Solilokui

Politik Angka Korban Stadion Kanjuruhan

Ini bukan soal bawel, nyinyir, atau bahkan mempolitisasi kematian. Ini hal mendasar dalam bencana, dan seharusnya semakin tua usia negeri, kian membuat tanggung jawab kita meninggi. Yang terutama, bahkan agar dunia tahu bahwa kita bukan seorang Stalinis. Kita adalah bangsa yang memegang kuat kaidah moral dan agama bahwa kematian tanpa hak satu jiwa manusia saja, sejatinya sama dengan pembunuhan atas seluruh umat manusia. Hanya diktator Uni Sovyet, Joseph Stalin, seraya mengutip sebuah esai yang ditulis jurnalis satir Jerman, Kurt Tucholsky, pada tahun 1932, berkata,”Kematian satu orang adalah bencana. Jutaan kematian, itu adalah statistik!”

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

JERNIH–Angka resmi yang diberikan sebagai jumlah korban tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, tampaknya hingga saat ini masih jadi sengkarut. Markas Besar Kepolisian RI mempublikasikan angka 125 orang meninggal, yang tampaknya merujuk angka yang diperoleh Dinas Kesehatan Kabupaten Malang. Menurut Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, bila sebelumnya disebutkan ada 129 orang tewas, perbedaan angka itu karena ada nama yang dihitung ganda.

Darmawan Sepriyossa

Tetapi keluarnya angka resmi tersebut tidak lantas membuat persoalan mendasar itu tuntas. Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur—bukan Kabupaten Malang–, per 2 Oktober pukul 14.53 WIB lalu, hasil rekapitulasi mereka ada 131 orang tewas. Sementara terdapat 253 orang terluka ringan sampai sedang, dan 31 orang korban terluka berat. Angka Dinkes Provinsi Jatim itu didapat dari 25 rumah sakit yang menjadi rujukan penanganan korban tragedi Stadion Kanjuruhan.

Oh ya, Wakil Gubernur  Jawa Timur, Emil Dardak pun punya catatan jumlah korban meninggal sendiri. Menurut catatan Emil—tidak dijelaskan dari mana dia dapat– jumlah korban meninggal hingga Ahad (2/10) pagi, pukul 10.30 WIB, tercatat sebanyak 174 orang.

Urusan ini tampaknya masih belum akan tuntas, karena Aremania—kelompok fans fanatik kesebelasan Arema Malang—, yang dalam hal ini tentu berada di lingkaran dalam persoalan, punya versi sendiri yang tidak bisa diabaikan. Bagaimana pun, mereka berada di dalam stadion, merasakan bagaimana petaka itu terjadi dalam setiap detiknya.  

Aremania memperkirakan jumlah korban jiwa akibat tragedi Stadion Kanjuruhan, jauh melebihi data resmi pemerintah. Menurut Dadang Indarto, salah seorang perwakilan Aremania, temuan awal organisasinya menerakan jumlah korban meninggal bisa lebih dari 200 orang. “Kalau data yang dikeluarkan pemerintah sekarang 125 korban meninggal, perkiraan kami lebih. Menurut perkiraan kami di atas 200,”kata Dadang kepada wartawan di Malang, Senin (3/10) lalu.

Prakiraan angka tersebut, kata Dadang, didapat Aremania setelah menghimpun berbagai informasi dari Aremania Malang Raya dan sekitarnya. Sebagian korban meninggal, kata Dadang, langsung dibawa rekan-rekan mereka pulang ke daerah asal, usai kejadian. Mereka tak sempat dibawa ke rumah sakit.

“Banyak jenazah yang langsung dibawa pulang. Di Probolinggo ada tujuh, di Pasuruan ada tiga. Bisa lebih,” uar dia. Untuk itulah, kata Dadang, Aremania segera membentuk tim pencari fakta untuk menggali data kematian dari seluruh wilayah.  “Bukan hanya di Malang Raya. Juga Banyuwangi, Madiun, Pasuruan, Blitar, Kediri dan Jombang,” kata dia.

