Solilokui

Menang Ala Antah-Berantah

Esensinya bukan itu. Akan halnya menang, proses menuju kemenangan itu jauh lebih penting. Bukan proses asal atur untuk pokoke menang, tapi proses, yang sportif, jujur, adil dan ksatria. Proses bermartabat dan berkualitas, bukan menang-menangan, apalagi “yang penting menang”, seperti yang tengah terjadi di negeri Antah-Berantah tadi. Apa bangganya menenteng tropi berbasis kemenangan penuh cela?

Oleh     :  Swary Utami Dewi*

JERNIH– Sekadar menang? Inilah yang akhir-akhir ini hadir dalam pikiran saya ketika melihat kecenderungan betapa kemenangan dalam satu kompetisi, apapun itu, dilihat dan dimaknai dari menang belaka. Bahkan, pokoknya harus menang. Celakanya, akhir-akhir ini muncul pula kecenderungan bahwa keharusan untuk menang itu boleh dilakukan dengan segala cara. Pokoke menang…

Di sini, mau tidak mau saya teringat cerita pertandingan di negeri Antah-Berantah.

Konon kabarnya, suatu pertandingan di negeri itu, sudah diatur sedemikian rupa sehingga jagoan sang penguasa negeri kini pulang menenteng tropi juara. Cerita ini mirip takhayul, tapi ada dan sedang banyak diulas di berbagai media Antah-Berantah, dari yang tradisional hingga super canggih.

Kisah negeri ini juga menjadi obrolan hangat-hangat panas, dari pusat negeri hingga pelosok kampung. Dengungnya masih terdengar hingga kini, bahkan kisah ini merambah ke telinga’ berbagai negeri lain. Teriakan protes “menang curang” terus bertabuh, berlomba dengan pekik selebrasi kemenangan sang jagoan. Hore…kita menang.

Saya yang kebetulan tertarik dengan kisah unik negeri Antah-Berantah ini, tiba-tiba teringat akan ajaran seorang guru olahraga, yang merangkap pembina Pramuka, sewaktu saya masih belia. Saya saat itu duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) kelas dua. Ada hal yang sampai sekarang selalu teringat di benak saya, yakni ajarannya untuk menang secara sportif dan ksatria.

Menang itu sepatutnya memang dengan cara baik, yang dilakukan dengan cara adil, jujur dan ksatria. Saya waktu itu terkadang masih bingung memahami apa yang dimaksud dengan menang sportif itu, hingga suatu hari ada latihan lomba lari di sekolah. Guru saya mendiskualifikasi pemenang pertama. Apa alasannya? Karena ternyata ia mencuri start. Belum peluit dibunyikan ia sudah lari satu atau dua detik dibandingkan yang lain. “Itu tidak sportif,” kata beliau. Sang anak yang “menang” itu menunduk malu, lalu meminta maaf.

Dari situ saya mendapatkan salah satu pemaknaan tentang sportif tadi, yakni tidak mencuri start. Dari latihan tanding itu, saya juga melihat bahwa kawan yang semula bertindak tidak fair, ketika ditegur merasa malu, bahkan meminta maaf atas tindakan keliru itu — Rasa malu ini yang  mungkin sudah meredup, bahkan mungkin lenyap di negeri Antah-Berantah tadi.

Guru saya itu juga pernah menjelaskan fungsi wasit dalam suatu pertandingan. Ia menjelaskan bahwa dalam suatu pertandingan wasit sangat berperan penting. Wasit bertugas mengawasi jalannya pertandingan dan menghentikannya, jika terjadi pelanggaran atau gangguan. Wasit juga berhak memberikan sanksi berupa kartu kuning atau merah kepada pemain yang melanggar. Selain itu, wasit tidak boleh berat sebelah atau berlaku tidak adil.

Bagaimana halnya jika wasit berat sebelah dan melakukan beberapa “kebijakan” yang menguntungkan satu pihak yang sedang bertanding? Tentu pertandingan akan menjadi riuh-rendah dan tidak kondusif. Apalagi jika protes terhadap kebijakan wasit tidak digubris, bahkan dianggap angin lalu. Penonton yang kecewa mence-mooh, atau bisa jadi nekad mengintervensi pertandingan. Penonton di pihak sebelah akan sama hebohnya — membela jagoannya yang dpihaki sang wasit. Pertandingan sudah pasti menjadi tidak sehat bagi siapa pun.

Ada lagi yang makin membuat ternganga, yakni ketika penyelenggara pertandingan bahkan sudah menentukan siapa yang harus menang. Di sini mau tidak mau saya teringat cerita pertandingan di negeri Antah-Berantah tadi. Keharusan menang di negeri itu konon katanya direncanakan jauh-jauh hari. Berbagai cara untuk memenangkan sang jagoan dirancang begitu rupa. Penyelenggara bahkan menyiapkan aturan dan anggaran khusus untuk proyek menang ini.

Ada promosi bertebaran di mana-mana untuk sang jagoan, wasit dipengaruhi dengan berbagai cara, sebagian penonton dibayar untuk bersorak-sorai. Para pemain yang bertanding juga tentunya disiapkan untuk tampil memukau. Sesekali beberapa pemain jagoan ini seolah tersandung seperti dijegal lawan. Dan penonton yang menjagokan akan berteriak penuh empati, aduh kasian. Lalu anggota tim yang dijagokan itu segera bangkit untuk “bertanding kembali”, diiringi sorak-sorai para pendukungnya.

Singkat cerita, alhasil walhasil, tim yang dijagokan itu memang menang. Saya membaca kabar itu dari koran Antah-Berantah edisi terkini. Digambarkan bahwa tim juara saling berpelukan, mengeluarkan pekik kegirangan, bahkan beberapa menangis terharu atas “perjuangannya”. Selebrasi dilakukan, pidato kemenangan dari kapten tim diucapkan penuh rasa emosional, dipenuhi keharuan yang mendalam.

Tepuk tangan kemenangan itu terus membahana. Suaranya memenuhi seluruh stadion, bahkan keluar hingga terdengar sampai pasar, terminal, balai desa, kantor pemerintah. Hore, kita menang!

Saya membalik lembar berikutnya dari koran itu dan melihat ada pojok kecil yang memuat komentar seorang pemain bola terkenal dari negeri nyata. “Ada banyak hal yang lebih penting dalam hidup daripada hanya sekadar menang atau kalah dalam permainan” (Lionel Messi).

Ya… Ya… Bukan sekadar menang, bukan pula sekadar kalah. Esensinya bukan itu. Akan halnya menang, proses menuju kemenangan itu jauh lebih penting. Bukan proses asal atur untuk pokoke menang, tapi proses, yang kata guru olahraga saya tadi, sportif, jujur, adil dan ksatria. Proses bermartabat dan berkualitas, bukan menang-menangan, apalagi “yang penting menang”, seperti yang tengah terjadi di negeri Antah-Berantah tadi. Mmmh… Apa bangganya menenteng tropi berbasis kemenangan penuh cela?

Ah, semoga cerita antah-berantah ini tidak pernah terjadi di negeriku, yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila. Semoga. [ ]

* Wakil Sekjen Satupena dan Aktivis Sosial

Back to top button