
Ada satu lagi negativisme yang sangat populer di masa pemerintahan Joko Widodo. Populisme. Semua proyek besar seolah-olah diorientasikan untuk kepentingan rakyat. Namun, itu hanya kamuflase saja. Contoh soalnya adalah Proyek Strategis Nasional (PSN). Hampir semua PSN diorientasikan untuk kepentingan pemilik modal besar alias oligarki. Menyakitkan rakyat.
Oleh : Prof. Ana Nadhya Abrar*
JERNIH– Nadiem Makarim merupakan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Presiden Joko Widodo. Dia tampil dengan sebuah kebijakan yang harus diimplementasikan oleh semua perguruan tinggi. Judulnya empat kata saja: merdeka belajar, kampus merdeka. Disingkat menjadi MBKM.
Sesuai dengan namanya, bisa ditebak MBKM memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk merencanakan proses pembelajaran di luar kampus. Lamanya bisa sampai dua semester. Tentu saja mahasiswa senang. Mereka jauh dari dosen. Mereka bisa belajar sesuka mereka di dunia kerja. Namun, mereka tetap dapat nilai dari dosen di kampus.
Khusus untuk pendidikan dasar dan menengah, Nadiem menginisiasi kurikulum merdeka. Ia memberikan peluang kepada SD, SMP dan SMA untuk merancang proses pembelajaran yang sesuai. Untuk apa? Memberikan fleksibilitas kepada guru dan murid melakukan proses pembelajaran.
Niat Nadiem tentu saja mulia. Bisa mendekatkan mahasiswa dengan dunia kerja. Bisa pula membuat murid dan guru merasa nyaman dalam proses pembelajaran. Namun, niat itu tidak sepenuhnya sukses. Soalnya, penerapan kebijakan itu tidak melalui sebuah pilot project. Ia langsung saja berlaku di seluruh nusantara. Padahal kondisi perguruan tinggi dan sekolah di luar Jawa dan di Jawa tidak sama. Kualitas proses belajarnya pun berbeda.
Akhirnya, tidak sedikit yang memandang pelaksanaan kebijakan Nadiem itu semacam proyek saja. Lalu muncul kritik dan penolakan (negativism) terhadap kebijakan itu.
Jabatan Presiden RI kemudian beralih kepada Prabowo Subianto. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi tetap eksis. Namun, pendidikan dasar dan menengah tidak lagi di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Ia diurus oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Nama menterinya Abdul Mu’ti. Dia menerapkan pendekatan deep learning. Sebuah pendekatan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Berlaku lagi slogan: ganti menteri, ganti kebijakan. Kebijakan menteri yang lama dianggap tidak tepat. Tidak konstruktif. Harus diganti dengan kebijakan baru.
Pemerintahan Joko Widodo tidak hanya mengangkut negativisme tentang pendidikan. Ada lagi negativisme yang lain. Misalnya credo kerja! Kerja! dan kerja! Ini jelas tidak masuk akal. Seorang bekerja mesti dengan kesadaran kritis tentang target kerja dan cara mencapainya. Namun, kesadaran kritis itu tidak pernah dibangun. Jangan heran muncul hasil kerja yang hanya baik di atas kertas.
Kecuali itu klaim Jokowi, pemerintahan sekarang merupakan keberlanjutan pemerintah sebelumnya keliru. Ini juga negativisme. Bahkan menyesatkan! Memang Gibran Rakabuming Raka merupakan putra sulung Joko Widodo. Dia punya andil dalam menentukan Prabowo sebagai Presiden RI. Namun, setelah menjadi Wakil Presiden, dia hanya bisa berbuat atas petunjuk presiden. Dia bisa mengatasnamakan Presiden kalau Presiden berhalangan. Tegasnya, pemerintahan sekarang sangat bergantung kepada cita-cita, pikiran dan kehendak Prabowo.
Oh, ada satu lagi negativisme yang sangat populer di masa pemerintahan Joko Widodo. Populisme. Semua proyek besar seolah-olah diorientasikan untuk kepentingan rakyat. Namun, itu hanya kamuflase saja. Contoh soalnya adalah Proyek Strategis Nasional (PSN). Hampir semua PSN diorientasikan untuk kepentingan pemilik modal besar alias oligarki. Menyakitkan rakyat.
Semua negativisme pada era pemerintahan Joko Widodo membawa situasi yang hegemonik. Ia menciptakan ruang yang terlalu sempit bagi pemerintahan Prabowo Subianto berkembang secara optimal. Ia mengurangi energi Prabowo Subianto dalam mewujudkan mimpinya.
Maka perlu ada terobosan (breakthrough). Pemerintahan Prabowo Subianto jangan antipati terhadap semua negativisme itu. Cari celah dari negativisme itu yang bisa disinergikan dengan program yang direncanakan. Jadikan resultante-nya sebagai panduan membuat kebijakan.
Dalam bentuk yang konkret misalnya, gabungkan kebijakan pendidikan bottom up di masa Nadiem Makariem dengan deep learning di bawah asuhan Abdul Mu’ti. Hasilnya akan menjadikan siswa bebas mengembangkan potensinya secara terarah. Siswa punya hasrat yang besar bereksplorasi.
Gabungkan perencanaan yang menyeluruh dan terstruktur dengan credo kerja, kerja, kerja di masa pemerintahan Joko Widodo. Dalam posisi demikian improvisiasi dalam bekerja bisa berkurang. Tingkat subjektivitas pekerja tertekan secara otomatis. Dalam keadaan begini, lahir harapan sebuah proyek selesai tepat waktu dan berdaya guna dalam waktu yang lama.
Melihat kehebatan sebuah perencanaan, agaknya kita perlu melemparkan pandangan ke negara Jerman dan Jepang. Inilah dua negara yang sangat peduli dengan perencanaan yang matang dan menyeluruh. Bagi mereka tidak ada improvisiasi dalam menjalankan rencana. Hasilnya, mereka adalah dua negara yang memicu perang dunia.
Masih ada celah kebaikan yang terkandung dalam negativisme pemerintahan Joko Widodo. Masih ada pula ruang untuk mengubah negativisme di masa itu menjadi peluang di masa kini. Pertanyaannya adalah: bersediakah kaki-tangan Presiden Prabowo Subianto melakukannya? [ ]
*Guru besar ilmu komunikasi Universitas Gadjah Mada