
Kini semakin banyak pihak yang menyebutkan nilai-nilai luhur bangsa ini. Misalnya, kita merupakan bangsa yang pemaaf. Bangsa yang punya solidaritas sosial yang tinggi. Bangsa yang menghargai kebebasan berpendapat. Bangsa yang menganut persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law). Namun, semua penyebutan nilai itu sering hanya untuk kamuflase. Paling tidak untuk membenarkan kepentingan sendiri. Termasuk kepentingan orang yang pernah berkuasa.
Oleh : Ana Nadhya Abrar*
JERNIH– Melalui berita yang disiarkan media pada 29 Agustus 2025, kita bisa menyimak pengakuan Abdullah Mahmud Hendropriyono tentang dalang kerusuhan unjuk rasa di DPR 25 Agustus 2025. Katanya, “Orang yang dari luar. Hanya menggerakkan kaki tangannya yang ada di dalam dan saya sangat yakin bahwa kaki tangannya di dalam ini tidak ngerti bahwa dia dipakai. Tapi pada waktunya nanti harus dibuka.”
Pengakuan Hendropriyono ini mengikuti kebiasaan lama. Yang sudah-sudah. Mencari kambing hitam. Sikap ini muncul biasanya karena: (i) ketidakmampuan mengatasi persoalan, (ii) melindungi kesalahan kelompok sendiri, dan (iii) meyembunyikan kepentingan sendiri. Persoalannya lantas, manakah di antara ketiga motif itu yang terkandung dalam pengakuan Hendropriyono?
Entahlah! Yang jelas, seperti dilaporkan CNN Indonesia, 29 Agustus 2025, tuduhan aksi unjuk rasa di berbagai daerah di Indonesia bukan ditunggangi pihak tertentu. Ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira. Katanya kemudian, “Murni kemarahan publik, pemerintah gagal dalam kebijakan ekonomi. Tidak menjawab soal masalah lapangan kerja, ketimpangan dibiarkan.”
Lalu bagaimana sikap kita sekarang? Sikap yang ideal tentu yang bersumber dari hati nurani kita masing-masing. Artinya, tanyalah hati nurani Anda. Yang benar itu yang mana.
Sementara itu, kini semakin banyak pihak yang menyebutkan nilai-nilai luhur bangsa ini. Misalnya, kita merupakan bangsa yang pemaaf. Bangsa yang punya solidaritas sosial yang tinggi. Bangsa yang menghargai kebebasan berpendapat. Bangsa yang menganut persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law). Namun, semua penyebutan nilai itu sering hanya untuk kamuflase. Paling tidak untuk membenarkan kepentingan sendiri. Termasuk kepentingan orang yang pernah berkuasa.
Kalau memang ada niat untuk mengejawantahkan semua nilai luhur itu, tentu tidak akan ada kekerasan. Tidak akan ada keserakahan, baik ekonomi maupun politik. Tidak akan ada pula kemarahan terhadap penguasa. Namun, hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Semua orang mulai melampiaskan keinginannya sendiri. Mereka yang berduit meninggalkan Indonesia untuk menyelamatkan diri. Mereka yang marah melampiaskan kemarahannya dengan menjarah rumah anggota DPR dan Menteri Keuangan.
Maka kita perlu tafakur sejenak. Merenung dan berfikir secara mendalam tentang reformasi yang terjadi 27 tahun lalu. Sudahkah kita mengamalkan nilai-nilai yang dibawa reformasi itu? Nilai apa saja? Wah, banyak. Meliputi pemerintahan yang bersih dari KKN, penegakan supremasi hukum, kebebasan berpendapat, demokrasi, serta penguatan persatuan dan keadilan sosial. Semua nilai ini bermuara pada pembangunan budaya civil society.
Secara praktis, budaya civil society ini sudah hilang dari bangsa ini. Kekerasan sudah terjadi hampir di seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sulit menemukan keadilan kini. Persamaan kedudukan di hadapan hukum hanya jargon saja. Perbedaan pendapat menjadi barang langka. Perhatian terhadap rakyat kecil seadanya saja. Sebaliknya, perhatian terhadap kroni penguasa jadi semakin besar.
Maka sudah saatnya kembali ke jalan lurus. Menapaki jejak yang sudah ditinggalkan reformasi. Mewujudkan nilai reformasi yang telah diwariskan oleh para pahlawan reformasi. Menyadarkan pemerintah untuk mewujudkan masyarakat sipil yang kuat dan efektif (strong and effective civil society).
Kalau yang terakhir ini memang terwujud, tentu pemerintahan yang kuat dan efektif (strong and effective government) tidak lagi menjadi cita-cita rezim yang berkuasa. Namun, mungkinkah ini benar-benar terwujud?
Selama sepuluh tahun bangsa ini diperintah oleh rezim yang terobsesi dengan pemerintahan yang kuat dan efektif. Hasilnya sudah sama-sama kita ketahui, bangsa Indonesia terperangkap utang luar negeri yang sangat besar. Masyarakat tidak semakin cerdas. Perbedaan pendapat diharamkan. Keinginan penguasa harus selalu diikuti, sekalipun harus menyisakan kepedihan dan kerusakan.
Namun, seperti kata petuah orang-orang tua kita dulu, tidak ada yang tidak bisa kalau kita memang mau berubah. Kita bisa memperkuat civil society kalau kita mau. Kita manfaatkan saja semua fasilitas dan sarana yang ada untuk mencapai kondisi itu. Kita niatkan betul civil society yang kuat mesti menjadi trade mark Indonesia. [ ]
*Guru besar jurnalistik UGM