
Masih ada sekitar Rp 4 T yang belum dikembalikan akibat negara dirugikan dalam tata niaga CPO. Uang yang telah diterima Kejagung pun diserahkan kepada negara langsung ke presiden.
JERNIH – Di Gedung Kejaksaan uang seratusan ribu ditumpuk menggunung. Memenuhi satu ruangan. Jumlahnya, menurut Jaksa Agung Sanitiar Burhanudin sekitar Rp 2,3 triliun. Jumlah sedemikian banyak saja sauh menyesaki ruang tersebut.

Padahal total kerugian negara yang dicatat Kejaksaan Agung sebesar Rp 17 T. Sementara yang sudah dikembalikan ke Kejagung baru Rp 13.255.244.538.149 alias lebih dari Rp 13 T. Jadi yang ada di gedung dan kemudian diserahterimakan secara langsung ke Presiden Prabowo Subiyanto baru sekitar seperenamnya.
Jumlah tersebut jika dipakai untuk membangun sekolah SD baru bisa dapat 2600-an sekolah berfasilitas lengkap.
Industri minyak sawit mentah—lebih dikenal sebagai Crude Palm Oil (CPO)—menjadi salah satu tulang punggung ekonomi Indonesia. Namun, di balik ekspor besar dan posisi sebagai produsen terbesar di dunia, terdapat potensi kerugian nasional yang signifikan akibat tata niaga yang kurang transparan dan praktik korupsi.
CPO adalah minyak nabati yang diektrak dari daging buah (mesokarp) pohon kelapa sawit. Penggunaannya sangat luas, antara lain: sebagai bahan baku minyak goreng dan produk pangan lainnya. Kemudian untuk produk-produk non-pangan seperti sabun, kosmetik, deterjen. Sebagai bahan bakar nabati atau campuran biodiesel (khususnya di Indonesia).
Karena itu, pengelolaan ekspor dan produksi CPO sangat strategis bagi Indonesia — baik dari segi ekonomi, lingkungan, maupun sosial.
Kerugian Indonesia dalam tata niaga dan ekspor CPO mengakibatkan kehilangan penerimaan negara. Meskipun Indonesia merupakan produsen CPO terbesar dunia, namun mekanisme ekspor dan tata niaga yang kompleks memungkinkan hilangnya potensi penerimaan secara optimal. Sebagai contoh, perubahan regulasi bea ekspor dan tarif dana perkebunan baru-baru ini menunjukkan bahwa pemerintah meningkatkan pungutan ekspor untuk CPO.
Kerugian lain adalah distorsi pasar domestik dan kelangkaan. Ketika ekspor diatur atau saat regulasi domestik tidak mendukung pasar dalam negeri, muncul masalah seperti kelangkaan minyak goreng, atau harga di dalam negeri yang naik lebih tinggi dari seharusnya.
Nah, yang paling berbahaya adalah praktik korporasi besar dan kerugian nasional. Kasus korupsi sektor CPO menunjukkan bahwa perusahaan besar dapat melakukan pelanggaran hukum yang menyebabkan kerugian negara sangat besar.

Siapa saja yang terjerat kali ini?
Perusahaan PT Wilmar Group dinyatakan terbukti melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Majelis hakim Mahkamah Agung (MA) menghukum Wilmar untuk membayar uang pengganti sebesar Rp11.880.351.801.176,11.
Ada juga PT Musim Mas Group telah menyerahkan uang pengganti sebesar Rp1.188.461.774.662,20 kepada Kejaksaan Agung RI.
PT Nagamas Palmoil Lestari (anak perusahaan dari PT Permata Hijau Group) telah menyerahkan Rp186.430.960.865,26 sebagai uang pengganti.
Ketiga perusahaan tersebut terbukti secara hukum melanggar tata niaga CPO yang merugikan negara.
Praktik tidak sehat dalam tata niaga CPO bukan fenomena baru. Sejak lama Indonesia mempunyai struktur rantai pasok yang dikuasai oleh konglomerat besar, dengan sedikit pengawasan yang memadai di beberapa lini.
Kebijakan ekspor yang sering berubah-ubah dan mekanisme bea ekspor yang kompleks turut memperparah kondisi. Sebagai contoh, data menunjukkan ekspor CPO Indonesia di semester pertama 2025 naik 2,69 % y.o.y menjadi sekitar 11 juta ton.
Secara regulasi, pemerintah juga terus melakukan intervensi, misalnya menaikkan tarif dana perkebunan dan bea ekspor CPO pada berbagai titik di tahun 2025.
Yang diuntungkan dalam hal ini adalah korporasi besar yang mampu memanfaatkan kebijakan ekspor, izin‐izin, atau praktik yang kurang transparan; oknum yang memungkinkan pelanggaran.(*)
BACA JUGA: Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas*