Pernyataan Dahnil Azhar Simanjuntak dan Penggerusan Elektabilitas Prabowo
Sebenarnya, tanpa komentar sombong ini pun kedudukan dan elektabilitas Prabowo Subianto sudah mengkhawatirkan. Prabowo tak memiliki basis dukungan publik, kecuali dari loyalis Gerindra.
Oleh : Ahmad Khozinudin
JERNIH– Sikap sombong Juru Bicara Kementerian Pertahanan, Dahnil Azhar Simanjuntak, yang menegasikan peran dan kedudukan Habib Rizieq Shihab (HRS) menuai kritik publik. Dahnil mengklaim hanya merasa kebetulan sama-sama mendukung Prabowo Subianto saat Pilpres 2019 dan sama-sama mengecam Ahok pada kasus penistaan agama.
Selebihnya, Dahnil tak merasa dibantu Habib Rizieq Shihab. Sebaliknya, Dahnil merasa banyak membantu hak HRS. Bahkan, Dahnil sempat mempersoalkan gelar ‘Imam Besar’ yang disandang HRS. Lebih jauh, secara provokatif Dahnil mengklaim warga Muhammadiyah tidak ada yang berimam kepada HRS.
Entah apa yang menjadi pemicu, komentar Dahnil ini jelas kontraproduktif secara politik bagi dirinya, termasuk bagi kedudukan Prabowo Subianto. Sikap Dahnil bisa menjadi dasar gerakan men-down grade reputasi Dahnil dan berimbas kepada Prabowo Subianto. Mengingat bahwa Dahnil mengikuti jejak Prabowo yang merapat ke Istana, setelah kalah dalam Pilpres 2019.
Sebenarnya, tanpa komentar sombong ini pun kedudukan dan elektabilitas Prabowo Subianto sudah mengkhawatirkan. Prabowo tak memiliki basis dukungan publik, kecuali dari loyalis Gerindra. Realitas politik saat ini polaritasnya lebih ambyar mengingat aktor politik bukan saja partai politik dan politisi, melainkan gerakan politik keumatan yang digerakkan oleh ormas, ulama dan tokoh pergerakan.
Eksistensi sosial media juga bisa merontokkan citra Prabowo–meskipun di’salon’—dipermak?—redaksi Jernih–secara mahal lewat sejumlah survei dan iklan politik. Hal itu karena aspirasi sosial media bersifat lebih alami, gerakannya lebih masif, meluas dan memberikan dampak dekstruktif bagi elektabilitas tokoh, jika tidak bijak berinteraksi melalui sosial media.
Dahnil dalam isu keumatan semestinya berakting membela aspirasi umat atau tokohnya, atau setidaknya mengambil posisi diam, ketimbang mengambil sikap yang kontraproduktif. Sayangnya, sebagai politisi Dahnil masih terlalu muda—greenhorn– untuk mengemas suasana hati agar tetap terkunci rapat dalam dada, dengan tetap mengumbar senyum tanda bersahaja dan dekat dengan umat.
Dahnil dapat dikatakan gagal orientasi menjadi politisi. Celakanya, sikap Dahnil ini berimbas kepada Prabowo Subianto.
Umat, khususnya pendukung HRS, tak cukup meluapkan kemarahan pada Dahnil, tetapi juga bisa merembet ke Prabowo dan Partai Gerindra. Elektabilitas Prabowo Subianto, jelas bisa jeblok gegara kekeliruan statement juru bicaranya ini.
Partai politik saat ini tidak bisa menganggap remeh sosial media dan gerakan politik keumatan. Gerakan alamiah ini lebih menenggelamkan ketimbang kekuatan mesin politik partai yang berusaha menimbulkan ketokohan.
Salah langkah, Prabowo tidak saja tenggelam oleh pengaruh kekuasaan. Tetapi juga dapat ditenggelamkan oleh gerakan politik keumatan.
Ingin bukti? Silakan saja Prabowo Subianto perintahkan juru bicaranya membuat kontroversi lagi. Dan silakan ukur akibat negatif bagi elektabilitas dirinya dan partai Gerindra. [ ]
*Ketua Umum LBH ‘Pelita Ummat’, menyebut diri ‘sastrawan politik’