“Percikan Agama Cinta”: Kembali Kepada Keadaban
Bangsaku dikenal sangat saleh. Sejak dalam pikiran dan hati. Memadukan nilai-nilai tradisi dan agama dalam kehidupan sehari-hari. “Adat basandi sara’, sara’ basandi kitabullah,” demikian para bijak berpetuah.
JERNIH—Saudaraku,
Aku tahu. Bangsaku dikenal sangat saleh. Sejak dalam pikiran dan hati. Memadukan nilai-nilai tradisi dan agama dalam kehidupan sehari-hari. “Adat basandi sara’, sara’ basandi kitabullah,” demikian para bijak berpetuah. Lantaran cita rasa lokal itu, engkau lahir dan tumbuh dalam rahim keadaban. Namun sayang, peradaban itu kini tergilas gelegar takbir di jalanan.
Aku ingin mengembalikan ruh itu ke dalam hati warga. Bercermin pada Musa as. tatkala menghadapi Fir’aun yang dzalim dengan kelembutan. Sadarlah, apalagi engkau bukan sosok sekaliber Musa as. Tak pula sedang menghadapi figur sekelas Fir’aun. Maka perilaku orang beragama tak sepantasnya menghujat sana-sini. Melaungkan kata-kata permusuhan berbaju ayat-ayat suci. Mencari kesalahan orang lain untuk dijadikan kambing hitam. Menengkar kemungkaran dengan mungkar.
Aku rasa. Sudah cukup kemudharatan itu. Tak perlu engkau teruskan kebiasaan buruk yang merusak marwah keluhuran genusku. Para Tetua Bangsa terdahulu, sudah memberi teladan yang baik. Menjadi religius dalam pikir, sikap, dan tindakan. Melahirkan ahlakul karimah yang menyejukkan. Menentramkan tanpa harus menjual ayat-ayat suci dengan murah.
Mari kuikrarkan bersama. Tak ada tempat bagi mereka yang menjadikan isu agama sebagai sarana penghancur keelokan. Mari kukembalikan kesucian gema takbir ke dalam lokusnya: mengajak pada jalan Tuhan dengan hati yang menggerakkan. Tanpa itu, kebenaran malah semakin menjauh darimu. Ingat, tanah ini harus menjadi perpaduan sempurna antara Makkah nan suci, dan Madinah yang bercahaya. [Deden Ridwan]