
Menyimak perjalanan hidup Jokowi sebagai presiden RI selama sepuluh tahun, jejak yang ditinggalkannya jauh dari kebenaran. Tidak jarang dia berbohong demi mewujudkan keinginannya. Sering dia memanipulasi demi memperoleh citra positif rakyat. Padahal citra mengaburkan batas antara perasaan (konotasi) dan pengetahuan (denotasi). Tidak berlebih-lebihan rasanya bila kita mengatakan Hasan dan Ahmad tidak akan menemukan kebenaran pada Jokowi.
Oleh : Ana Nadhya Abrar*
JERNIH– Mantan Kepala Kantor Kepresidenan, Hasan Nasbi, menemui Joko Widodo (Jokowi) di Sumber, Banjarsari, Solo, 26 September 2025. Pertemuan itu, seperti diberitakan media, berlangsung hangat.
Dalam pertemuan yang berlangsung dua jam tersebut, Hasan menerima wejangan penting terkait jabatan barunya sebagai komisaris PT Pertamina (Persero). Dua hari berikutnya, persisnya 28 September 2025, giliran Ketua Harian DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Ahmad Ali, menemui Jokowi di rumahnya. Pertemuan itu tertutup dan berlangsung satu jam. Usai pertemuan Ahmad berkata kepada awak media, “Oh, sama lah, teman-teman ini datang dari daerah ketemu Pak Jokowi. Sebagai rasa respect, kangen. Eh, ya minta nasihat kepada beliau”.
Dua hari berikutnya lagi, pada 30 September 2025, Pengasuh Pondok Pesantren Ngruki, Abu Bakar Ba’asyir, yang mengunjungi Jokowi di kediamannya. Dia konon disambut hangat oleh Jokowi di depan pintu rumah dan keduanya berbincang santai selama kurang lebih 30 menit. Setelah pertemuan, ulama sepuh itu, kata media, menyampaikan nasihat yang wajib dilakukan oleh seorang pemimpin.
Bertolak dari kenyataan ini, tentu timbul pertanyaan, mengapa ketiga tokoh tersebut harus berkunjung ke rumah Jokowi? Apakah mereka tidak sadar, selama memimpin Indonesia Jokowi sering melakukan kesalahan? Apakah mereka lupa dengan kinerja Jokowi yang jelek?
Memang ketiga tamu Jokowi di atas membawa agenda yang berbeda. Hasan dan Ahmad minta nasihat kepada Jokowi. Abu malah menasihati Jokowi. Namun, ketiganya bisa disebut sebagai “pemuja” Jokowi secara formal. Mereka kaum formalis. Mereka tidak peduli dengan jabatan apa yang diduduki Jokowi. Mereka ingin Jokowi tetap eksis.
Ide seperti ini bertentangan dengan keinginan yang universal: hidup dalam kebenaran. Kebenaran tidak terbangun dalam kesadaran kita sejak lahir. Ia berada di luar alam pikiran kita. Ia mesti kita cari. Pencarian itu wajib bagi mereka yang merasa bertanggungjawab terhadap dirinya atau orang lain. Pencarian itu mesti sampai pada titik ditemukannya kebenaran yang bernilai dan bisa dipakai sebagai pegangan.
Menyimak perjalanan hidup Jokowi sebagai presiden RI selama sepuluh tahun, jejak yang ditinggalkannya jauh dari kebenaran. Tidak jarang dia berbohong demi mewujudkan keinginannya. Sering dia memanipulasi demi memperoleh citra positif rakyat. Padahal citra mengaburkan batas antara perasaan (konotasi) dan pengetahuan (denotasi). Tidak berlebih-lebihan rasanya bila kita mengatakan Hasan dan Ahmad tidak akan menemukan kebenaran pada Jokowi.
Lalu dimana Hasan dan Ahmad mesti mencari kebenaran? Mereka harus mencarinya di lembaga kebenaran. Secara praktis, lembaga kebenaran itu ada empat, yaitu agama, filsafat, seni dan ilmu (Abu Bakar Ba’asyir sudah menemukan kebenaran dalam agama. Temuannya inilah yang dia sampaikan kepada Jokowi). Sudahkah Hasan dan Ahmad mencari kebenaran di lembaga kebenaran itu?
Entahlah! Yang jelas kita bisa menmbayangkan perolehan Hasan dan Ahmad dari pertemuannya dengan Jokowi. Pertama, mereka ingin membentuk rasa percaya diri. Mereka ingin membunuh rasa cemas menjalani peran baru. Kedua, mereka latah. Melihat ada pejabat lain berkunjung ke Jokowi, mereka juga ingin berkunjung ke Jokowi. Mereka tidak ingin merasa ketinggalan.
Percaya diri memang penting bagi kehidupan. Apalagi bagi mereka yang baru saja menduduki jabatan baru. Namun, menurut Arief Alamsyah Nasution, dua jurus penting pengembangan kepercayaan diri adalah: (i) dikelilingi orang yang memiliki kepercayaan diri, dan (ii) mengikuti suara-suara postif.
Kuat dugaan jurus pertama tidak berlaku bagi Jokowi. Soalnya, selama menjadi Presiden, Jokowi tidak percaya diri bicara di depan publik. Dia jarang bicara berlama-lama menjawab pertanyaan wartawan. Jawaban yang disampaikanya sering tidak relevan dengan pertanyaan.
Bagaimana dengan jurus kedua? Kuat dugaan ini juga tidak. Lihatlah, berita tentang Jokowi didominasi oleh hal-hal yang negatif. Idealnya, orang menjauhkan diri dari Jokowi. Paling tidak agar tidak terpapar pengaruh negatif.
Dalam keadaan begini, tentu kita akan memilih pilihan kedua, yakni latah. Secara psikologis, latah tidak sehat. Ia bisa mengganggu konsentrasi. Ia bisa pula merusak interaksi. Ia bahkan bisa menghambat aktivitas sehari-hari. Sampai di sini tentu kita sepakat mengatakan: latah mesti dihindari. [ ]
*Guru Besar Jurnalistik UGM






