“Percikan Agama Cinta”: Para Habaib Penyebar Rahmat dan Cinta
Model dakwah demikian, sejatinya, merupakan tuntunan Al-Quran. Dicontohkan Rasulullah SAW, Sang Nabi Cinta. Diaplikasikan para Habaib/Alawiyyîn dalam menyebarkan Islam di Indonesia.
JERNIH–Saudaraku,
Engkau mungkin akrab dengan kata “Alawiyyin” (Saddah Al-‘Alawiyyîn). Ya, di Indonesia lebih popular dengan sebutan “Habaib” atau “Habib”. Mereka dikenal sebagai keturunan Rasulullah SAW, Sang Nabi Cinta.
Ketahuilah. Predikat itu berasal dari nama salah seorang nenek moyang kelompok ini, yakni Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa Al-Muhajir bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Al-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib dari pernikahannya dengan Fatimah, putri Rasulullah SAW, Sang Matahari Dunia.
Simaklah. Kisah kaum Alawiyyin di Hadramaut bermula dari Ahmad bin Isa (bergelar Al-Muhajir, “yang berhijrah”). Ia tokoh keturunan Rasulullah pertama yang pindah ke Hadramaut. Demi menghindari tekanan politik penguasa kala itu.
Namun sosok ikonik kaum Alawiyyîn ini adalah Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah. Ulama ini lahir tahun 574 H (1176 M) di Tarim, Hadramaut, Yaman Selatan. Beliau wafat pada 653 H (1255 M) dan dikebumikan di “Zanbal”.
Selamilah. Ada kisah menarik sekaligus menggugah. Dalam kehidupannya, Al-Faqih Al-Muqaddam pernah melakukan “upacara” pematahan pedang sebagai simbol politik-sosial-religius. Pematahan pedang ini harus engkau maknai sebagai simbol peletakan senjata: berarti kesediaan untuk menempuh cara damai dalam dakwah-kemasyarakatan.
Benar. Penekanan pada tasawuf dan metode dakwah damai, kemudian mewarnai karakter secara turun-temurun “mazhab” kaum Alawiyyin, di mana pun mereka berada. Jalan cinta sudah menyatu dengannya. Mewarnai setiap langkah. Mewariskan jejak keislaman para pecinta di setiap ufuk.
Aku yakin. Sikap ini diambil, di samping karena kecenderungan kesufian yang memang mempromosikan prinsip cinta dan antikebencian, juga akibat kenyataan pahit: peperangan-peperangan di masa-masa sebelumnya hanyalah menyisakan kerugian dan kerusakan.
Aku sadar. Kelompok ini percaya bahwa mengutamakan cinta kasih, kedamaian, dan sikap-sikap kelembutan, justru akan menjadi cara terbaik dan efektif untuk menarik hati orang banyak, bahkan pula hati musuh dan orang-orang jahat di tengah-tengah masyarakat. Dengan jalan cinta, Islam mewujud menjadi mahkota indah: mengasyikkan sekaligus mengagumkan.
Renungkanlah. Model dakwah demikian, sejatinya, merupakan tuntunan Al-Quran. Dicontohkan Rasulullah SAW, Sang Nabi Cinta. Diaplikasikan para Habaib/Alawiyyîn dalam menyebarkan Islam di Indonesia.
Sejarah mencatat, tidak pernah ditemukan adanya unsur peperangan apa pun sepanjang riwayat dakwah penyebaran Islam di bumi Nusantara. Islam menyebar di negeri ini tanpa darah, pedang, dan air mata kekerasan. [Deden Ridwan]