaannya, tapi balas bertanya, “Kamu punya uang? Aku belum makan dari kemarin.” Victor kaget, “Astaga. Bentar saya belikan soto ya. Kamu berbaring saja.”
Saya akhirnya makan soto, makanan terenak yang saya rasakan saat itu. Victor melihat saya seperti mau menangis. Tapi saya sudah terbiasa dengan situasi seperti itu, bahkan untuk tahun-tahun berikutnya. [ ]