Wajar bila kisruh perbedaan jumlah korban meninggal itu membuat banyak tokoh publik mulai meradang.  Di antaranya mantan Menteri Perikanan dan kelautan, Susi Pudjiastuti. Via akun Twitter-nya, @susipudjiastuti, pada Senin pagi (3/10) lalu ia mencuit. “Mohon pencerahan, yang benar angka yang mana? Beri angka yang sejujurnya dan sebenarnya,”ujar Susi dalam cuitannya itu. Susi menyadari, yang sudah meninggal dunia tidak akan kembali meskipun angka berubah. Bahkan tangisan pun tidak bisa mengobati duka. “Tapi beri kami tahu dengan jujur berapa saudara kami yang berpulang, sekali ini beritahu kami kebenarannya.”

Susi benar. Ini bukan soal bawel, nyinyir, atau bahkan mempolitisasi kematian. Ini hal mendasar dalam bencana yang seharusnya semakin tua usia negeri, kian membuat tanggung jawab kita meninggi. Yang terutama, bahkan agar dunia tahu bahwa kita bukan seorang Stalinis alias para pengikut fanatik Stalin. Kita adalah bangsa yang memegang kuat kaidah moral dan agama bahwa kematian tanpa hak satu jiwa manusia saja, sejatinya sama dengan pembunuhan atas seluruh umat manusia. Itu yang Allah tegaskan melalui firman-Nya dalam Al Quran, Surat Al-Maidah ayat 32.

Hanya diktator Uni Sovyet, Joseph Stalin, seraya mengutip sebuah esai yang ditulis jurnalis satir Jerman, Kurt Tucholsky, pada tahun 1932, berkata,”Kematian satu orang adalah bencana. Jutaan kematian, itu adalah statistik!”

Kita bukan bangsa yang meremehkan jiwa manusia. Bukan pula kumpulan manusia yang gemar menisbikan angka. Dalam masyarakat kita, komunitas Jawa khususnya, bahkan ada tradisi untuk menghormati angka, paling tidak dalam penyebutannya. Kadang, ada pula penabuan tertentu pada angka karena situasi tertentu.

Misalnya, penyebutan 21 hingga 29 dalam Bahasa jawa tidaklah disebut “Rongpuluh siji”, “Rongpuluh loro”, dan seterusnya, melainkan “Selikur”, “Ronglikur”, dan seterusnya. Tahukah mengapa? Pilihan satuan “Likur” konon berasal dari singkatan “Linggih kursi” atau duduk di kursi, mengacu pada rata-rata pada usia itu manusia umumnya mendapatkan kedudukan, pekerjaan, atau profesi yang ditekuni.

Yang lain, dari angka 30 hingga 49, penamaan bilangan berlaku normal sesuai pola urutan, misalnya “Telung puluh”, “Patang puluh” dan seterusnya. Tetapi angka 50 lebih popular dengan sebutan “Seket”. Konon, kata itu diambil dari kalimat “Seneng kethuan” (suka memakai kethu, peci, kopiah), menandakan usia seseorang kian lanjut dan beranjak bijak.

Sementara, pada angka 60 pun ada penyimpangan dari penamaan normal. Angka 60 jarang dibilang “Nempuluh”, melainkan “Sewidak”. Itu konon dari “Sejatine wis wayahe tindak” atau sejatinya sudah sepantasnya ‘pergi’. Ini jelas peringatan bahwa pada usia itu seseorang sudah harus mempersiapkan diri untuk kembali ke hadlirat Ilahi.

Soal penabuan, kita bisa menunjuk contoh terang benderang.  Pada 2019 lalu, manakala memberikan ucapan selamat ulang tahun ke-72 kepada Ketua Umum PDIP, Megawati Sukarnoputri, Jokowi tidak mengucapkan angka 72. Ie mengucapkan selamat ulang tahun “ke-71 ditambah satu”.

“Saya sampaikan (selamat) ulang tahun yang ke-71 ditambah satu, dan semoga Allah selalu memberikan kesehatan kepada beliau, memberikan kebahagian kepada Ibu Megawati Soekarnoputri,” kata Jokowi di Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta, Rabu, 23 Januari 2019.

Mengapa? Jokowi menghindari menyebut angka dua, dengan alasan menjelang Pilpres, di mana saat itu nomor urut capres saingannya, Prabowo Subianto, adalah 02.

Lalu, manakala kita begitu canggih bermain-main dan memberi makna tinggi kepada angka, tapi mengapa menentukan secara pasti berapa jiwa melayang dalam tragedi Stadion Kanjuruhan saja masih “acakaprut” begini?  [dsy]

Back to top button