SolilokuiVeritas

Petualangan Putin dan Pemujanya

Putin adalah penjahat perang karena menginvasi Ukrania, sama seperti Hitler menginvasi Eropa atau Lyndon Johnson menginvasi Vietnam dan George Bush menginvasi Irak. Dalih agresi Putin bahwa Ukrania akan jadi pangkalan NATO, adalah dalih berandai-andai, fakta yang tidak valid (belum terjadi).

Oleh: Lukas Luwarso

JERNIH – Hampir sebulan invasi Rusia ke Ukraina telah berlalu, agresi militer untuk menumbangkan pemerintahan Volodymyr Zelenskyy masih berlanjut. Invasi per-24 Februari ini belum membuahkan hasil. Ukrania terus melawan, menolak tunduk pada agresi yang berdalih “agar Ukraina tidak ke NATO,” dan sejumlah dalih akal-akalan lain.

Lukas Luwarso
Lukas Luwarso

Selain korban militer, sedikitnya 800 warga sipil menunggal, 60 diantaranya anak-anak, dan 1300 luka-luka sebagai korban kolateral. Korban kesia-siaran perang akibat paranoia Vladimir Putin, diktator yang berambisi membangkitkan kembali istana pasir “keadidayaan Rusia’. Berilusi untuk “menyeimbangkan geo-politik dunia”; membuat tata dunia yang lebih adil dari ancaman imoerialisme Amerika dan sekutunya (NATO).

Putin memakai dalih mulia (noble excuse) untuk aksi agresinya. Dan para pemuja Putin, yang banyak jumlahnya di Indonesia, terpukau oleh retorika “ura”, seruan perang Putin yang viral bergema di media sosial. Para pemuja Putin, seperti terlihat di percakapan media sosial, memviralkan foto-foto Putin sebagai sosok heroik, gagah berani, dan “pejuang keadilan”. Pemuja Putin adalah para pemuja perang, dan memahami dunia sebagai panggung kisah perang “kebaikan melawan kejahatan.” Kali ini Rusia dan Putin adalah “Rambo” pejuang dan Ukraina adalah pecundang.

Sejarah peradaban manusia adalah sejarah peperangan. “war is a sign of animal’s aggression within human instincts.” Prinsip perang adalah “might make right”, produk evolusi alam era binatang. Perang dan kekuasaan zalim adalah insting kebinatangan yg masih bersemayam dalam diri manusia. Manusia pasca-modern yang sudah berevolusi level kultural (alih-alih natural) tidak semestinya berprinsip “yang kuat harus menang”. Perang tidak bisa dibenarkan, atas nama dalih apapun. Siapapun pihak pemicunya, Rusia, Amerika, China, atau Indonesia, perlu dikecam dan dipersoalkan.

Kegemaran manusia berperang sudah mulai surut sebenarnya. Momentumnya adalah Perang Dunia II, sebagai “the war to end all wars”. Kegemaran perang surut dengan semakin majunya sains dan teknologi. Ketika manusia semakin enlightened, tercerahkan pmkirannya. Indikasi semakin berkurangnya perang dan kekerasan dipaparkan dengan baik dalam dua buku karya Steven Pinker, “The Better Angels of Our Nature: Why Violence Has Declined.” Juga “Enlightenmwn Now: The Case for Reason, Science, and Humanism.”

Tapi maraknya pemujaan pada petualangan Putin sangat menyedihkan. Segala analisis pretensius-akademis tidak ada manfaatnya, jika hanya menjadi dalih pembenaran untuk menyetujui agresi dan kekerasan. Agresi Rusia sama buruknya dengan agresi Amerika. Bom, rudal, dan tembakan senjata, siapapun pemicu awalnya, sama kejinya, tak soal atas nama ideologi, agama, atau bangsa.

Putin adalah penjahat perang karena menginvasi Ukrania, sama seperti Hitler menginvasi Eropa atau Lyndon Johsan menginvasi Vietnam dan George Bush menginvasi Irak. Dalih agresi Putin bahwa Ukrania akan jadi pangkalan NATO, adalah dalih berandai-andai, fakta yang tidak valid (belum terjadi).

