Tatkala kita mendapati negara tak hadir saat diperlukan (saat warga perlu perlindungan, pelayanan dan kesejahteraan); justru hadir saat tak diperlukan (seperti dengan menerapkan berbagai pajak dan pungutan, aturan dan prosedur berbelit, aneka modus koruptif dan represif), mungkin terlintas dalam pikiran: bagaimana seandainya kita hidup tanpa negara?
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, tatkala kita mendapati negara tak hadir saat diperlukan (saat warga perlu perlindungan, pelayanan dan kesejahteraan); justru hadir saat tak diperlukan (seperti dengan menerapkan berbagai pajak dan pungutan, aturan dan prosedur berbelit, aneka modus koruptif dan represif), mungkin terlintas dalam pikiran: bagaimana seandainya kita hidup tanpa negara?
Menurut Thomas Hobbes (1651), kondisi kealamiahan (state of nature) manusia sebelum ada negara itu berupa kehidupan yang “buruk”, tanpa kriteria baik dan buruk yang dapat diterapkan. Orang-orang mengambil apa yang bisa bagi dirinya, menjelmakan kehidupan yang: “menyendiri, miskin, menjijikan, kasar, dan rendah”. Manusia hidup sebagai serigala bagi sesamanya; mengobarkan perang semua lawan semua.
Representasi kontemporer dalam aliran Hobbesian ini diwakili oleh Yuval Noah Harari dengan karya utamanya, “Sapiens: A Brief History of Humankind” (2014).
Di sisi lain, Jean-Jacques Rousseau (1754) memandang “state of nature” itu relatif “baik”. Kehidupan manusia bersifat netral secara moral dalam kondisi damai. Manusia hidup bebas dan setara; umumnya bertindak soliter menurut dorongan dasarnya (seperti rasa lapar) dan keinginan alamiahnya untuk pelestarian diri; namun dorongan naluri tersebut dapat dikendalikan secara setimbang dengan rasa belas kasih (compassion).
Representasi kontemporer dalam jalur Rousseauian ini diwakili oleh Rutger Bregman dengan karyanya, “Humankind: A hopeful History” (2021).
Kedua aliran pemikiran tersebut bersifat tesis dan anti-tesis. Sintesisnya bisa ditemukan dalam buku monumental karya David Graeber dan David Wenggrow. Judulnya, “The Dawn of Everything: A New History of Humanity “ (2021).
Buku setebal 692 hal ini ringkasnya menyimpulkan: sepanjang sejarah kehidupan, sifat manusia itu sama: bukan malaikat, bukan setan. Selalu ada sisi baik dan sisi buruknya; ada kelompok baik, ada yang jahat. Adakalanya menerapkan hierarki, bisa pula egaliter. Manusia dapat mengembangkan sistem sosial yang dalam istilah Claude Levi-Strauss bersifat “double morphology“–berayun antara otonomi (individu) dan otoritas (institusi kekuasaan). Dan tugas kemanusiaan adalah mencari sistem politik yang dapat menjaga keseimbangan antara kedua kutub tersebut. [ ]