“Percikan Agama Cinta”: Monolog Kepada Maulana Rumi
Wahai Rumi. Namun demikian, di matamu, ketidakmaujudan itu bukanlah ketiadaan murni. Tetapi mengandung kenyataan dan potensial: aktualisasinya menjadi eksistensi yang bergantung sepenuhnya pada kemurahan Tuhan (barakah).
JERNIH–Saudaraku,
Wahai Rumi. Aku ingin cerita tentang sosokmu. Jujur, aku memang kepincut denganmu. Engkau adalah sang maestro: obor sekaligus inspirasi hidupku.
Wahai Rumi. Aku penikmat puisi-puisimu. Melalui kata-kata indahmu, engkau hamparkan mengenai cinta Sang Pencipta pada hamba-Nya. Menjadi sadar, ternyata Cinta-Mu kepada makhluk di atas segala-galanya.
Wahai Rumi. Aku terpesona dengan jalan cintamu. Ulasanmu berkenaan kerinduan makhluk akan cinta-Nya yang diwakili oleh baginda Rasulullah Muhammad SAW, begitu menggetarkan hati. Menjadi insaf, ternyata Muhammad SAW itu sang Nabi cinta, penebar kasih-sayang pada ruang dan manusia.
Wahai Rumi. Menyelami paparanmu, aku dibuat tergila-gila oleh cinta. Ke mana pun bernafas, aku selalu dibayangi-bayangi rasa cinta. Batinku meleleh ketika cinta menyapa setiap peristiwa kehidupan. Gara-gara cinta, aku jadi belajar hidup bermakna tanpa henti.
Wahai Rumi. Engkau daraskan cinta pada proses panjang dengan melihat alam sebagai perwujudan cinta ilahi. Bumi-langit dijadikan wahana mengenal Allah. Karena tanpa itu, akan sulit mengenal-Nya.
Wahai Rumi. Aku tahu, bagimu, cinta adalah segala-galanya. Engkau tegaskan, alam semesta ini adalah cinta. Apa yang terjadi dalam proses kehidupan ini, muncul dari cinta. Demikian pula proses alam lain, semua hadir semata karena cinta.
Wahai Rumi. Engkau membagi cinta (mahabbah) menjadi dua bagian: penampakan dan penempatan. Dari segi panampakan, cinta tumbuh ketika Tuhan sebagai Wajib al-Wujud, menampakkan keindahan-Nya kepada alam, yang pada saat itu masih berupa realitas potensial. Aku paham, penampakan inilah sebab-musabab engkau jatuh cinta kepada Tuhan, Sang Mahacinta.
Wahai Rumi. Karenamu, aku sadar, penempatan cinta, tak hanya dipunyai manusia atau makhluk hidup lain, tetapi pula dimiliki alam semesta, atau disebut dengan Cinta Semesta atau Cinta Universal. Dalam tafsiranmu, Tuhan adalah pencipta semesta dari ketidakmaujudan.
Wahai Rumi. Namun demikian, di matamu, ketidakmaujudan itu bukanlah ketiadaan murni. Tetapi mengandung kenyataan dan potensial: aktualisasinya menjadi eksistensi yang bergantung sepenuhnya pada kemurahan Tuhan (barakah).
Wahai Rumi. Tentang bagaimana semesta ini diciptakan, engkau yakin: penciptaan adalah pengejawantahan Diri Tuhan (izhar). Demi mendukung pandanganmu ini, engkau mengutip hadits qudsi terkenal: “Tuhan adalah khazanah tersembunyi; Dia menciptakan dunia ini agar bisa dikenali.”
Wahai Rumi. Berkatmu, aku jadi tahu: bagaimana semesta dihubungkan dengan cinta. Tuhan adalah cinta. Prioritas cinta ketimbang makhluk lain terbukti, karena cintalah, Tuhan menakhlikkan semesta. Tanpa cinta, Tuhan sungguh tak akan ciptakan jagat beserta isinya.
Wahai Rumi, aku ingin menutup renungan ini dengan puisi kerenmu:
Pertaruhkan semua
demi cinta,
kalau kau memamg
manusia sejati.
Kalau bukan,
tinggalkan saja
kumpulan ini.
[Deden Ridwan]