“Percikan Agama Cinta“: Menatap Sejarah, Merenungkan Jejak
Dengan menyelami sejarah, aku makin memahami perjalanan bangsa ini. Pergulatan zaman memperebutkan makna sebuah identitas. Perkelahian politik melahirkan petaka yang memelihara rasa dendamku. Membuat hidupku terasa terombang-ambing dari titik ekstrem satu ke titik ekstrem lain.
JERNIH– Saudaraku,
Lihatlah dia tampak terpaku. Menatap titik nadir. Ragu untuk melangkah. Tak berani menghampiri. Dia ingin, namun tak ingin. Sudahlah. Setelah dilihatnya sang pengantar air didampingi seorang ratu dan dua pangeran kecil, dia berteriak lantang: jangan sesekali melupakan sejarah!
Pesanku hanya satu: ajarilah anak-anak sejarah sebagai pijakan menatap masa depan. Pun sejarah bangsamu! Kenalkan tradisi pada mereka sebagai jangkar menghadapi perubahan. Agar anak-anak tidak pangling pada diri sendiri dan hanyut dalam belantara peradaban inlander. Sejarah dan tradisi-lah yang bisa menjadi benteng hidup. Demi memperkuat ketahanan diri dalam sebuah pengembaraan.
Dengan menyelami sejarah, aku makin memahami perjalanan bangsa ini. Pergulatan zaman memperebutkan makna sebuah identitas dirayakan penuh suka-cita. Perkelahian politik melahirkan petaka yang memelihara rasa dendamku. Membuat hidupku terasa terombang-ambing dari titik ekstrem satu ke titik ekstrem lain. Kadang pergulatan itu mematikan akal sehat. Tatkala aku terperangkap ke dalam lubang ghiroh keagamaan yang terlampau dominan menaklukan egoku. Menempatkan intelek di bawah nafsuku.
Dari rahim itu acap muncul asaku untuk mempertentangkan keislaman dengan kemanusiaan. Melawan semesta. Mengerdilkan nilai-nilai kebangsaan. Namun aku buru-buru sadar. Ya, cara aku beragama ternyata masih bertungkuk-lumus di garis permukaan. Maka, aku pun segera menyebrang ke langit kesadaran. Tenggelam dalam lautan cinta. [Deden Ridwan]