Dalam peperangan, berpihak, mendukung atau membela pelaku agresi adalah indikasi ketidaknalaran. Orang yang memiliki nurani tidak menolerir agresi, yang memicu bencana kemanusiaan dan penderitaan. Dan tidak perlu dalih, atas nama geopolitik atau keseimbangan kekuatan, untuk mengecam terjadinya aksi-aksi agresi diktatorial ala Putin. Semua agresi bermasalah, baik dilakukan Amerika, Indonesia (di Timor-Timur), maupun Rusia. Jangankan agresi militer yang menimbulkan banyak korban, agresi seseorang ke orang lain saja bermasalah. Agresi adalah perilaku memusuhi dengan kekerasan, terhadap pihak lain.

Agresi Putin-Rusia adalah produk paradigma pemimpin didikan intelijen (KGB) yang cara berpikirnya ketinggalan 50 tahun. Seolah dunia masih berparadigma perkubuan berbasis ideologi era perang dingin. Dunia bukan lagi tahun 1980-an, saat manusia masih yakin ideologi bisa mengubah atau memperbaiki manusia. Ketika Uni Sovyet bubar, Rusia pernah bergabung dalam North Atlantic Cooperation Council. Pada 1994, Russia juga bergabung dalam program the Partnership for Peace, sebagaimana pernah dirintis Gorbachev dan Boris Yeltsin. Ada ungkapan populer politik realisme “If you can’t beat them, join them

Putin merasa Amerika dan NATO terindikasi mengancam Rusia, namun jelas salah alamat jika kekhawatirannya dilampiaskan dengan menduduki Ukraina. Sebagai negara yg berdaulat, adalah hak Ukrania ingin bergabung ke NATO pada 2008 (bahkan sejak 1992, setelah Uni Sovyet bubar). Tapi keinginan join NATO itu belum disetujui. Ada sesat logika militeristik-intelijen Putin, yang masih menganggap Rusia “negara adidaya”. Tapi mighty Russia hanya berani menginvasi negara kecil Ukrania, untuk menggertak “the real mighty“.

Putin gagal memahami, persaingan menjadi adi daya kini tidak harus dilakukan melalui gertak militer. Xi Jin Ping China jauh lebih pintar ketimbang imbisil Putin Rusia. Cina terbukti “memenangkan” perang ekonomi terhadap AS dan Eropa, menjadi negara dengan ekonomi terkuat setelah AS. Menjadi negara dengan ekspansi ekonomi terbesar, melalui invasi “perang” infrastruktur. Dan Cina juga tidak perlu melakukan agresi ke Taiwan, untuk menggertak, agar dianggap adidaya.

Putin agaknya adalah seorang yang mengalami delusi paranoia grandiose megalomania. Paradigma berpikirnya masih terpaku pada era “perang dingin” dan seolah ada persaingan ideologi (ala komunisme vs liberalisme) yang sudah usai dengan runtuhnya Uni Sovyet. Dunia yang pernah terbelah secara bipolar-politik, sudah bertransformasi. Yang terjadi saat ini adalah bipolar-ekonomi, antara kubu Amerika dengan Cina.

Bipolar baru adalah antara kapitalisme korporat ala Amerika vs kapitalisme negara (state capitalism, yang diterapkan Cina). Sepertinya Cina akan memenangkan perseteruan dua jenis kapitalisme ini. Abad 21 adalah abad Cina, sebagaimana abad 20 abad Amerika. Dalam risalah Karl Marx, “Das Capital“, state capitalism akan menjadi tahap akhir dari sistem kapitalisme, yang diramalkan bakal runtuh, karena kontradiksi inheren dalam sistem ini. Setelah kapitalisme runtuh? Kemungkinan tekno-sosialisme yang akan menjadi common denominator sistem dunia.

Amerika dan NATO (Eropa Barat) adalah pemenang perang dingin. NATO sebenarnya sudah tidak relevan sebagai kekuatan militer. Karena perang di masa depan, jika ada, adalah perang untuk menguasai data, perang teknologi artificial Intelligence. Namun, selama dunia masih ada pemimpin negara yang bersifat diktatorial dan megalomania, seperti Putin, maka NATO memaksakan diri tetap ada. NATO wajib membubarkan diri, segera setelah petualangan Putin berakhir. Dan para pemujanya menyadari, kesesatan berpikir mengidolakan seorang diktator yang 24 tahun berkuasa. Ura. [ ]

*mantan Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

Back to top button